وَعَن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ، حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِذَا رَأَتْ ذَلِكَ المَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ)) فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟ إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ، وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ، فَمِنْ أَيِّهِمَا عَلَا، أَوْ سَبَقَ، يَكُونُ مِنْهُ الشَّبَهُ)). رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Ummu Sulaim menyampaikan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang seorang perempuan yang melihat dalam mimpinya sebagaimana yang dilihat oleh kaum laki-laki. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika perempuan tersebut melihat air (keluar) saat terjaga maka hendaknya dia mandi janabah.” Ummu Sulaim kemudian berkata lagi, “Saya menjadi malu karenanya dan bertanya, ‘Apakah hal tersebut dapat terjadi’?” Nabi ﷺ bersabda, “Tentu saja, dari mana kemiripan terjadi? Air mani laki-laki pekat berwarna putih dan air milik perempuan tidak pekat berwarna kekuningan, siapa dari keduanya lebih dominan atau mendahului, maka kemiripan berasal darinya.”[1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Kitab fikih Islam menyebutkan bahwa cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki dan perempuan ketika berhubungan disebut dengan istilah mani.
- Ummu Sulaim, al-Gumaiṣā’ binti Milḥān al-Anṣāriyah raḍiyallāhu ‘anhā, adalah ibu dari Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu.
Beberapa riwayat menyebutkan nama beliau dalah Rumayṣa atau Sahlah atau Unaifah atau Rumaiṡah.
Ketika suaminya, Mālik bin Naḍar, wafat, dia dinikahi oleh Abū Ṭalhah Zaid bin Sahl al-Anṣārī dan dikaruniai anak-anak bernama Abū ‘Umair dan Abdullāh.
Ketika Abū Thalhah meminang Ummu Sulaim, dia masih dalam kemusyrikan. Ummu Sulaim menolak lamaran tersebut kecuali jika Abū Ṭalhah masuk Islam terlebih dahulu. Abū Ṭalhah pun masuk Islam dan menikahi Ummu Sulaim raḍiyallāhu anhā. Keislaman tersebut menjadi mahar antara keduanya.[2]
Ummu Sulaim ikut bersama Nabi ﷺ pada peperangan Uhud dan Hunain.[3] Nabi ﷺ pernah bersabda,
دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ
مِلْحَانَ أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
“Ketika saya masuk ke dalam surga, terdengar derap langkah kaki, saya kemudian bertanya, ‘Siapa itu’? Dijawab, ‘Itu adalah al-Gumaiṣā’ binti Milḥān, ibu Anas bin Mālik.”[4]
Makna hadis:
Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu menyebutkan bahwa ibunya, Ummu Sulaim al-Anṣāriyah raḍiyallāhu ‘anhā, pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, namun karena pertanyaan tersebut terkait dengan perkara yang tabu dan menimbulkan rasa malu maka dia memaparkan sedikit pendahuluan untuk kemudian dapat memberikan pertanyaan dan agar orang-orang yang mendengar (kaum perempuan) tidak merasa risih. Setelah menyelesaikan mukadimahnya dia pun bertanya, “Apa kewajiban jika seorang perempuan yang melihat dalam mimpinya sebagaimana yang dilihat oleh kaum laki-laki (yaitu bersetubuh).” Rasulullah ﷺ menjawab, “Jika perempuan tersebut melihat air (keluar) saat terjaga maka hendaknya dia mandi janabah.”
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Secara ẓāhir, lafal hadis menunjukkan bahwa jika seseorang (laki-laki dan perempuan) mendapatkan dirinya terjaga dalam keadaan sudah basah karena mani yang keluar ketika tidur, wajib baginya mandi janabah.[5]
- Hadis tersebut menjelaskan sifat cairan mani dalam kondisi normal. Ulama menyebutkan bahwa cairan mani laki-laki yang sehat adalah berwarna putih, pekat dan keluarnya dengan tekanan yang kuat. Keluar dengan dibarengi syahwat dan rasa lezat, dan jika sudah keluar, orangnya akan mengalami rasa lemas.
Sedangkan jika kondisi tidak sehat maka cairan mani biasanya encer dan berwarna kekuningan, kemudian keluar tanpa dibarengi syahwat dan kelezatan.
Sementara cairan mani perempuan, tidak pekat dan berwarna kekuningan, terkadang dapat pula berwarna agak putih yang menandakan kualitasnya.[6]
- Hadis tersebut menunjukkan bagaimana kaum perempuan pada masa Nabi ﷺ yang memiliki perhatian terhadap urusan agama mereka dan bertanya jika ada hal yang tidak diketahui.
Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi setiap mukmin dan mukminah, jika ada perkara agama yang tidak diketahui maka wajib mengetahuinya dengan bertanya.[7]
- Sifat malu tidak boleh menghalangi seseorang untuk belajar dan menuntut ilmu. ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā menegaskan bahwa perempuan Anṣār amat sangat pemalu, namun sifat malu tersebut tidak menghalangi mereka untuk tafaqquh fī al-dīn (menuntut ilmu agama).
- Hadis ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perempuan mengalami ihtilam (mimpi basah).[8]
- Seorang anak terkadang mirip bapaknya dan terkadang mirip ibunya, tergantung air (mani) siapa dari keduanya yang mendahului dan mendominasi.
Dapat juga lafal tersebut bermakna cairan siapa yang lebih banyak dan lebih berkualitas (kuat) serta lebih tinggi syahwatnya, Allāhu a’lam.[9]
- Hadis ini menunjukkan ketinggian dan kemuliaan adab Nabi ﷺ, tutur kata yang baik dan penggunaan lafal yang sopan pada tempat yang tabu dan patut malu sesuai kebiasaan dan adat yang terhormat.[10]
Footnote:
[1] H.R. Muslim (311).
[2] H.R. al-Nasā’i (3340) dan disahihkan oleh al-Albānī.
[3] Al-Ẑahabī. Siyār A’lām al-Nubalā’. Jilid 2, hlm. 309.
[4] H.R. Muslim (2456).
[5] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 138.
[6] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 223.
[7] Ibnu Abdil Barr. Al-Istiżkār. Jilid 1, hlm. 293.
[8] Ibnu Abdil Barr. Al- Istiżkār. Jilid 1, hlm. 293.
[9] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 223.
[10] Ibid.