وَرَوَى شُعْبَة عَنْ أَبِي مُعَاذٍ – واسْمُهُ عَطَاءُ بْنُ أَبِي مَيْمُونَةَ – قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الخَلَاءَ، فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةٍ مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Syu’bah meriwayatkan dari Abu Mu’āż – namanya ‘Aṭā’ bin Abu Maimūnah – dia berkata, ‘Saya mendengar Anas bin Malik berkata, ‘pernah Rasulullah ﷺ buang hajat, saya dan anak yang seusia saya membawakan bejana berisi air dan tombak pendek, kemudian beliau beristinja dengan air tersebut.’’’
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- (عَنَزَةً) ‘Anazah artinya adalah tongkat yang panjang yang bagian bawahnya dapat digunakan untuk menusuk tanah. ‘Anazah juga dapat berarti tombak pendek.
Alasan mengapa Nabi ﷺ membawa tombak tersebut karena jika telah selesai berwudu beliau salat dan menjadikannya sutrah salatnya.[1]
- (غُلَامٌ نَحْوِي) Gulām artinya anak kecil yang sudah mumayiz hingga usia balig.
- (إِدَاوَةٍ) Idāwah artinya bejana kecil yang terbuat dari kulit berisi air.[2]
Makna hadis:
Anas bin Malik h sang khadim Nabi ﷺ menyebutkan bahwa Nabi ﷺ ketika masuk ke tempat buang hajat dia dan teman seusianya membawakan bejana berisi air yang akan digunakan Nabi ﷺ untuk beristinja. Demikian juga Anas h membawakan sutrah salat yang menjadi pembatas antara Nabi ﷺ dan orang yang lewat ketika beliau shalat.[3]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Fikih dari hadis tersebut bahwa dibolehkannya beristinja dengan menggunakan air dan tidak mengapa hanya menggunakan air saja tanpa menggabungkannya dengan batu.
Mazhab jumhur ulama salaf dan khalaf menegaskan bahwa lebih utama menggabungkan penggunaan air dan batu. Penggunaan batu terlebih dahulu agar najisnya berkurang dan meminimalisir najis yang bersentuhan secara langsung dengan tangan, baru kemudian menggunakan air.
Jika hanya menggunakan salah satu dari keduanya maka dibolehkan, dengan ketentuan penggunaan air lebih utama karena dapat membersihkan najis secara sempurna. Sedangkan batu hanya mengurangi keberadaan najis untuk kemudian seseorang dibolehkan untuk salat dan sisa najis dimaafkan.[4]
- Bolehnya seseorang yang memiliki keutamaan dari sisi ilmu atau lebih tua menggunakan sahabatnya untuk membantu urusannya.
- Bolehnya berkhidmat kepada orang saleh dan mulia secara keilmuan.[5]
- Hendaknya seorang muslim mempersiapkan kebutuhannya sebelum dia buang hajat agar najis dapat dibersihkan dengan sempurna dan tidak mengotorinya.[6]
Footnote:
[1] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 163.
[2] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. hlm. 41.
[3] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. hlm. 41.
[4] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 163.
[5] Ibid.
[6] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. hlm. 41.