Daftar Isi:
Berwudu setelah makan daging unta[1]
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الغَنَمِ؟ قَالَ: ((إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَتَوَضَّأُ))، قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: ((نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ)). قَالَ: أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الغَنَمِ؟ قَالَ: ((نَعَمْ))، قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: ((لَا)) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Jābir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Apakah saya harus berwudu jika (makan) daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika kamu mau, berwudulah, dan jika kamu tidak mau, tidak mesti berwudu.” Dia berkata lagi, “Apakah saya harus berwudu jika (makan) daging unta?” Beliau (Rasulullah ﷺ) bersabda, “Iya, kamu harus berwudu jika (makan) daging unta.” Dia berkata lagi, “Apakah saya boleh salat di kandang kambing?” Beliau (Rasulullah ﷺ) bersabda, “Iya.” Dia berkata lagi, “Apakah saya boleh salat di kandang unta?” Beliau (Rasulullah ﷺ) bersabda, “Tidak.” [2]
Kosa kata hadis:
- Jābir bin Samurahal-‘Amirī; Abū Abdillāh atau Abū Khālid. Ibu kandung beliau adalah Khālidah binti Abī Waqqās; saudari perempuan Sa’ad bin Abi Waqās raḍiyallāhu ‘anhā. Jābir dan ayahnya, Samurah, kedua-duanya adalah sahabat Nabi ﷺ.
Jābir bin Samurah t menceritakan bahwa beliau pernah salat bersama Rasulullah ﷺ lebih dari dua ribu kali.
Beliau pernah bermukim di Kufah dan wafat pada tahun 74 hijriah pada masa pemerintahan Bisyr di Irak.[3]
- Mabārik al-ibil (مَبَارِكِ الْإِبِلِ) adalah bentuk jamak dari kata mabrak yaitu tempat dimana unta menderum atau dapat juga dimaknai sebagai kandang unta.
Sebagian hadis menyebutkan bahwa kandang unta adalah tempat setan-setan berdiam diri.[4] Setan menyukai tempat-tempat yang kotor dan tinggal di tempat yang seperti itu.[5]
Imam al-Khaṭṭābī menyebutkan alasan larangan tersebut karena tempat dimana unta menderum atau kandangnya sangat tidak aman bagi keselamatan dan ketenangan orang yang salat, bahkan dapat terinjak unta dan salat seseorang menjadi rusak. Unta memiliki sifat gampang terkejut, meloncat dan bercerai-berai dan kambing sifatnya lebih tenang dan tidak mudah bercerai-berai.[6]
Makna hadis:
Jābir bin Samurah al-‘Amirī raḍiyallāhu ‘anhu menceritakan bahwa seseorang bertanya tentang berwudu jika (makan) daging kambing dan salat di kandangnya kepada Rasulullah ﷺ . Beliau mengatakan bahwa jika dia mau, silakan berwudu kembali, namun jika tidak, tidak mengapa. Sedangkan salat di kandang kambing, Rasulullah ﷺ mengizinkan orang tersebut. Kemudian orang tersebut bertanya lagi tentang berwudu jika (makan) daging unta dan salat di kandangnya. Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk berwudu kembali jika seseorang memakannya, sedangkan salat di kandang unta, Rasulullah ﷺ tidak mengizinkan orang tersebut.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis ini menunjukkan tidak batalnya wudu seseorang yang makan daging kambing sehingga tidak perlu memperbarui wudunya jika hendak melaksanakan salat. [7]
- Hadis ini menunjukkan batalnya wudu seseorang yang makan daging unta dan umumnya sanad hadis tentang masalah ini sahih karena diriwayatkan oleh rawi-rawi yang jujur dan terpercaya.[8]
- Ulama berbeda pendapat tentang batal atau tidaknya wudu seseorang setelah makan daging unta.
Hadis tersebut dijadikan dalil oleh ulama bahwa wudu seseorang batal setelah makan daging unta. Pendapat ini adalah mazhab dari Imam Aḥmad bin Hambal, Isḥāq bin Raḥayah, Yaḥya bin Yaḥya, Abū Bakar al-Munżir, Ibnu Khuzaimah dan Abū Bakar al-Baihaqī, demikian pula diriwayatkan dari sebagian sahabat. Pendapat ini paling kuat dalilnya meskipun berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa wudu seseorang tidak batal setelah makan daging unta.
Jumhur ulama yang mengatakan wudunya tidak batal antara lain: khalifah rasyidin yang empat, Ibnu Mas’ūd, Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbās, Abū Darda’, Abū Ṭalḥah, Amir bin Rabī’ah, Abū Umāmah, jumhur tabiin, Malik bin Anas, Abū Ḥanīfah, al-Syāfi’ī dan murid-murid mereka.
Dalil jumhur adalah hadis Jābir raḍiyallāhu ‘anhu yang menyebutkan bahwa tidak mesti berwudu dari mengonsumsi makanan yang dimasak di atas api[9].
Namun hadis ini dinilai bersifat dan bermakna umum dan hadis daging unta lebih khusus, sesuai kaidah yang ada bahwa nas yang khusus lebih didahulukan daripada nas yang umum.[10]
- Makna hadis juga dapat dibawa kepada pemahaman anjuran atau istihbab berwudu karena alasan kebersihan.[11]
Footnote:
[1] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 48.
[2] H.R. Muslim (360).
[3] Ibnu Hajar al-Asqalanī. Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Jilid 1, hlm. 543.
[4] H.R. Ahmad (18538), Abu Daud (184) dan al-Baihaqī (4356) dalam Sunan al-Kubrā.
[5] Badruddin al-‘Ainī. Syarah Sunan Abi Daud. Jilid 1, hlm. 432.
[6] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 67.
[7] Al-Syaukanī. Nailul Auṭar. Jilid 1 , hlm. 255.
[8] Muḥammad bin ‘Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 99.
[9] H.R. Abu Daud (192).
[10] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 48.
[11] Ibnu Batṭṭāl. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 316.