وَعَن عُرْوَةَ بنِ الزُبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأُ. كَذَا رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمْدُ، وَرِجَالُهُ مُخَرَّجٌ لَهُمْ فِي الصَّحِيْحِ، وَقَدْ ضَعَّفَهُ البُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ
Artinya:
Dari ‘Urwah bin Zubair, dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mencium istrinya kemudian (langsung) keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.
Hadis ini diriwayatkan oleh Aḥmad[1], para rawinya adalah rawi yang dicantumkan dalam kitab al-Ṣaḥīḥ. Namun demikian, al-Bukhārī dan ulama selain beliau melemahkannya (hadis tersebut).[2]
Daftar Isi:
KOSA KATA HADIS:
- ‘Urwah bin Zubair pernah bertanya kepada ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, “Apakah istri Nabi yang dicium tersebut adalah beliau?” ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā kemudian tertawa. Kisah itu disebutkan dalam riwayat lengkap hadis tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Aḥmad dalam kitab al-Musnad.
- Sanad hadis ini adalah jayyid (baik) menurut al-Żahabī, namun ada yang mengatakan bahwa Ḥabīb bin Abī Ṡābit belum pernah mendengar langsung hadis dari ‘Urwah bin Zubair.[3]
Ibnu ‘Abdil Bar menilai liqā’ (pertemuan) antara Ḥabīb dan ‘Urwah bukanlah sesuatu yang perlu diingkari dan dinafikan karena beliau juga pernah meriwayatkan dari ulama yang lebih senior dari sisi usia dan lebih tinggi dari sisi ilmu,[4] sehingga ulama menilai Ibnu Abdil Bar raḥimahullāh cenderung mensahihkan hadis ini.
MAKNA HADIS:
Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā menyebutkan peristiwa yang pernah terjadi pada Rasulullah ﷺ yang tidak diketahui kebanyakan orang, yaitu Rasulullah ﷺ pernah mencium istrinya sebelum keluar dari rumah untuk melaksanakan salat. Rasulullah ﷺ tidak berwudu setelah bersentuhan dengan istrinya karena langsung melaksanakan salat dengan wudu yang dilakukan oleh beliau sebelumnya.
FAEDAH DAN ISTINBAT DARI HADIS:
- Hadis ini adalah dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa bersentuhan kulit dengan perempuan atau mencium istri tidak membatalkan wudu.[5]
- Ada dua pendapat ulama tentang hukum orang yang sudah berwudu kemudian mencium istrinya, yaitu:
Pertama, wudunya tidak batal, pendapat ini adalah fatwa sebagian sahabat Nabi ﷺ dan tabiin, termasuk Sufyān al-Ṡaurī dan ulama negeri Kufah.
Kedua, wudunya batal, pendapat ini adalah fatwa imam Mālik bin Anas, al-‘Auza’ī, al-Syāfi’ī, Aḥmad bin Hambal, sebagaimana pendapat ini juga diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi ﷺ dan para tabiin.
Alasan ulama yang mengatakan bahwa wudu harus diulangi karena menurut mereka hadis tersebut memiliki ilat atau cacat.
Al-Bukhārī mengatakan bahwa rawi yang bernama Ḥabīb bin Abī Ṡābit belum pernah mendengar langsung hadis dari ‘Urwah bin Zubair.[6]
Footnote:
[1] H.R. Aḥmad (25766), Ibnu Majah (502), dan Tirmiżī (86).
[2] H.R. Tirmiżī (86).
[3] Al-Żahabī. 1421 H. Tanqīh al-Tahqīq fi Ahādīṡ al-Ta’līq. Darul Watan, Riyāḍ. Jilid 1, hlm. 49.
[4] Ibnu ‘Abdil Bar. al-Istiżkār. Jilid 1, hlm. 257.
[5] Muḥammad bin ‘Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 94.
[6] H.R. Tirmiżī (86).