وَفِي رِوَايَةٍ عِنْد البَيْهَقِيُّ: لقد رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوقَظُونَ للصَّلَاةِ حَتَّى إِنِّي لأَسْمَعُ لِأَحَدِهِمْ غَطِيْطاً، ثُمَّ يَقُوْمُونَ فَيُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّوؤنَ، قَالَ ابْنُ الـمُبَارَك: هَذَا عِنْدَنَا وَهُمْ جُلُوْسٌ. وَقَدْ رُوَيَ فِي الحَدِيْثِ زِيَادَةٌ تَمْنَعُ مَا قَالَهُ ابْنُ الـمُبَارَك، إِنْ ثَبَتَتْ، رَوَاهَا يَحْيَى القَطَّانُ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فَيَضَعُونَ جُنُوبَهُمْ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَنَامُ ثُمَّ يَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ قَاسِمُ بْنُ أَصْبَغَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ الخُشَنِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ القَطَّانُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ – فَذَكَرَهُ، قَالَ ابْنُ القَطَّانُ: وَهُوَ كَمَا تَرَى صَحِيْحٌ مِنْ رِوَايَة إِمَامٍ عَنْ شُعْبَةَ فَاعْلَمْهُ. وَقَدْ سُئِلَ أَحْمدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ حَدِيِثِ أَنَسٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يَضْطَجِعُونَ؟ قَالَ: مَا قَالَ هَذَا شُعْبَةُ قَطٌّ، وَقَالَ: حَدِيْثُ شُعْبَةَ: كَانُوا يَنَامُوْنَ، وَلَيْسَ فِيهِ يَضْطَجِعُوْنَ. وَقَالَ هِشَامٌ: كَانُوا يَنْعُسُوْنَ. وَقَدْ اخْتلفُوا فِي حَدِيْثِ أَنَسٍ وَقد رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى المـُوصِلِي مِنْ رِوَايَةِ سَعِيْدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، وَلَفْظُهُ: يَضَعُوْنَ جُنُوبَهُمْ فَيَنَامُوْنَ، مِنْهُمْ مَنْ يَتَوَضَّأُ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَتَوَضَّأُ
Dan pada riwayat al-Baihaqī, “Saya melihat sahabat Rasulullah ﷺ dibangunkan (tertidur di masjid) untuk salat, sampai-sampai saya mendengar suara dengkuran salah seorang dari mereka, kemudian mereka bangkit untuk salat tanpa (mengulang) wudu.” Ibnu al-Mubārak berkata, “Hal ini menurut kami mereka dalam keadaan duduk.” Namun ada tambahan lafal dari hadis tersebut yang menjadi sanggahan terhadap pernyataan Ibnu al-Mubārak -jika lafal tambahan tersebut sahih-, diriwayatkan oleh Yaḥya al-Qaṭṭān, dari Syu’bah, dari Qatādah, dari Anas, beliau berkata, “Dulu para sahabat Nabi ﷺ menunggu pelaksanaan salat sambil berbaring, ada di antara mereka yang tertidur kemudian terbangun dan (langsung) salat.”
Qāsim bin Aṣbag berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Muḥammad bin Abdissalām al-Khusyanī (dan dia berkata), telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basysyār (dan dia berkata), telah meriwayatkan kepada kami Yaḥya bin Sa’īd al-Qaṭṭān (dan dia berkata), telah meriwayatkan kepada kami Syu’bah (dan menyebutkan hadis tersebut).” Ibnu al-Qaṭṭān berkata, “Hadis tersebut sebagaimana Anda lihat diriwayatkan oleh imam dari Syu’bah.”
Aḥmad bin Hambal raḥimahullāh pernah ditanya tentang hadis Anas tersebut, “Apakah benar mereka (para sahabat) tertidur sambil berbaring?” Beliau menjawab, “Syu’bah tidak penah meriwayatkan lafal tersebut.” Beliau menambahkan, “Hadis Syu’bah hanya ada lafal ‘mereka tertidur’ dan tidak ada lafal ‘mereka berbaring’.” Hisyam berkata, “Mereka mengantuk.”
Ada perbedaan lafal pada hadis riwayat Anas tersebut, diriwayatkan oleh al-Mūṣilī, dari jalur Sa’īd, dari Qatādah, dan lafalnya, “Mereka berbaring dan tertidur, kemudian sebagian mereka berwudu kembali dan sebagian lain tidak berwudu lagi (langsung salat).”[1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Al-Gaṭīṭ (الغَطِيْطُ) artinya suara hembusan nafas dari orang yang tidur atau disebut juga dengkuran.[2]
- Ada lafal pada hadis ini yang diperselisihkan kevalidannya, yaitu, ‘mereka berbaring’. Aḥmad bin Hambal menyatakan lafal tersebut tidak valid dari Qatādah dan beliau tidak pernah meriwayatkannya. Sedangkan Ibnu al-Qaṭṭān menilai riwayat tersebut sah dan valid. Syekh al-Albāni menilai hadis tersebut sahih[3], namun setelah melihat hadis-hadis lainnya yang memerintahkan berwudu disebabkan tidur, beliau memilih mengamalkan hadis perintah berwudu karena dianggap perintahnya turun belakangan.
Makna hadis:
Anas bin Mālik meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi ﷺ pernah menunggu pelaksanaan salat hingga mereka tertidur dan terdengar hembusan nafas (dengkuran) dari sebagian mereka.
Mereka tertidur dalam posisi duduk dan berbaring, kemudian ketika salat dilaksanakan mereka pun terbangun dan melaksanakan salat tanpa berwudu lagi.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Semua hadis pada pasal ini menjelaskan kondisi tertidur ketika menunggu pelaksanaan salat di masjid. Kepala yang tertunduk, terdengar suara hembusan nafas saat tertidur, bangkit dari posisi berbaring, yang semuanya menyifatkan para sahabat tidak berwudu lagi dan langsung melaksanakan salat.
Ulama berbeda pandangan tentang persoalan ini dan dapat dirangkum dalam enam fatwa yang berbeda.
Pertama, tidur membatalkan wudu secara mutlak dan dalam kondisi serta posisi apa pun. Dalil pendapat ini adalah hadis Ṣafwān bin ‘Aṣṣal[4].
Kedua, tidak membatalkan wudu secara mutlak, dengan berdalilkan hadis Anas bin Mālik tersebut. Yang menceritakan tidurnya para sahabat dengan berbagai sifat, kemudian Nabi ﷺ tidak menyuruh mereka mengulang wudunya dan Allah Ta’ālā juga tidak menurunkan wahyu menegur beliau sebagaimana hadis tentang najis yang menempel di kedua sandal beliau.
Ketiga, segala bentuk tidur membatalkan wudu, kecuali tidur yang ringan atau diistilahkan dengan mengantuk dan kepala yang agak miring posisinya.
Keempat, tidur bukanlah pembatal wudu sebagaimana buang air besar atau kecil, akan tetapi orang yang tertidur dapat saja batal wudunya tanpa dia sadari. Jika seseorang tertidur sambil duduk tegak maka wudunya tidak batal.
Kelima, jika seseorang tidur dengan posisi gerakan salat; rukuk, sujud, berdiri, maka wudunya tidak batal.
Keenam, tidur yang pulas membatalkan wudu karena seseorang yang tidur pulas umumnya tidak menyadari lagi keadaan dan kondisi yang terjadi pada dirinya dan sekitarnya. Dan tidur yang tidak pulas maka tidak membatalkan wudu.[5]
- Beberapa hal lain yang membatalkan wudu karena keadaannya dikiaskan dengan tidur yaitu pingsan tidak sadarkan diri, mengalami kegilaan, mabuk,[6] karena semua hal tersebut menjadikan seseorang tidak mengetahui keadaan dirinya.
Footnote:
[1] H.R. al-Baihaqī (592), al-Bazzār (7077) dan Abu Ya’lā (3199).
[2] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 193.
[3] Muhammad Nāṣiruddīn al-Albānī (w. 1420 H). 1985 M. Irwā’ūl Galīl fī Takhrīj Aḥādīṡ Manāris Sabīl. al-Maktab al-Islāmī, Beirut. Jilid 1, hlm. 149.
[4] Hadis nomor 67 dalam kitab ini.
[5] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 89.
[6] Ibid.