Daftar Isi:
Bab: Seperti Apa Permulaan Wahyu Kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam?
Hadis 1
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semua perbuatan tergantung niatnya dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barang siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan’.”
Takhrij Hadis:
Hadis ini disebutkan oleh Imam Bukhārī pada enam tempat dari kitab Ṣaḥīḥ-nya yaitu pada nomor 54, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam kitab al-Imārah, bab “Sabda Rasulullah: semua perbuatan tergantung niatnya dan bahwasanya berperang di jalan Allah dan amalan-amalan lainnya termasuk ke dalamnya”, nomor 155.
Biografi Perawi Hadis[1]:
Beliau adalah ‘Umar bin Khaṭṭāb bin Nufail al-Qurasyī al-Adawī raḍiyallāhu ‘anhu. Kuniyah-nya adalah Abū Hafṣ, bukan karena beliau memiliki seorang putera bernama Hafṣ, namun karena Hafṣ merupakan salah satu sebutan untuk seekor singa, yang menunjukkan keberanian dan kekuataan seorang ‘Umar bin Khaṭṭāb. Hal itu tampak setelah keislaman beliau, dimana para sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam menyembunyikan identitas keislaman mereka di kota Mekah. Namun ketika ‘Umar memeluk agama Islam, ia dengan gagah berani menampakkan keislamannya di hadapan kuffār Quraisy sehingga sahabat lainnya merasakan kemuliaan sejak beliau memeluk Islam.
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khaṭṭāb adalah seorang yang berperawakan tinggi dan kekar, kulitnya gelap, kepalanya agak gundul, seandainya beliau berjalan di antara manusia, seakan-akan beliau mengendarai kuda sedang manusia di sekitarnya berjalan kaki. Ibnu Abbas raḍiyallāhu ‘anhumā meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar memuliakan agama Islam dengan salah satu dari dua ‘Umar, yaitu Amrū bin Hisyām alias Abū Jahl atau ‘Umar bin Khaṭṭāb. Allah memberikan hidayah kepada ‘Umar bin Khaṭṭāb.
Di antara keutamaan ‘Umar bin Khaṭṭāb, beliau adalah khalifah kedua setelah wafatnya Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan Abū Bakr al-Ṣiddīq, digelari oleh Rasulullah sebagai al-Fārūq dan seorang mulham atau yang diberi ilham oleh Allah dan salah satu dari sepuluh orang sahabat yang dijanjikan dengan surga oleh Allah subḥānahu wa ta’ālā, serta keutamaan-keutamaan lainnya.
Ulama berselisih pendapat tentang jumlah usia beliau, ada yang berpendapat 63 tahun, 60 tahun, 55 tahun, atau 54 tahun. Namun tidak ada perbedaan bahwa beliau wafat pada tahun 23 hijriyah di kota Madinah.
Fawaid Hadis:
- Para ulama berbeda pendapat tentang alasan mengapa Imam Bukhārī tidak memulai kitabnya dengan Mukadimah. Beliau justru memulai kitabnya dengan mengangkat hadis ini sebagai hadis pertama. Di antara alasan yang dikemukakan adalah:
- Melalui hadis ini, Imam Bukhārī hendak menjelaskan ketulusan niatnya tatkala menulis kitab Ṣaḥīḥ-nya.
- Hadis ini diriwayatkan melalui sahabat ‘Umar bin Khaṭṭāb tatkala beliau berkhotbah di atas mimbar sehingga apabila hadis ini dapat dijadikan sebagai mukadimah khotbah secara lisan maka ia dapat pula dijadikan mukadimah khotbah secara tulisan atau sebagai mukadimah sebuah kitab.
- Kitab Ṣaḥīḥ Bukhārī mengangkat hadis-hadis Nabi yang merupakan wahyu Allah ta’ālā sehingga sangat pantas bila Imam Bukhārī mengangkat bab pertama tentang permulaan wahyu dan bila wahyu Allah itu menjelaskan syariat-syariat-Nya maka sangat tepat apabila dimulai dengan hadis di atas seputar amalan.
- Hadis ini adalah hadis yang sangat agung dan merupakan dalil dan dasar utama dalam agama Islam. Telah diriwayatkan dari para salaf bahwa hadis ini merupakan 1/3 agama Islam atau ¼-nya, juga hadis ini dapat dijadikan dalil dalam 70 bab ilmu syar’i.
- Hadis ini adalah hadis ahad (garib) karena tidak diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu kecuali dari satu jalur saja hingga sampai kepada Yaḥya bin Sa’īd. Dari Yaḥya kemudian hadis ini banyak diriwayatkan oleh para perawi bahkan sampai pada jumlah derajat mutawatir. Sebagian ulama hadis ada yang melihat mutawatirnya hadis ini dari sisi maknanya, karena masyhurnya hadis ini di antara ulama dan kaum muslimin.
- Lafaz amalan dan niat dalam hadis di atas disebutkan dalam bentuk jamak, yang bermakna bahwa setiap amalan-amalan bergantung kepada niat-niatnya. Hal ini karena ada begitu banyak niat dari amalan yang dilakukan oleh seseorang, ada yang berniat karena Allah, untuk urusan duniawi dan sebagainya. Sedangkan di dalam riwayat lainnya, lafaz niat disebutkan dalam bentuk tunggal yang menunjukkan bahwa tempat niat hanyalah satu yaitu hati dan satu-satunya niat yang diterima adalah karena Allah ta’ālā.
- Hadis ini menjelaskan urgensi niat yang ikhlas dan keutamaannya karena seluruh amalan bergantung kepada niatnya.
- Di antara urgensi niat adalah untuk membedakan antara sebuah ibadah dan adat, antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, niat adalah perniagaan para ulama. Hal ini karena melalui sebuah ibadah, seseorang dapat memperoleh pahala yang banyak disebabkan niatnya, atau melalui sebuah adat dan kebiasaan, seseorang dapat memperoleh pahala bilamana diniatkan karena Allah.
- Hadis ini menjelaskan pula bahwa setiap orang akan diberikan balasan amalan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Setiap orang yang mengamalkan sebuah amalan disertai dengan syarat-syaratnya niscaya dia akan memperoleh hasil amalannya.
- Hadis ini mengajarkan salah satu di antara metode taklim yaitu dengan menyebutkan kaidah terlebih dahulu kemudian memberikan contoh untuk memperjelas dan menguatkan pemahaman orang yang mendengarkannya.
- Di dalam hadis ini, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh tentang pentingnya niat dalam sebuah amalan dengan ibadah hijrah. Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan, adapun ucapan hijrah kepada sesuatu artinya berpindah kepadanya dan meninggalkan tempat semula. Sedangkan menurut istilah, hijrah artinya meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah subḥānahu wa ta’ālā.
- Hijrah telah terjadi pada masa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam dua bentuk. Pertama, hijrah dari tempat yang diliputi rasa takut ke tempat yang aman seperti hijrahnya sebagian sahabat dari Mekah ke negeri Habasyah dan hijrahnya Rasulullah bersama para sahabat dari kota Mekah ke kota Madinah. Kedua, hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam yaitu setelah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menempati kota Madinah, maka hijrahlah para sahabat dari tempat tinggal mereka ke kota Madinah. Hal ini berlangsung sampai kota Mekah dibuka oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
- Riwayat ini tidak menyebutkan lafaz hadis ‘Umar secara sempurna (yaitu berisi “siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”) namun akan disebutkan oleh Imam Bukhārī pada bab-bab berikutnya. Sebabnya boleh jadi karena Imam Bukhārī ingin mendahulukan riwayat syekhnya, al-Humaidī yang berketurunan Quraisy sebagai bentuk pengamalan hadis Nabi untuk mendahulukan Quraisy, sedang pada riwayat Bukhārī dari al-Humaidī adalah riwayat yang tidak lengkap. Boleh jadi juga karena Imam Bukhārī hendak menjadikan hadis niat ini sebagai mukadimah kitabnya sehingga beliau meriwayatkan matan yang tidak lengkap agar beliau tidak terjatuh dalam perbuatan mentazkiah diri beliau sendiri.
- Di antara hal yang dapat membinasakan seseorang adalah perkara syahwat, kepada dunia dan wanita. Disebutkannya syahwat kepada wanita dalam hadis ini padahal ia merupakan bagian dari dunia, disebabkan karena besarnya fitnah wanita yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad sebagaimana dalam hadis lainnya.
- Disebutkan bahwa hadis ini disabdakan oleh Nabi Muhammad berkenaan dengan kisah seorang pria yang enggan melakukan hijrah karena Allah, namun dia melakukannya untuk menikahi seorang wanita semata yang bernama Ummu Qais. Riwayat kisah ini disahihkan oleh Ibnu Hajr namun beliau merajihkan bahwa hadis tentang niat dalam amalan ini tidaklah disabdakan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sehubungan dengan kisah muhajir Ummu Qais.
- Imam Ibnu Jarir raḥimahullāh menukilkan dari jumhur ulama salaf bahwa yang menjadi patokan niat amalan seseorang adalah bagaimana dia memulai amalannya. Apabila dia memulainya denga keikhlasan, maka munculnya perasaan yang menafikan keikhlasan di tengah ibadah tidak akan mengurangi nilai amalan tersebut, selama dia berusaha melawan perasaan tersebut dan tidak tenggelam di dalamnya.
- Hadis ini juga menjelaskan tidak bolehnya seseorang melakukan sebuah amalan sebelum dia mempelajari hukum-hukum berkenaan tentang amalan tersebut karena niat seseorang bergantung kepada pemahamannya terhadap hukum sebuah amalan.
- Dapat dipahami dari hadis ini bahwa selain amalan-amalan di dalam syariat Islam, tidak dipersyaratkan baginya sebuah niat, seperti melakukan jamak takdim, ia tidak membutuhkan niat berdasarkan pendapat yang rajih karena menjamak itu sendiri bukanlah sebuah amalan. Adapun yang diniatkan adalah pelaksanaan ibadah salatnya yang merupakan amalan. Meskipun yang dikuatkan oleh kebanyakan ulama Syāfi’iyah adalah wajibnya berniat untuk melakukan salat jamak.
Footnote:
[1] Lihat: al-Isti’āb fī Ma’rifah al-Aṣḥāb, Jilid 3, halaman 1156, dan al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah, Jilid 4, halaman 484.