15 FAEDAH TERKAIT BULAN SAFAR(1)
Mukadimah
Segala puji bagi Allah azza wa jalla atas nikmat-Nya, selawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah. Tulisan ini merupakan kumpulan faedah dan intisari pembahasan terkait bulan Safar, semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca dan semoga Allah memberi pahala terbaik bagi siapa saja yang berkontribusi dalam penyusunan materi ini dan penyebarannya.
Faedah Pertama:
Bulan Safar merupakan bulan kedua setelah bulan Muharam dalam penanggalan tahun hijriah.
Faedah Kedua:
Disebutkan sebagai bulan Safar dikarenakan kosongnya penduduk Makkah ketika mereka bersafar di waktu itu. Dikatakan juga bahwa dikarenakan kosongnya rumah-rumah mereka pada waktu itu dikarenakan perang atau safar. Dikatakan “ṣafira (صَفِرَ) al-makān” apabila tempat itu kosong.(2)
Faedah Ketiga:
Dahulu orang-orang Arab memiliki dua kemungkaran besar terkait dengan bulan Safar.
Pertama, mempermainkan bulan Safar; entah dengan mempercepatnya atau menundanya. Mereka kadang menjadikan bulan Safar itu sebagai bulan pengganti dari bulan Muharam. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah taala tentang mereka,
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.” (Q.S. al-Taubah:37)
Kedua, orang-orang jahiliah dahulu menganggap dan meyakini bahwa bulan Safar itu merupakan bulan kesialan. Lalu datanglah Islam yang membantah keyakinan tercela tersebut.
Faedah Keempat:
Tidak boleh seseorang menganggap sial hari-hari di bulan Safar begitupun dengan malamnya, karena hal tersebut merupakan perkara jahiliah yang Islam datang membatalkannya. Disebutkan dalam hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
لَا عَدْوَى، وَلَا طِيَرَةَ، وَلَا هَامَةَ، وَلَا صَفَرَ
“Tidak ada ‘adwā (keyakinan adanya penularan penyakit dengan sendirinya dan bukan karena takdir Allah), tidak ada ṭiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hāmah (keyakinan jahiliah tentang reinkarnasi) dan tidak pula ṣafar (menganggap bulan Safar sebagai bulan sial atau keramat).”(3)
Faedah Kelima:
Perkataan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, “lā ṣafara”, merupakan bulan Safar yang dikenal, dimana orang orang jahiliah dulu menganggapnya sial. Lalu Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kemudian membantah anggapan mereka, dimana Nabi menafikan anggapan mereka bahwa bulan Safar penuh dengan kesialan bahkan dia sama dengan zaman atau waktu-waktu yang lain, di dalamnya ada hal-hal baik yang ditakdirkan oleh Allah dan adapula hal-hal yang buruk(4).
Faedah Keenam:
Menganggap sial pernikahan, safar, pekerjaan dan acara-acara pribadi atau keluarga di bulan Safar, seperti berbagi makanan, kue dan lainnya merupakan khurafat yang dilarang oleh syariat.
Faedah Ketujuh:
Bulan Safar seperti dengan bulan yang lainnya bukan sebuah bulan yang buruk atau baik. Dia merupakan hari dan makhluk Allah yang kadang ada terjadi kebaikan di dalamnya kadang pula terjadi keburukan. Semua zaman dan waktu tidak memberikan pengaruh terhadap takdir Allah. Setiap urusan di dalamnya berada dalam genggaman Allah ‘azza wa jalla, tidak ada akan terjadi sesuatu kecuali dengan takdir atau kehendak Allah ‘azza wa jalla. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla dalam surah al-Taubah ayat 51,
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”
Faedah Kedelapan:
Al-Ḥafīẓ Ibnu Rajab al-Hambalī raḥimahullāh berkata, “Adapun mengkhususkan anggapan sial pada suatu masa atau waktu tertentu seperti bulan Safar atau selainnya merupakan sesuatu yang keliru karena semuanya adalah makhluk Allah yang di dalamnya terjadi takdir-takdir dan perbuatan anak cucu Adam.”
Setiap zaman atau waktu yang dimana setiap hamba tersibukkan dengan kebaikan maka dia adalah waktu yang berberkah. Begitupun sebaliknya, setiap zaman atau waktu yang dimana seorang hamba sibuk bermaksiat kepada Allah maka itu adalah waktu yang sial baginya. Karena kesialan yang hakiki adalah kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Olehnya, tidak ada kesialan kecuali pada kemaksiatan dan dosa yang dapat mengundang murka Allah ‘azza wa jalla. Tatkala Allah murka kepada seorang hamba maka baginya kesengsaraan di dunia dan akhirat. Sebagaimana ketika Allah rida bagi seorang hamba maka baginya kebahagiaan dunia dan akhirat(5).
Faedah Kesembilan:
Taṭayyur dan tasyaum yaitu menganggap sial sesuatu adalah bagian dari kesyirikan yang menafikan kemurnian dan kesempurnaan tauhid.
Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلَاثًا
Ṭiyarah adalah syirik, ṭiyarah adalah syirik (beliau menyebutnya tiga kali).(6)
Hal ini karena orang yang ber-taṭayyur (mengadu nasib dengan melihat arah terbang burung), percaya bahwa semua itu dapat mendatangkan manfaat atau mudarat dan ini merupakan hakikat kesyirikan.
Barang siapa yang meyakini taṭayyur disebabkan apa yang disaksikannya atau didengarnya maka hal tersebut tidak dianggap syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Akan tetapi, dia melakukan kesyirikan dinilai dari sisi dia mengambil sebab yang dimana syariat tidak menganggap hal itu sebab syar’i karena keyakinan seperti itu melemahkan tawakal dan azam. Atas dasar itulah maka keyakinan seperti itu termasuk kesyirikan.
Disebutkan dalam suatu kaidah, “Barang siapa yang mengambil suatu sebab yang dimana syariat tidak menganggap itu adalah sebab maka dia telah melakukan kesyirikan yang tergolong syirik kecil.”
Hal ini adalah di antara macam-macam bentuk kesyirikan kepada Allah. Terkadang syiriknya terkait dengan syariat jika sebabnya syar’i dan terkadang syirik terkait takdir jika sebabnya secara hukum alam. Akan tetapi, jika seseorang berkeyakinan bahwa semua ini berasal dari pelaku (dengan sendirinya) dan tidak terkait dengan kekuasaan Allah ‘azza wa jalla maka ini termasuk syirik akbar karena dia telah menjadikan bagi Allah sekutu pada ciptaan dan kejadiaan-Nya(7).
Faedah Kesepuluh:
Di antara dalil dan bukti yang membantah tentang anggapan sial di bulan Safar adalah beberapa peristiwa dan kemenangan besar umat Islam di bulan Safar, di antaranya:
Pertama, hijrahnya Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah pada bulan Safar dan dia tiba di Madinah pada bulan Rabiulawal. Pendapat yang lain bahwa Nabi keluar pada bulan Rabiulawal.
Kedua, terjadinya perang Abwa’ pada tahun 2 hijriah bertepatan pada bulan Safar yang merupakan peperangan pertama yang terjadi dalam Islam.
Ketiga, pembebasan Khaibar pada tahun 7 hijriah dilakukan pada bulan Safar, pendapat lain terjadi pada Jumadilawal.
Keempat, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengutus Usamah bin Zaid raḍiyallāhu ‘anhumā sebagai panglima menghadapi pasukan Romawi pada tahun 11 hijriah itu terjadi pada akhir-akhir bulan Safar. Beberapa hari sebelum meninggalnya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, penaklukan kota Madain yang merupakan ibu kota Persia pada tahun 12 hijriah dilakukan pada bulan Safar dan ini merupakan indikasi kehancuran Persia.
Faedah Kesebelas:
Hari Rabu terakhir di bulan Safar itu sama saja dengan hari-hari yang lain, tidak boleh untuk kemudian dikhususkan di dalamnya ibadah, doa, atau zikir. Sebagaimana keyakinan sebagian orang bahwa hari itu adalah hari diturunkannya bencana besar yang tidak ada mengetahui seberapa besar kedahsyatannya melainkan Allah ‘azza wa jalla semata. Lalu mereka berkeyakinan barang siapa bersedekah atau melaksanakan salat maka niscaya ia terhindar dari bala ini.
Di antara kekeliruan lainnya adalah mengkhususkan salat nafilah Duha pada hari tersebut dengan keyakinan bahwa hal itu akan menolak bencana pada hari tersebut, atau menuliskan beberapa penggalan ayat kemudian dimasukkan ke bejana lalu meminumnya sebagai bentuk tabaruk dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa menolak keburukan. Semua ini merupakan perkara bid’ah yang tidak berdasar dan merupakan keyakinan yang menyimpang serta sikap pesimisme yang tercela(8).
Faedah Kedua Belas:
Ada juga keyakinan sebaliknya yaitu bulan Safar adalah bulan kebaikan, keberuntungan, taufik dan kemenangan. Sikap ini bagaikan membantah bid’ah dengan bid’ah lainnya. Sekali lagi bulan Safar bukan bulan yang memiliki keutamaan khusus namun bukan juga bulan yang sial dan buruk.
Faedah Ketiga Belas:
Penulisan tanggal yang dilakukan oleh sebagian orang dalam risalahnya atau agenda kerjanya dengan perkataan “Ṣafar al-Khair” (Safar yang baik), seperti tulisannya, “Telah selesai pada tanggal 25 Ṣafar al-Khair, ini juga termasuk membantah bid’ah dengan bid’ah lainnya dan kejahilan dibalas dengan kejahilan lainnya karena bulan Safar bukan bulan buruk dan juga bukan bulan baik. Sebagian beralasan bahwa perkataan “Ṣafar al-Khair” sebagai bentuk optimisme untuk membantah keyakinan waktu sial. Semua ini bentuk kejahilan dan keyakinan yang batil.
Olehnya, sebagian salaf mengingkari perilaku orang yang ketika mendengar suara burung hantu lalu kemudian dia katakan, “khairan insyā’a Allāh” (baik, insyā’a Allāh). Sejatinya, tidak pantas disebutkan seperti itu, tidak disebutkan baik karena suara burung hantu dan juga tidak dikatakan buruk, karena burung hantu bersuara sebagaimana burung-burung lainnya(9).
Faedah Keempat Belas:
Setiap hadis yang menyebutkan peristiwa yang akan terjadi ke depannya di tanggal tertentu, baik itu di bulan Safar atau selainnya maka ini adalah hadis palsu dan kebohongan atas nama Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah ditegaskan oleh Imam Ibnu al-Qayyim raḥimahullāh(10).
Faedah Kelima Belas:
Hendaknya kita berhati-hati untuk menyebarkan hadis-hadis di media sosial sebelum kita mengecek kevalidan hadisnya. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barang siapa yang berbohong atas namaku secara sengaja hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka.”
Dalam hadis lain disebutkan,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan dusta ketika dia menyampaikan setiap yang didengarnya.”
Kita memohon agar Allah ta’ālā memberikan taufik kepada kita untuk melakukan apa yang dicintai dan diridai-Nya, serta menjauhkan kita dari bid’ah dalam agama, walḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn.
Footnote:
(1) Tulisan ini disadur dan diterjemahkan dari situs resmi Syekh Muhammad Ṣālih al-Munajjid hafiẓahullāh: https://almunajjid.com/books/lessons/129 dan juga telah dicetak dalam format e-sebuah buku oleh Zad Group.
(2) Lihat: Lisān al-‘Arab (4/462) dan Tafsīr Ibn Kaṡīr (4/146).
(3) H.R. Bukhari (no. 5707) dan Muslim (no. 2220).
(4) Lihat: Laṭā’if al-Ma’ārif karya Ibnu Rajab (hal. 74) dan al-Qaul al-Mufīd karya Ibnu Uṡaimin (1/564).
(5) Laṭā’if al-Ma’ārif (hal. 75) dikutip secara ringkas.
(6) H.R. Abu Daud (no. 3910) dan Ibnu Majah (no. 3538) serta disahihkan oleh al-Albanī.
(7) Al-Qaul al-Mufīd (1/575) dengan sedikit perubahan.
(8) Lihat: Fatāwā al-Lajnah al-Dā’imah (2/496) dan al-Sunan wa al-Mubtadi’āt karya al-Syuqairi (hal.137).
(9) Lihat: Fatāwā Ibnu Uṡaimin (2/114), al-Qaul al-Mufīd (1/567) dan Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah karya Syekh Bakar bin Abdullah Abu Zaid raḥimhullāh (hal. 331).
(10) Lihat: al-Manar al-Munīf (hal. 63).