PERTANYAAN:
Bagaimana status hadis tentang Nabi Adam عليه السلم yg melihat tulisan di surga lafaz الله dan محمد dalam bentuk syahadat lalu Nabi Adam bertanya, “Siapa orang yang berdampingan dengan engkau ya Rabb?” Kurang lebihnya seperti itu.
(Sadi – Kalteng, Muara Teweh)
JAWABAN:
Barangkali hadis yang anda tanyakan redaksinya adalah
لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ، قَالَ: يَا رَبِّ، أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ اللهُ: يَا آدَمُ، وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ، لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ، وَنَفَخْتُ فيَّ مِنْ رُوْحِكَ، رَفَعْتُ رَأْسِي، فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا: لَا إِلَهَ إِلَّا الله، محمد رسول الله، فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيَّ، اُدْعُنِي بِحَقِّهِ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلَوْلَا مُحَمَّد مَا خَلَقْتُكَ
“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata, ‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Muhammad agar Engkau mengampuniku.’ Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Kuciptakan?’ Adam menjawab, ‘Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari ruh-Mu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang arasy tercantum tulisan yang berbunyi ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.’ Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan nama-Mu kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai.’ Allah berkata, ‘Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi Muhammad shallallahu’alaihi Wasallam) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaku dengan (bertawasul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku tidak akan menciptakanmu.’”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak-nya (no. hadis 4228), dan al-Baihaqi dalam Dala`ilu al-Nubuwwah (no. hadis 2243) dari jalur Abu al-Hāriṡ Abdullah bin Muslim al-Fihry, dari Ismail bin Maslamah, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khattāb raḍiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ṭabrani dalam al-Mu’jam al-Sagir (no. hadis 992) dari jalur Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dengan untaian sanad yang sama dan lafaz yang mirip.
Jadi, madar al-isnad (poros sanad) dari hadis di atas adalah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.
Mari kita telisik mata rantai sanad di atas,
- Abu al-Hāriṡ Abdullah bin Muslim al-Fihry.
Imam Zahabi dan Ibnu Hajar mengatakan, “Abdullah bin Muslim Abu al-Hāriṡ al-Fihry meriwayatkan hadis dari Ismail bin Maslamah bin Qa’nab, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebuah hadis yang batil yang di antara redaksinya ‘Andaikata bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu’ yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di kitab Dala`ilu al-Nubuwwah.”[1]
Sebelum nama perawi ini (Abu al-Hāriṡ Abdullah bin Muslim al-Fihry) Imam Zahabi menyebutkan sebuah nama perawi, yaitu Abdullah bin Muslim bin Rusyaid, Imam Zahabi menyebutkan derajatnya, “Tertuduh memalsukan hadis… memalsukan hadis dari Laits, Imam Malik, dan Ibnu Lahi’ah.”[2]
Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Tidak menutup kemungkinan bahwa orang ini (Abdullah bin Muslim al-Fihry) adalah orang sebelumnya (Abdullah bin Muslim bin Rusyaid), karena dia berada satu level dengannya.”[3]
Alhasil menurut Ibnu Hajar Abdullah bin Muslim bin Rusyaid dan Abdullah bin Muslim al-Fihry adalah dua nama untuk satu orang perawi, dan di antara ulama yang terdahulu yang men-jarh (melemahkan) Abdullah bin Muslim bin Rusyaid adalah Ibnu Hibban, bahkan beliau menghukumi dengan keras, yaitu, “Dituduh memalsukan hadis.”[4]
Seorang perawi memiliki nama lebih dari satu adalah perkara yang lumrah dalam disiplin ilmu hadis, khususnya para perawi yang lemah, di antara tujuannya adalah untuk mengelabui orang lain agar hadis perawi tersebut diterima, namun hal ini bukanlah perkara yang menyulitkan para ulama hadis, mereka mampu mendeteksi pengelabuan-pengelabuan tersebut atas karunia Allah azza wajalla.
- Ismail bin Maslamah bin Qa’nab al-Hāriṡi al-Qa’nabi, Abu Bisyr al-Madani.
Banyak di kalangan ulama yang memuji perawi ini, di antaranya adalah Abu Hatim al-Razi yang mengatakan “Sadūq“, Imam al-Hakim mengatakan “…zuhād ṡiqāt“[5], namun konklusi dari Ibnu Hajar terkait perawi ini adalah “Sadūq yukhṭi`” (jujur namun terjatuh dalam kesalahan)[6] karena beliau salah dalam meriwayatkan hadis di kitab Muwaṭṭa’[7] sedangkan Imam Zahabi mencukupkan diri dengan mengatakan, “Dia telah dipuji.”[8]
Alhasil, perawi ini berada pada tingkatan ṣadūq, yaitu perawi yang level hadisnya pada derajat hasan.
- Abdurrahman bin Zaid bin Aslam maula Umar bin al-Khaṭṭ
Para ulama sepakat atas kelemahannya. Imam Bukhari mengatakan, “Sangat dilemahkan oleh Ali (bin Madini),”[9] Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah mengatakan, “Hadisnya lemah.”[10] Imam al-Hakim mengatakan,
عبد الرَّحْمَن بن زيد بن أسلم روى عَن أَبِيه أَحَادِيث مَوْضُوعَة لَا يخفى على من تأملها من أهل الصَّنْعَة أَن الْحمل فِيهَا عَلَيْهِ
“Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadis-hadis palsu yang bila diteliti para pakar hadis, maka sangat jelas bahwa yang tertuduh (memalsu hadis) adalah dia.”[11]
Dari akumulasi dari ucapan para ulama ini dapat disimpulkan bahwa Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi yang lemah dengan kesepakatan para ulama, bahkan sebagian menganggap bahwa beliau adalah perawi yang sangat lemah.
- Zaid bin Aslam al-‘Adawi maula Umar bin al-Khaṭṭ
Beliau adalah seorang perawi yang terpercaya. Ibnu Hajar berkonklusi terkait derajat beliau dengan mengatakan,
ثقة عالم وكان يرسل
“Ṡiqah (perawi yang derajat hadisnya sahih), banyak ilmu, dan biasa meriwayatkan hadis secara mursal.”[12]
Alhasil dengan menelisik mata rantai sanad di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sanad hadis di atas sangat lemah, bahkan sebagian ulama menghukuminya palsu. Kelemahan hadis di atas disebabkan karena dua perawi yaitu Abu al-Hāriṡ Abdullah bin Muslim al-Fihry dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam maula Umar bin al-Khaṭṭab.
Di antara ulama yang melemahkan hadis ini adalah,
- Imam al-Baihaqi dalam kitab Dala`ilu al-Nubuwwah (no. hadis 2243) padahal beliau adalah murid dari Imam al-Hakim, nampaknya beliau tidak sepakat dengan gurunya yang menyahihkan hadis di atas.
- Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan para ulama, ia banyak melakukan kesalahan ketika meriwayatkan hadis, dilemahkan oleh Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-Nasai, Daraqutni, dan yang lainnya…”[13]
- Imam Zahabi, beliau adalah pakar hadis yang memiliki perhatian terhadap kitab al-Mustadrak karya Imam al-Hakim, sampai beliau men-talkhis buku tersebut dan memberikan hukum terhadap hadis-hadisnya. Terkait hadis di atas, Imam Zahabi menyanggah hukum yang diberikan al-Hakim dengan mengatakan,
قال: صحيح. قلت: بل موضوع، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم المذكور في إسناده واه
“(Al-Hakim) mengatakan, “Sahih”, saya (Zahabi) mengatakan, “Bahkan hadis palsu, dan Abdurahman bin Zaid bin Aslam yang ada di sanad sangat lemah.”[14]
4. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, sebagaimana dalam kitabnya Lisānu al-Mīzān karya Ibnu Hajar (5/12) no. biografi (4462), bahkan beliau mengatakan, “Khabarun bātil” (hadis batil).
Sedangkan ulama yang menyahihkan hadis ini adalah Imam al-Hakim, beliau mengatakan setelah meriwayatkan hadis ini, “Hadis ini sanadnya sahih.”[15]
Namun nampaknya konklusi beliau ini perlu dikritisi, sebab di dalam kitab yang lain, yaitu kitab al-Madkhal Ila al-Ṣahīh, beliau mengatakan bahwa, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadis-hadis palsu yang bila diteliti para pakar hadis, maka sangat jelas bahwa yang tertuduh (memalsu hadis) adalah dia.”[16]
Jadi konklusi ini sangat kontras dengan hukum beliau terhadap sosok Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Penyebabnya antara lain:[17]
- Karena beliau menulis buku al-Mustadrak di akhir-akhir dari kehidupannya ketika usianya sudah senja, jadi terjadi kelalaian dan perubahan pada hafalan beliau, oleh karena itu ada hal-hal yang terluput dan terlupakan.
- Ditambah lagi beliau tidak sempat me-muraja’ah dan merevisi kitab al-Mustadrak secara sempurna karena keburu meninggal dunia. Yang sempat beliau muraja’ah dan revisi adalah sekitar lima bagian di awal kitab al-Mustadrak, buktinya adalah sedikitnya kesalahan dan kelalaian pada bagian tersebut.
Selain hadis ini cacat secara sanad, sebagian ulama juga menilai bahwa hadis ini cacat secara matan (lafaz hadis), sebab tercium aroma kemungkaran dalam matannya, yaitu berupa kontradiksi yang nyata dengan nas-nas yang lain yang lebih valid. Di antara adalah lafaz,
وَلَوْلَا مُحَمَّد مَا خَلَقْتُكَ
“Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku tidak akan menciptakanmu.”
Lafaz hadis ini menetapkan bahwa penciptaan manusia (nabi Adam) disebabkan karena nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Secara zahir informasi ini berkontradiksi dengan firman Allah azza wajalla,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Wallahualam.
Footnote:
[1] Mizān al-I’tidāl karya Imam Zahabi (2/504) no. biografi (4604), dan Lisānu al-Mīzān karya Ibnu Hajar (5/12) no. biografi (4462).
[2] Mizān al-I’tidāl karya Imam Zahabi (2/503) no. biografi (4603).
[3] Lisānu al-Mīzān karya Ibnu Hajar (5/12) no. biografi (4462).
[4] Al-Majruhīn, karya Ibnu Hibban (2/44) no. biografi (575).
[5] Tahzību al-Kamāl (3/208) no. biografi (490).
[6] Taqrību al-Tahzīb, no. biografi (491).
[7] Tahzību al-Tahzīb (1/292) no. biografi (605).
[8] Al-Kāsyif (1/250) no. biografi (410).
[9] Al-Tārikh al-Kabīr (5/284) no. biografi (922).
[10] Al-Jarh wa al-Ta’dīl (5/233-234).
[11] Al-Madkhal Ila al- Ṣahīh, karya al-Hakim hal. 154, no. biografi (97).
[12] Taqrību al-Tahzīb, no. biografi (2117).
[13] Majmu’u al-Fatawa (1/255).
[14] Mukhtasar Talkhis Zahabi (2/1069) no. hadis (454).
[15] Al-Mustadrak (no. hadis: 4228).
[16] Al-Madkhal Ila al- Ṣahīh, karya al-Hakim hal. 154, no. biografi (97).
[17] Fathu al-Mugis karya al-Sakhawi (1/35).