وَعَن أبي هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((إِذا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَنْثِرْ))
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berwudu, hendaknya dia memasukkan air ke hidungnya, kemudian dikeluarkan kembali (istintsar).”[1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Maksud dari lafal hadis “hendaknya dia memasukkan air ke hidungnya” adalah Sebagian rawi tidak menyebutkan lafal tersebut, namun maknanya dapat dipahami meskipun riwayatnya diikhtisar.[2]
- Pada penggalan kalimat ثُمَّ لِيَنْثِرْ dan فَلْيَسْتَنْثِرْ pada riwayat Ibnu Syihab, kata نَثَرَ dan اسْتَنْثَرَ memiliki makna yang sama yaitu mendorong (air) yang ada dimasukkan sebelumnya (istinsyaq) dengan udara yang di dalam lubang hidung.[3]
Makna hadis:
Pada hadis ini, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan tata cara berwudu secara lisan dengan perkataan beliau. Ber-istinsyaq dengan memasukkan air ke dalam lubang hidung dan ber-istintsar adalah sifat wudu yang sesuai sunnah.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis ini menyampaikan secara eksplisit dalil tentang wajibnya ber-istintsar, akan tetapi mengalihkan maknanya sebagai sesuatu yang mustahab juga sesuatu yang memungkinkan. Agar dapat mengabungkan dan tidak mengabaikan beberapa dalil lain yang menunjukkan maknanya hanya sebatas mustahab[4]
- Istinsyaq dan istintsar adalah dua sifat wudu yang berbeda.[5]
- Jumhur ulama memandang bahwa istinsyaq adalah hal yang dianjurkan dan bukan perkara yang wajib ketika berwudu.
- Hidung adalah salah satu tempat berkumpulnya kotoran sehingga membersihkannya adalah upaya untuk menghindari dan menjauhi setan.
- Jika berkumur adalah untuk membersihkan mulut, maka istinsyaq dan istintsar adalah untuk membersihkan hidung.
Footnote:
[1] H.R. Al-Bukhari (162) dan Muslim (237).
[2] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 251.
[3] Ibnu Abdil Barr. Al-Istidzkaar. Jilid 1, hlm. 135.
[4] Al-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 126.
[5] Badruddin al-Aini. Syarah Sunan Abi Daud. Jilid 1, hlm. 329.