عَن يُونُس، عَن ابْن شِهَابٍ، أَنَّ عَطاء بنَ يزِيد اللَّيْثِيَّ أخبرهُ، أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أَخْبَرهُ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّان رَضِيَ اللَّهُ عَنْه دَعَا بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَغسلَ كفَّيهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثمَّ مَضْمَضَ، واستَنْثَرَ، ثمَّ غَسَلَ وَجْهَه ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثمَّ غَسَلَ يَدَهُ اليُمْنَى إِلَى المِـرْفقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اليُمْنَى إِلَى الكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َتَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا، ثُمَّ قَامَ، فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تقدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ)). قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ: هَذَا الوضُوءُ أَسْبَغُ مَا يتَوَضَّأُ بِهِ أحدٌ لِلصَّلَاة. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٌ، وَقَالَ البُخَارِيُّ: ثُمَّ تَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ، واسْتَنْثَرَ.
Dari Yunus, dari Ibnu Syihab, bahwa Atha bin Yazid Al-Laytsi mengabarkan kepada beliau, bahwa Humraan maula Utsman bin Affan radhiyallahu anhu mengabarkan kepadanya (‘Atha), bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu anhu minta didatangkan air wudu, kemudian beliau berwudu dengan mencuci kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang sebelumnya dimasukkan ke hidung), kemudian membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku, kemudian membasuh tangan kirinya demikian pula, kemudian membasuh kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali, kemudian mencuci kaki kirinya demikian pula, kemudian beliau berkata, “Saya melihat Rasulullah ﷺ berwudu sebagaimana wudu saya ini, kemudian beliau bersabda, ‘Siapa berwudu sebagaimana wudu saya ini, kemudian salat dua rakaat dan tidak berbicara walau dengan dirinya sendiri (dalam salat tersebut), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’”
Ibnu Syihab berkata, “Para Ulama kita mengatakan bahwa wudu yang seperti ini adalah wudu yang paling sempurna yang dapat dilakukan seseorang ketika akan salat.’ Muttafaqun alaihi[1], dan ini lafal Muslim, sedangkan lafal Al-Bukhari, “Kemudian berkumur, lalu ber-istinsyaq, kemudian ber-istintsar.”
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
- Utsman bin Affanbin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdis Syams, bin Abdi Manaf, nasab beliau bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ pada kakek yang bernama Abdi Manaf.
Beliau masuk Islam sejak permulaan dakwah, pernah berhijrah dua kali (Hijrah Habasyah dan Madinah). Beliau menikahi dua orang putri Nabi Muhammad (Ruqayyah dan Ummu Kaltsum) pada waktu yang berbeda setelah salah seorang di antara keduanya wafat.
Beliau diangkat menjadi khalifah setelah Umar bin Khatthab wafat. Beliau wafat pada Hari Jumat pada bulan Zulhijjah tahun 35 hijriah di Madinah.[2]
- Humraanmaula Utsman bin Affan, beliau adalah Humraan bin Abaan al-Farisi. Awalnya beliau tawanan perang Ain At-Tamr (negeri yang ditaklukkan kaum muslimin pada masa khilafah Abu Bakar, di bawah komando Khalid bin Al-Walid). Beliau adalah muazin dan juru tulis khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, sering salat bermakmum di belakang beliau.[3]
- (وَضُوء) huruf al-waw dibaca dengan harakat fatah, maknanya adalah air yang digunakan untuk berwudu. Jika yang dimaksud adalah perbuatan atau masdarnya maka dibaca dengan harakat damah. Secara bahasa kata (الوُضُوءِ) berasal dari kata (الوَضَاءَةِ) yang bermakna hasan, bersih. Penamaan wudu salat dengan kata ini karena seseorang yang berwudu, maka dia membersihkan diri dan menjadi hasan atau elok.[4]
- (الْغُسْلِ) Al-Ghusluatau mencuci maknanya secara fikih adalah mengalirkan air ke anggota tubuh ketika berwudu, dan tidak dipersyaratkan memijatnya (menggosok).[5]
Makna hadis:
Hadis ini mencakup sifat wudu yang sempurna dari sifat Nabi Muhammad ﷺ. Utsman bin Affan radhiyallahu anhu mengajarkannya dengan metode yang terbaik dan memahamkannya kepada orang di sekitarnya dengan pemahaman yang sempurna yaitu dengan langsung mempraktikkannya. Tentu cara ini akan lebih mudah dipahami dan lebih kuat dalam ingatan.
Beliau minta didatangkan air dalam bejana agar air tersebut tetap bersih, dan beliau tidak mencelupkan tangannya ke dalam bejana, namun dengan menuangkan air ke telapak tangan sebanyak tiga kali, sampai kedua telapak tangan tersebut bersih. Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian membasuh kepala sekali saja. Kemudian mencuci kedua kakinya hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali.
Setelah beliau selesai mempraktikkannya, beliau menyampaikan demikianlah tata cara wudu Nabi Muhammad ﷺ yang beliau lihat langsung. Beliau juga menyampaikan bahwa siapa berwudu dengan wudu yang sama seperti itu, kemudian salat dua rakaat dengan khusyuk menghadap Allah ta’ala, maka Allah ta’ala dengan rahmat-Nya akan menghapus semua dosa-dosa yang telah lalu dari hamba tersebut. Semua itu dikarenakan wudu yang sempurna dan salat yang ikhlas hanya kepada-Nya.[6]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Disyariatkannya mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana air wudu.
- Menggunakan tangan kanan ketika menciduk air wudu, dan memulai dengan anggota tubuh yang kanan ketika dicuci saat berwudu.
- Disyariatkannya berkumur, ber-istinsyaq(memasukkan air ke dalam hidung), ber-istintsar (mengeluarkan air tersebut) dengan urutan sebagaimana dalam hadis. Hal ini disepakati oleh para ulama, dan terjadi perbedaan pada kesimpulan hukumnya pada berkumur dan ber-istinsyaq, apakah itu wajib atau bukan.
Rabi’ah, Malik, Al-Laitsi, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i bahwa keduanya adalah sunah wudu dan mandi janabah.
Imam Ats-Tsauri dan Abu Hanifah memandang bahwa berkumur dan ber-istinsyaq wajib pada saat mandi janabah, dan sunah ketika berwudu.
Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Tsaur berpendapat bahwa al-Istinsyaq wajib ketika berwudu dan mandi janabah, namun berkumur tidak wajib.[7]
- Membasuh wajah dilakukan sebanyak tiga kali. Sekali cucian secara vertikal adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala (bagian depan) hingga dagu, secara horizontal dari telinga yang satu hingga telinga yang satunya lagi.
- Membasuh kedua tangan hingga ke siku sebanyak tiga kali.
- Mengusap seluruh kepala sebanyak satu kali saja.
Imam Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah pernah berkata bahwa kaum perempuan dan laki-laki sama dalam hal membasuh kepala ketika berwudu.[8]
- Mencuci kaki berikut mata kaki sebanyak tiga kali.
- Wajib hukumnya berurut-urutan dalam membasuh anggota tubuh ketika berwudu.
- Hikmah didahulukannya berkumur dan ber-istinsyaq sebelum membasuh muka adalah bahwa iktibar kesucian air dengan tiga sifatnya yang utama. Warna dapat di ketahui dengan penglihatan mata, rasa dapat dikecap dengan lidah, dan aroma dapat dicium dengan hidung.
Maka dengan didahulukannya berkumur dan ber-istinsyaq dapat menguji dan mendeteksi kondisi air sebelum melakukan hal yang wajib ketika berwudu.[9].
- Ulama bersepakat bahwa membasuh anggota tubuh ketika berwudu lebih dari tiga kali hukumnya makruh.
Imam Abu Muhammad al-Juwaini bahkan berpendapat bahwa, jika dengan sengaja membasuh sebanyak empat kali, maka yang keempat adalah bidah yang dibenci.
- Hadis ini memberikan dalil tentang anjuran melakukan salat dua rakaat setiap selesai wudu, dan hukumnya sunah muakkad. Salat ini boleh dilakukan pada semua waktu tanpa terkecuali, karena ada sebabnya.
Jika setelah berwudu tersebut kemudian salat yang dilakukan adalah salat fardu atau nafilah, maka keutamaan yang disebutkan dalam hadis juga didapat dan maksud telah tercapai. Sebagaimana keutamaan salat tahiat masjid didapatkan oleh orang yang masuk masjid kemudian dia salat fardu atau sunah rawatib.[10]
- Pahala yang dijanjikan dalam hadis khusus jika dilakukan dengan sempurna dua hal utama, pertama, berwudu dengan tata cara sebagaimana dalam hadis, kedua, salat dua rakaat dengan sifat salat yang khusyuk seperti dijelaskan dalam hadis.[11]
Dosa yang diampunkan adalah terkhusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa besar pelakunya harus bertaubat dan tidak melakukan dosa tersebut lagi.
- Sebab kesempurnaan salat adalah hati yang tawajuh bahwa seseorang yang salat berada di hadapan Allah. Hadis ini juga mengajak untuk ikhlas kepada Allah sekaligus peringatan bahwa salat dapat tertolak jika ada di dalamnya urusan duniawi. Akan tetapi, barang siapa dalam salatnya terlintas perkara duniawi kemudian dia berusaha menghilangkan pikiran tersebut, maka mudah-mudahan dia tetap mendapat pahala tersebut.[12]
- Kewajiban atas orang yang berilmu untuk menyampaikan ilmu yang ada padanya dan menyebarkan ilmu di tengah-tengah manusia.
Karena Allah mengancam orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan berupa huda dan bayyinat dengan ancaman laknat dari Allah dan dari semua manusia. Allah telah mengambil perjanjian yang tegas dari para ulama agar tidak menyembunyikan ilmu dan harus menjelaskannya kepada semua manusia. Meskipun ayat tersebut turun bagi ahli kitab, namun termasuk di dalamnya semua orang yang berilmu dan menjadikan ilmu tersebut wasilah untuk beribadah kepada Allah.[13]
- Ikhlas kepada Allah dalam beribadah dan meninggalkan urusan dunia (saat beribadah) merupakan sebab mendapat magfirah dan diterimanya amalan.[14]
Footnote:
[1] HR. Al-Bukhari (164) dan Muslim (226).
[2] Adz-Dzahabi. Op. Cit. Jilid 2, hlm 149.
[3] Adz-Dzahabi. Op. Cit. Jilid 4, hlm 183.
[4] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 99.
[5] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 107.
[6] Abdullah bin Shalih Al-Bassam. Op. Cit. Jilid. 1, hlm 27.
[7] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm 254.
[8] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm 281.
[9] Ibnu Daqiiq Al-‘Ied. Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm 82.
[10] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 109.
[11] Abdullah bin Shalih Al-Bassam. Op. Cit. Jilid. 1, hlm 29.
[12] Ibid.
[13] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm 250.
[14] Ibid.