HADIS KE-20 AL-ARBAIN: MILIKILAH RASA MALU

7043
HADIS KE 20 AL ARBAIN MILIKILAH RASA MALU
HADIS KE 20 AL ARBAIN MILIKILAH RASA MALU
Perkiraan waktu baca: 3 menit

عَنْ أَبيْ مَسْعُوْدٍ عُقبَة بنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيِّ البَدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ (إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ) رواه البخاري

Dari Abu Mas’ūd, ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshāri al-Badriy radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya termasuk perkara yang didapati oleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu!’.” (H.R. Bukhari)

Demikianlah Nabi menyampaikan kepada kita tentang sebuah nasihat yang diriwayatkan dari para Nabi terdahulu, disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lainnya, dari satu umat ke umat yang lain. Hingga perkataan ini diamini oleh Nabi dan menjadi nasihat penting bagi umatnya. Jika tidak malu, maka lakukanlah!

Al-Khatthābiy berkata, “Maksud sabda Nabi ‘ucapan kenabian yang pertama’ adalah bahwa rasa malu adalah akhlak terpuji menurut para Nabi terdahulu. Memiliki rasa malu juga diperintahkan. Tidak ada syariat yang menghapus hal tersebut. Orang-orang terdahulu dan yang akan datang semua berada di atas jalan yang sama.”[1]

Rasa malu adalah karakteristik yang agung dan terpuji. Para ulama mendefinisikan rasa malu sebagai akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan hal buruk dan memenuhi hak orang lain dengan baik.

Rasa malu menjadikan seorang hamba senantiasa melakukan hal-hal baik dan membuatnya meninggalkan hal-hal tercela. Apabila semua itu dikerjakan karena malu kepada Allah maka seorang muslim akan menuai pahala.[2]

Dalam hadis ini, seakan-akan ada perintah untuk berbuat apa saja jika sudah tidak punya rasa malu. Namun Ibnu ‘Abdil Bar mengatakan bahwa maksud dari ucapan ini sejatinya adalah kabar yang berisi makna peringatan dan bukanlah sebuah perintah. Maksudnya ialah apabila seseorang tidak memiliki rasa malu yang menghalanginya dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah, maka akan sama saja baginya perbuatan dosa besar maupun kecil. Ini senada dengan perkataan Umar, “Barang siapa yang memiliki kelonggaran harta dan sudah mampu namun ia tidak berangkat haji maka hendaklah mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.” Juga seperti sabda Nabi dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Mughirah bin Syu’bah, “Barang siapa yang menjual minuman keras maka hendaknya ia mencincang babi.” Maksudnya ialah orang yang menjual minuman keras -padahal Allah telah melarangnya- maka orang yang seperti ini tidak akan ragu untuk mencincang daging babi untuk dikonsumsi. Ucapan ini sejatinya mengandung celaan dan hinaan.[3] Bahkan ucapan ini mengandung larangan. [4]

Baca juga:  MENJAGA PERSAUDARAAN ADALAH BAGIAN DARI IMAN

Meski demikian, ada pula pendapat lain terkait makna dari potongan hadis ini, “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” Lakukan perbuatan apa saja yang dikehendaki selama perbuatan itu tidak membuat malu! Maksudnya, lakukanlah perbuatan apa saja yang diperbolehkan oleh syariat. Perbuatan halal dan diperbolehkan tentu tidak akan membuat diri menjadi malu. Namun takwil ini dilemahkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar.[5]

Sifat malu itu ada dua jenis:

  1. Sifat malu yang merupakan sifat bawaan. Ini adalah karunia besar yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba. Orang yang sejak lahir terbiasa memiliki rasa malu yang tinggi hendaknya bersyukur. Rasulullah berkata kepada al-Asaj, “Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang disukai oleh Allah.” Al-Asaj bertanya, “Apakah itu?” Rasulullah menjawab, “Kelembutan dan rasa malu.” “Apakah sifat itu sudah ada sejak lama (sifat bawaan) ataukah kedua sifat itu baru aku miliki?” tanya al-Asaj. Beliau menjawab, “Sudah sejak lama kamu miliki (sifat bawaan).” Al-Asaj berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku bersifat dengan dua sifat yang Allah cintai.”[6]
  2. Sifat muktasabah, yakni sifat yang muncul setelah seseorang melakukan proses penempaan sifat tersebut pada dirinya. Sifat ini muncul disebabkan makrifat yang ada dalam hati seorang hamba. Ketika seseorang mengenal keagungan Allah, kebesarannya dan kedekatannya pada seorang hamba, maka ia akan semakin malu kepada Allah. Apalagi dengan kucuran nikmat yang tiada henti walau sang hamba lalai, bermaksiat, atau tidak mengerjakan kewajiban secara sempurna. Rasa malu yang muncul karena makrifat ini adalah bagian dari keimanan, bahkan masuk pada derajat ihsan.[7]

Rasa malu secara umum adalah akhlak terpuji dan mendatangkan kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan.”[8] Rasa malu juga bagian dari keimanan. Dalam sebuah hadis, ada seorang laki-laki Anshar yang tengah menasihati saudaranya karena terlalu pemalu hingga banyak hak-hak pribadinya yang tak terpenuhi disebabkan rasa malunya tersebut. Nabi melintasi keduanya seraya berkata kepada laki-laki Anshar tersebut, “Biarkanlah ia, sesungguhnya malu itu adalah bagian dari iman.”[9] Ibnu ‘Abbās berkata, “Rasa malu dan keimanan itu bergandengan. Apabila salah satunya dicabut maka yang lain pun mengikuti.”[10]

Baca juga:  LARANGAN BERBURUK SANGKA

Namun demikian, rasa malu tidak selamanya terpuji. Itu terjadi apabila rasa malu tersebut menyebabkan seseorang diam membiarkan kemungkaran dan tidak mengajak kepada yang makruf. Rasa malu yang tercela adalah rasa malu yang mengantarkan pemiliknya pada kealpaan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Malu berkayuh, perahu hanyut. Maka kapankah akan sampai ke hulu kenikmatan sejati yang abadi?

 


Footnote:

[1] Ma’ālim al-sunan (4/109).

[2] Lihat : al-Hulal al-Bahiyah karya Dr. Manshūr as-Shaq’ūb hal. 168.

[3] Lihat : al-Tamhīd karya Ibnu Abdil Bar (20/70).

[4] Jāmi’ al-‘Ulūm wal Hikam hal. 443.

[5] Idem (20/21).

[6] H.R. Ahmad 4/205.

[7] Lihat : Jāmi’ al-‘Ulūm wal Hikam hal. 445.

[8] H.R. Bukhari (6117) dan Muslim (37).

[9] H.R. Bukhari (24) dan Muslim (36) Lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bāri (1/93) terkait hadis ini.

[10] H.R. Humaid bin Zanjawaih dalam kitab al-Adab. Lihat : Jāmi’ al-‘Ulūm wal Hikam hal. 444.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments