Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: الرِّيَاء
Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ria.”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad (23631) dari jalur Abdurrahman bin Abu al-Zinad, dari Amr bin Abu Amr, dari ‘Ashim bin Umar al-Dhafari, dari Mahmud bin Labid, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sanad di atas berderajat hasan sebab derajat Abdurrahman bin Abu al-Zinad adalah shaduq (jujur) namun hafalannya melemah ketika berkunjung ke Baghdad.[1] Sanad di atas dihukumi sahih oleh Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani,[2] dan dihukumi hasan oleh al-Mundziri,[3] Ibnu Hajar al-‘Asqalani,[4] serta Syekh Syu’aib al-Arnauth[5].
PROFIL SAHABAT:[6]
Beliau adalah Mahmud bin Labid bin ‘Uqbah bin Rafi’ al-Anshari Al-Ausi. Sangat jelas dari silsilah nasab beliau bahwa beliau adalah sahabat dari kalangan Anshar dari suku Aus. Sebagian ulama mengangap Mahmud bin Labid dan Mahmud bin al-Rabi’ sebagai satu person sebagaimana pandangan Ibnu Khuzaimah, namun hal tersebut disanggah oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, sebab Mahmud bin Labid berafiliasi kepada Suku Aus, sedangkan Mahmud bin al-Rabi’ berafiliasi kepada Suku Khazraj.
Para ulama berbeda pendapat terkait predikat beliau sebagai seorang sahabat. Sebagian ulama mengklasifikasikan beliau sebagai seorang sahabat, seperti Imam al-Bukhari, sebab beliau pernah berjumpa dan melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara bukti dari perjumpaan beliau dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ucapan,
أَسْرَعَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَقَطَّعَتْ نِعَالُنَا يَوْمَ مَاتَ سَعْدُ بن مُعَاذ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan dengan cepat ketika Sa’ad bin Mu’adz wafat sampai sandal-sandal kami banyak yang putus (karena mengiringi jalan beliau).[7]
Zahir dari hadis ini menginformasikan bahwa Mahmud bin Labid menyaksikan peristiwa ini, kendati ada kemungkinan beliau mengutip riwayat dari orang lain.[8] Akan tetapi ada riwayat lain yang lebih gamblang yang membuktikan perjumpaan beliau dengan Rasulullah, yaitu ucapan beliau,
أَتَانَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى بِنَا الْمَغْرِبَ فِي مَسْجِدِنَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi kami dan melaksanakan Salat Magrib di masjid kami.[9]
Riwayat ini menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa beliau melihat dan berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Akan tetapi sebagian yang lain mengklasifikasi beliau sebagai seorang tabiin.
Beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari sahabat yang lain. Oleh karena itu, jika benar bahwa beliau tidak pernah mendengar hadis secara langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hadisnya diklasifikasi sebagai mursal shahabi, dan mursal shahabi adalah hujah menurut perspektif ulama hadis.[10]
Beliau wafat pada tahun 93 H, dan sebagian ulama berpendapat bahwa beliau wafat tahun 96 atau 97 H.
PENJELASAN HADIS:
Salah satu sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat menonjol adalah penyayang terhadap umatnya sebagaimana firman Allah azza wajalla,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (kebaikan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. al-Taubah: 128)
Hadis ini merupakan salah satu bukti dari sifat yang mulia ini, yang mana beliau sangat khawatir jika umatnya tertimpa keburukan, dan kesyirikan merupakan sebuah keburukan yang besar. Oleh karena itu, beliau memberikan peringatan kepada umatnya akan bahaya dari kesyirikan ini.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian…”
Kekhawatiran ini khusus bagi kaum muslimin, bukan untuk semua manusia yang menjadi umatnya.[11]
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendeskripsikan besarnya rasa khawatir beliau atas umatnya terhadap dosa ria ini, beliau bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ، قَالَ، قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih mengkhawatirkan di sisiku atas kalian daripada (keluarnya) Dajjal?” Dia berkata, “Tentu kami mau.” Maka Rasulullah berkata, “Yaitu syirkul khafi (syirik yang samar), yaitu seseorang salat, lalu dia menghiasi (memperindah) salatnya karena ada orang yang memperhatikan salatnya.”[12]
Tentunya kekhawatiran beliau ini disebabkan karena banyak faktor, di antaranya:
- Besarnya dosa syirik sebagaimana firman Allah azza wajalla
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada putranya, ‘Wahai putraku janganlah engkau berbuat syirik, sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang besar!’” (QS. Lukman: 13)
Dari predikat yang buruk ini, sangat banyak efek negatif dari dosa syirik ini, baik di dunia maupun di akhirat.
- Syirik merupakan perkara yang samar (khususnya ria). Banyak orang yang terjatuh ke dalamnya tanpa disadari sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar,
يَا أَباَ بَكْرٍ، لَلشِّركُ فِيْكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلشِّركُ أخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّملِ
“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya (perbuatan) syirik lebih samar dibandingkan (suara) jejak langkah seekor semut. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya (perbuatan) syirik lebih samar dibandingkan (suara) jejak langkah seekor semut.”[13]
Informasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah fakta. Buktinya pada zaman ini banyak orang yang terjerembab ke dalam kesyirikan -bahkan kesyirikan yang nyata seperti berdoa kepada selain Allah azza wajalla-, namun mereka tidak mengetahui dan menyadarinya.
Sejatinya dua faktor ini cukup menjadikan syirik sebagai dosa yang sangat mengerikan, apalagi masih ada faktor-faktor yang lain terkait dengan bahaya dosa syirik ini yang tidak disebutkan dalam artikel ini.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ
“Syirik kecil”
Yang dimaksud dengan syirik kecil adalah perbuatan yang dilarang orang syariat, dan terkadang suatu perbuatan disebut sebagai syirik, namun tidak masuk dalam kategori syirik besar, dan tidak mengeluarkan pelakunya dari cakupan Islam, namun dapat menjadi sarana kepada syirik besar, bisa berupa perbuatan seperti ria dan bisa berupa ucapan seperti bersumpah dengan selain nama nama Allah.[14]
Kendati sebuah perbuatan terklasifikasi sebagai syirik kecil, namun dosa yang dihasilkan adalah dosa besar. Bahkan sebagian ulama memandang bahwa syirik kecil dosanya lebih besar dibandingkan dosa besar sebagaimana diisyaratkan oleh ucapan Abdullah bin Mas’ud,
لَأَنْ أَحْلِفَ بِاللهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقًا
“Bersumpah dengan nama Allah untuk sesuatu yang dusta, lebih aku sukai daripada bersumpah dengan nama selain Allah untuk sesuatu yang jujur dan benar.”[15]
Perbuatan yang pertama adalah dosa besar, yaitu berdusta kendati ditegaskan dengan sumpah dengan nama Allah, sedangkan perbuatan yang kedua adalah syirik kecil, yaitu bersumpah dengan selain nama Allah. Namun Abdullah bin Mas’ud ternyata memandang bahwa dosa bagi perbuatan yang pertama lebih ringan dibandingkan dengan dosa perbuatan kedua.[16]
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“قَالَ: ” الرِّيَاء
“Beliau bersabda, ‘Ria.’
Sabda ini merupakan penjelasan terkait syirik kecil yang ditanyakan oleh para sahabat, namun jawaban ini bukan bertujuan untuk pembatasan, namun sebagai sampel dari syirik kecil.
Ria adalah melaksanakan ibadah atau meninggalkan maksiat dengan tujuan mendapat perhatian dari selain Allah azza wa jalla, atau dia berhasrat untuk dilihat manusia dengan ibadahnya atau aktifitas meninggalkan maksiatnya demi mendapat keuntungan duniawi.[17]
FIKIH HADIS:
- Kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap umatnya yang besar, dan hal itu dideskripsikan dengan kekhawatirannya terhadap umatnya akan kebinasaan mereka, dan kekhawatiran ini kerap beliau tampakkan dalam banyak momentum. Oleh karena itu, bukan perkara yang ganjil jika Allah azza wajalla menyebutkan karakter ini sebagai salah satu sifat beliau yang menonjol sebagaimana dipaparkan di dalam surat at-Taubah ayat 128.
- Dosa syirik bertingkat-tingkat, ada syirik besar dan ada syirik kecil, dan masing-masing bagian juga bertingkat-tingkat dosanya.
- Bahaya ria, ia merupakan jenis syirik yang sangat samar dan sangat halus sehingga sangat sulit dihindari karena objeknya adalah hati manusia yang kerap berbolak-balik dalam hitungan detik. Ria juga dapat bercampur dengan dengan niat baik yang lainnya sehingga seseorang sangat rentan terjatuh dalam kelalaian terhadap penyakit ini bahkan tenggelam di dalamnya. Di samping itu, ria memendam daya rusak yang sangat besar terhadap kualitas amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara spesifik menginformasikan “nasib” amalan yang dibangun atas dasar ria. Beliau bersabda, “Allah azza wajalla berfirman,
أنَا أغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Saya (Allah) adalah Zat yang tidak membutuhkan serikat. Barang siapa melakukan suatu amalan yang disusupi perbuatan syirik kepada-Ku dengan selain-Ku (ria), maka Aku tinggalkan amalannya dan serikatnya.”[18]
- Ria inklusif dalam amalan syirik sebab aktifitas ini di bangun atas dasar menyamakan antara makhluk dengan Allah dari sisi niat, yaitu meniatkan amalan ibadah untuk selain Allah azza wajalla.[19]
- Hadis ini menunjukkan respon positif para sahabat dan keaktifan mereka di dalam majlis ilmu, yaitu dengan antusias bertanya terkait interpretasi syirik kecil yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis ini. Hadis ini sekaligus mengonfirmasi urgensi bertanya dalam majlis ilmu bahwa bertanya merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan ilmu. Namun ada hal penting yang sangat perlu diperhatikan dalam aktifitas bertanya ini, yaitu mengonfirmasi kredibelitas dan kapabilitas objek (ustaz) yang ditanya.
- Di antara perkara yang tidak termasuk dalam cakupan ria adalah:
- Jika seseorang melakukan amalan dengan baik dan ikhlas, kemudian datang kepadanya pujian manusia kepadanya tanpa ada harapan dan keinginan sebelumnya, maka hal ini tidak masuk dalam cakupan ria, namun masuk dalam cakupan hadis Abu Dzar, ketika beliau bertanya,
يَا رَسُولَ اللهِ، الرَّجُلُ يَعْمَلُ الْعَمَلَ فَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mengerjakan satu amal kebaikan, lalu orang memujinya?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kabar gembira bagi orang mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia (atas amalan yang dia lakukan).”[20]
- Orang yang termotivasi dan tergugah semangatnya untuk melakukan amal ibadah dengan ikhlas ketika melihat orang-orang salih semangat dalam melakukan ibadah, seperti semangat yang memotivasi kaum muslimin di Bulan Ramadan untuk salat tarawih dan banyak membaca al-Quran karena keadaan orang salih dan lingkungan yang mengondisikan hal tersebut.[21]
- Kondisi amalan yang disusupi ria terbagi menjadi dua:[22]
Pertama: yang menjadi pondasi amalan adalah ria, maksudnya adalah pemicu dari amalan seseorang adalah karena ria, seperti orang yang mengerjakan salat karena ingin dilihat bosnya dan tidak ingin dipecat dari pekerjaan. Jika ini faktanya maka bisa dipastikan bahwa amalan tertolak dan batal, bahkan terjatuh ke dalam syirik kecil sebagaimana diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.
Kedua: yang menjadi landasan amalan adalah ikhlas, namun pada saat ibadah dilaksanakan timbul ria dan mulai menyusup ke dalam relung hati seperti orang yang mengerjakan salat dengan niat ikhlas kepada Allah, namun di rakaat kedua timbul ria di hatinya sebab ada orang yang melihatnya salat. Untuk kondisi ini ada perincian sebagai berikut:
- Jika orang tersebut tidak merasa nyaman dengan keberadaan ria tersebut, dan berupaya untuk melawan dan melenyapkan ria yang timbul tersebut dengan sekuat tenaga, maka hal ini tidak membahayakan amalan tersebut, dan amalannya diterima dan terhitung amalan yang dilakukan di atas landasan ikhlas sebab ria tersebut hanya terhitung sebagai bisikan-bisikan hati dan bukan amalan hati sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah mengampuni bisikan-bisikan jiwa seseorang selama tidak diamalkan dan tidak diucapkan.”[23]
- Jika orang tersebut terseret ke dalam ria dan tenggelam di dalamnya, bahkan merasa nyaman dengan keberadaan ria di dalam hatinya sehingga tidak ada upaya untuk melawan dan melenyapkannya, maka hal ini dapat membahayakan ibadahnya dan membatalkannya. Namun apakah batalnya amalan ibadah tersebut mencakup semua amal ibadahnya atau amalan yang disusupi ria saja? Perincian masalah ini adalah sebagai berikut:
Keadaan pertama: amalan tersebut menjadi satu paket yang tidak terpisahkan, maksudnya sahnya ibadah tersebut ditentukan oleh semua rangkaiannya mulai dari awal sampai akhir seperti ibadah salat yang antara satu rakaat dengan rakaat yang lainnya saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Jika demikian halnya, ibadahnya batal semuanya.
Keadaan kedua: amalannya terpisah dan tidak bersatu dalam satu paket, misalnya seseorang memiliki uang 100 ribu rupiah, kemudian dia bersedekah 50 ribu rupiah dengan niat ikhlas kepada Allah, tiba-tiba dia bersedekah lagi sebesar 50 ribu rupiah karena ria. Sedekah yang pertama sah dan mendapat pahala, adapun yang kedua batal dan tidak mendapat pahala, bahkan terjatuh ke dalam syirik kecil.
- Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap bahaya ria dalam hadis ini harus mewariskan kekhawatiran bagi amalan-amalan kita sebab tidak ada jaminan amalan-amalan kita tersebut selamat dari “polusi” ria. Di antara sarana untuk membersihkan hati dari ria adalah,
- Senantiasa melakukan aktifitas muhasabah (evaluasi) bagi hati dan niat, baik sebelum beramal, ketika beramal, bahkan setelah beramal.
- Senantiasa menghadirkan sifat-sifat Allah yang mulia ketika berucap dan beramal, khususnya sifat-sifat yang mengabarkan kesempurnaan pengetahuan, penglihatan, dan kontrol Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahwa sifat-sifat-Nya tersebut maha sempurna, meliputi zahir dan batin manusia sehingga manusia dapat menjaga aktifitas hatinya.
- Mengasah dan memperkuat keyakinan bahwa pahala, kebaikan, surga, siksa, neraka hanya milik Allah semata. Adapun makhluk tidak dapat memberikan manfaat dan mudarat sedikitpun bagi manusia kecuali dengan izin Allah azza wajalla sehingga keyakinan ini dapat dijadikan sarana untuk melawan dan melenyapkan penyakit ria.
- Berusaha untuk merahasiakan amalan-amalan dan menyembunyikannya, sebab timbulnya ria dan sumah biasa disebabkan karena dilihat oleh manusia ketika sedang beramal. Tentunya hal ini khusus bagi amalan-amalan yang dianjurkan untuk dilakukan secara pribadi, misalnya salat-salat sunah, puasa sunah, bersedekah, dan sebagainya. Adapun amalan yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah dan bersama-sama, maka lebih baik dilakukan secara berjamaah dan bersama-sama sambil berusaha untuk ikhlas kepada Allah dan berusaha melawan penyakit ria.
- Banyak berdoa agar dianugerahi keikhlasan. Di antara doa yang diriwayatkan dari Rasulullah adalah[24]
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
Footnote:
[1] Taqribu al-Thahdzib hal. (362).
[2] Silsilah al-Ahadis al-Shahihah, hadis no: 951.
[3] Al-Targhibu wa al-Tarhib (1/34) no hadis: 50.
[4] Bulughul Maram, hadis no: 1484.
[5] Musnad Ahmad, hadis no: 23631.
[6] Lihat: Al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah (6/42), al-Tsiqaat karya Ibnu Hibban (3/397), dan Siyar A’lamun Nubala (3/486).
[7] Al-Tarikh al-Kabir karya imam al-Bukhari (7/402).
[8] Al-Ishabah (6/42).
[9] Musnad Ahmad, no hadis 23624.
[10] Al-Ba’its al-Hatsits, karya Ahmad Syakir, hal. 48.
[11] Al-Qaul al-Mufid karya Ibnu Utsaimin, hal. 77, dan Minhatu al-A’llam (10/207).
[12] Sunan Ibnu Majah, no hadis 4204, dan dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani.
[13] Al-Adab al-Mufrad, no hadis 716.
[14] https://dorar.net/aqadia/1519/
[15] Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq, no hadis: 15929.
[16] https://saadalkhathlan.com/1397.
[17] Subulus Salam (4/219).
[18] Shahih Muslim (2985).
[19] https://saadalkhathlan.com/1397.
[20] Minhatu al-‘Allam (10/208).
[21] Idem, dengan sedikit tambahan.
[22] Al-Qaul al-Mufiid, karya Ibnu Utsaimin, hal. 78.
[23] Muttafaqun alaihi.
[24] Al-Adab al-Mufrad (716).