Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اللهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ.
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai Allah, siapa yang diserahi mengurus salah satu di antara urusan umatku, lalu dia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan atasnya. Dan barang siapa yang diserahi untuk mengurus salah satu di antara urusan umatku, lalu dia memudahkan urusan mereka, maka berilah kemudahan pada urusannya.’”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad (24622), Imam Muslim (1828), Ibnu Hibban (553) dan yang lainnya dari jalur Abdullah bin Wahb al-Mishri, dari Harmalah bin Imran al-Mishri, dari Abdurrahman bin Syumasah al-Mishri, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Di antara keunikan untaian sanad di atas adalah:
- Semua rawinya dari Mesir, bahkan salah satu rawi dari Abdullah bin Wahb adalah cucu dari Harmalah bin Imran, yaitu Harmalah bin Yahya bin Harmalah bin Imran al-Tujibi al-Mishri sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya.
- Seorang rawi laki-laki (Abdurrahman bin Syumasah) meriwayatkan dari seorang rawi perempuan, yaitu ibunda Aisyah radhiyallahu anha.
- Abdurrahman bin Syumasah melakukan rihlah ke Kota Madinah demi meriwayatkan hadis ini dari Aisyah radhiyyallahu anha.
- Ibunda Aisyah radhiyyallahu anha tidak mengenal Abdurrahman bin Syumasah ketika beliau meriwayatkan dan mengajarkan hadis ini kepada Abdurrahman sebagaimana dijelaskan di kisah yang akan dipaparkan setelah ini.
Hadis di atas berlatar belakang sebuah kisah, yaitu dialog antara Abdurrahman bin Syumasah dan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah bertanya kepada Abdurrahman, “Dari mana engkau datang?” Abdurrahman menjawab, “Saya datang dari Mesir,” kemudian Aisyah bertanya lagi, “Bagaimana sikap pemimpin[1] kalian kepada kalian selama dalam peperangan ini?” Maka Abdurrahman menjawab, “Tidak ada sedikit pun perkara yang kami benci darinya, jika ada unta kami yang mati, maka pemimpin kami mengganti dengan unta pula, jika ada budak kami yang mati, maka diganti dengan budak pula, dan jika kami membutuhkan nafkah, maka dia memberikan kami nafkah pula.” Maka Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya sikap yang dilakukan oleh pemimpin kalian kepada saudara kandungku (yaitu Muhammad bin Abu Bakar yang terbunuh oleh amir tersebut) tidak menghalangiku untuk mengabarkan kepadamu ucapan yang saya dengarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Aisyah radhiyallahu anha menyebutkan doa di atas.
PROFIL SAHABAT:[2]
Aisyah al-Shiddiqah binti Abi Bakar al-Shiddiq. Ibunda beliau adalah Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir al-Kinaniyah. Beliau dilahirkan 4 atau 5 tahun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, antara lain:
- Beliau adalah sahabat wanita yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jumlah hadis yang beliau riwayatkan mencapai 2210 hadis.[3]
- Beliau adalah seorang wanita yang fakih, bahkan beliau termasuk pakar dalam bidang fatwa. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendaulat beliau sebagai 7 besar sahabat Rasulullah yang paling banyak berfatwa pada masa tersebut.[4] Tentunya ini menunjukkan kecerdasan dan kapasitas keilmuan yang beliau miliki.
- Beliau adalah wanita yang suci dan bersih. Telah datang tazkiyah dari Allah tentang kesucian tersebut di dalam al-Qur’an surat An-Nur pada saat banyak di kalangan sahabat yang meragukan kesucian beliau dikarenakan informasi yang disebarkan secara masif terkait “perselingkuhan” beliau dengan salah seorang sahabat.
- Salah satu wanita yang paling dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang jelaskan oleh Rasulullah di dalam hadis Abdullah bin Amr bin al-Ash ketika beliau ditanya tentang orang paling dicintai.[5]
- Beliau adalah satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah dalam keadaan gadis. Bahkan Rasulullah menikahi beliau dalam usia yang sangat belia, dan telah valid riwayat yang menginformasikan bahwa Rasulullah menikahi beliau ketika berusia 6 atau 7 tahun, namun keduanya tidak langsung hidup bersama kecuali ketika usia Aisyah radhiyallahu ‘anha mencapai 9 tahun. Menikahi wanita yang berusia sangat belia bukanlah aib bagi adat istiadat Suku Quraisy pada saat itu, bahkan perkara ini merupakan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh mereka. Di antara buktinya:
Pertama: perbedaan usia sebagian sahabat dengan anaknya sangat pendek, di antaranya selisih usia antara Amr bin al-Ash dengan putranya Abdullah bin Amr bin al-Ash hanya 12 tahun.[6]
Kedua: adalah perkara aksiomatis bahwa yang terbesar permusuhannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kaum kafir Quraisy yang dimotori oleh Abu Jahal, dan laksaan cara digunakan untuk meruntuhkan kredibelitas dan integritas Rasulullah, di antaranya adalah dengan menyematkan olokan dan julukan buruk kepada beliau. Namun tidak ada satupun orang-orang kafir Quraisy yang mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkawinan beliau dengan Aisyah. Jika perkara tersebut adalah aib, maka niscaya akan dijadikan bahan olokan dan cemohan mereka mengingat orang Quraisy menyematkan laksaan celaan dan cemohan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Aisyah radhiyallahu ‘anha wafat pada tahun 58 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’.
PENJELASAN HADIS:
- Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اللهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا
“Wahai Allah, siapa yang diserahi mengurus salah satu di antara urusan umatku…”
Urusan yang diisyaratkan oleh hadis ini umum sebab lafaz hadis ini mengandung makna umum yang ditunjukkan oleh kaidah yang dikandung lafaz hadis, yaitu al-nakirah fi siyaqi al-syarth tufid al-‘umum (kehadiran kata yang nakirah dalam redaksi kalimat yang mengandung syarat, menunjukkan keumuman).
Maka urusan yang diisyaratkan oleh hadis di atas mencakup urusan pemerintahan secara umum, seperti pemimpin negara, atau pemimpin daerah, atau pemimpin kementrian dan lain sebagainya, dan juga mencakup urusan administrasi secara khusus, seperti, rektor universitas, atau kepala sekolah, atau direktur perusahaan, dan lain sebagainya.[7]
- Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Lalu dia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan atasnya.”
Lafaz hadis ini menyebutkan amalannya dan balasannya. Amalannya adalah menyulitkan urusan rakyatnya atau bawahannya, yang dimaksud dengan menyulitkan urusan adalah menyulitkan urusan yang dicela oleh syariat yaitu dengan berlaku zalim kepada rakyat atau bawahannya. Definisi zalim adalah meletakkan urusan tidak sesuai dengan tempatnya. Di antara contohnya adalah menyulitkan urusan rakyat yang secara regulasi sejatinya mudah, atau merampas harta rakyat secara zalim, atau menghukum seseorang dengan semena-mena, dan lain sebagainya.
Adapun mempraktikkan regulasi dan undang-undang yang berpotensi menghadirkan kesulitan kepada terpidana kasus yang diakomodir oleh syariat atau sesuai dengan regulasi dan undang-undang yang telah disepakati -khususnya dalam perkara yang tidak ada nasnya yang gamblang di dalam syariat- maka tidak termasuk dalam ancaman hadis ini. Contohnya adalah menegakkan hudud (hukuman yang ditentukan syariat) pada pelanggaran tertentu yang telah ditentukan oleh syariat seperti memotong tangan bagi pencuri, atau menegakkan hukuman mati bagi orang yang membunuh,[8] atau hukuman penjara bagi orang yang curang dalam jual beli dan transaksi, dan lain sebagainya.
Adapun balasannya adalah doa ditimpakan kesulitan atas pemimpin tersebut. Sebuah pertanyaan terbetik dalam benak: Apakah kesulitan yang tercakup dalam doa di atas khusus kesulitan di kehidupan dunia saja atau mencakup kesulitan di kehidupan akhirat juga? Jawabannya, jika menelisik zahir hadis maka mencakup kesulitan di dunia dan di akhirat. Di antara contoh kesulitan dunia adalah ditimpakan musibah dan malapetaka bagi orang tersebut, baik yang menimpa badannya berupa penyakit, atau musibah yang menimpa hartanya atau keluarganya, dan sebagainya. Adapun contoh kesulitan akhirat seperti mendapat siksa kubur, atau kesulitan ketika proses hisab atau bahkan azab yang pedih di neraka.[9]
Hadis ini adalah ancaman yang mengerikan bagi para pemegang urusan umat sebab redaksi hadis ini adalah doa. Ada dua ancaman yang ditebar oleh hadis ini:
Pertama, para pemegang urusan tersebut terancam dengan doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara langsung.
Kedua, mereka terancam dengan doa orang-orang yang dizaliminya.
Taruhlah orang yang terzalimi tidak mendoakan pemimpinnya, namun dia belum terlepas dari ancaman doa orang yang paling mulia di muka bumi ini, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
“Lalu dia memudahkan urusan mereka, maka berilah kemudahan pada urusannya.”
Konten hadis ini adalah kebalikan dari hadis yang telah dijelaskan di atas, maka yang dimaksud dengan memudahkan urusan di sini adalah memudahkan urusan dengan tidak menyelisihi syariat atau menyelisihi undang-undang yang berlaku, dan secara prinsip agama memudahkan urusan orang lain adalah tuntutan selama tidak menyelisihi syariat. Jadi memudahkan urusan di sini bukan melepaskan orang yang bersalah dari jeratan hukuman yang telah disepakati atau hukuman yang telah ditentukan oleh syariat, namun memperlakukan rakyat atau bawahan sesuai dengan regulasi yang berlaku, baik regulasi yang telah disepakati maupun regulasi yang berdasarkan pada syariat.
Adapun balasannya adalah doa kebaikan yang datang dari lisan mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat.
FIKIH HADIS:
- Hadis ini mengandung ancaman yang mengerikan bagi penguasa dan para pemimpin yang berlaku zalim kepada rakyat dan bawahannya, dan ancaman ini terkandung dalam doa buruk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas mereka.
- Hadis ini juga mengandung berita gembira bagi para penguasa dan pemimpin yang adil dan berlaku baik kepada rakyatnya, yaitu dimudahkan segala urusannya di dunia dan akhirat. Keadilan para penguasa dan pemimpin dapat direpresentasikan dengan memudahkan urusan rakyatnya atau bawahannya, atau memperlakukan rakyat sesuai dengan regulasi yang berlaku, baik regulasi yang berpijak pada syariat atau regulasi yang disepakati secara bersama yang mengandung maslahat yang tidak ada nasnya secara gamblang di syariat.
- Hadis ini menunjukkan disyariatkannya mendoakan kebaikan bagi para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang adil dan baik bagi rakyatnya maupun pemimpin yang zalim, sebab mendoakan mereka adalah kunci keberkahan dan maslahat bagi masyarakat secara umum. Dengan doa tersebut diharapkan pemimpin yang adil dan bijaksana akan bertambah keadilan dan kebijaksanaannya, adapun pemimpin yang zalim diharapkan dengan doa tersebut untuk mendapatkan hidayah dan rahmat dari Allah sehingga dapat dibimbing sehingga berubah menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana.
- Hadis ini menunjukkan bolehnya mendoakan kebinasaan bagi penguasa dan pemimpin yang zalim,[10] sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan keburukan sebagian umara dengan terang-terangan, sebagaimana yang tertuang dalam sebuah riwayat dari Hushain bin Abdurrahman al-Sulami mengatakan,
كُنْتُ إِلَى جَنْبِ عِمَارَةَ بْنِ رُوَيْبَةَ وَبِشْرٌ يَخْطُبُنَا، فَلَمَّا دَعَا، رَفَعَ يَدَيْهِ، فَقَالَ عُمَارَةُ: قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ أَوْهَاتَيْنِ الْيُدِيَّتَيْنِ ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، إِذَا دَعَا يَقُولُ هَكَذَا، وَرَفَعَ السَّبَّابَةَ وَحْدَهَا
“Suatu saat saya berada di samping Umarah bin Ruwaibah, sedang Bisyr (bin Marwan) sedang berkhotbah di hadapan kami. Ketika berdoa, dia mengangkat kedua tangannya, maka Umarah mengatakan, ‘Semoga Allah membinasakan kedua tangan itu. Sesungguhnya saya melihat Rasulullah sedang berkhotbah, jika beliau berdoa (ketika khutbah) hanya dengan mengangkat jari telunjuknya.’”[11]
- Secara implisit hadis ini menunjukkan bolehnya memberikan “perlawanan” kepada penguasa atau pemimpin yang zalim, khususnya pada perkara yang melampaui syariat. Di antaranya dengan mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim tersebut atau menempuh jalur hukum dan pengadilan jika pemimpin merampas harta secara zalim dan curang. Adapun hadis dari Hudzaifah bin Yaman, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Hendaknya taat dan patuh kepada pemimpin, kendati dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka hendaknya engkau tetap taat dan patuh.”[12]
Maksud hadis ini adalah tetap taat dan patuh kepada pemimpin yang zalim, dan larangan untuk khuruj (memberontak), meskipun pemimpin tersebut sangat zalim, yang kezalimannya sampai mengambil harta dan menyakiti rakyatnya secara fisik. Namun hadis ini tidak menunjukkan ketaatan total dan mutlak kepada seorang pemimpin. Bahkan ada riwayat lain yang menjelaskan ketaatan tersebut pada perkara yang makruf (yang baik) dan yang sesuai dengan syariat saja. Adapun kepada perkara-perkara yang menyelisihi syariat, maka tidak boleh taat dan patuh kepada mereka, kendati ketidaktaatan tersebut terbatas dan tidak sampai kepada proses khuruj (memberontak) kepada pemimpin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan (kepada manusia) pada maksiat, sesungguhnya ketaatan itu pada perkara yang makruf.”[13]
Praktiknya di kalangan ulama salaf adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad rahimahullah ketika tersebar fitnah tentang al-Qur’an adalah makhluk. Keteguhan beliau dalam mempertahankan akidah al-Qur’an adalah firman Allah berkonsekuensi pada di hukumnya beliau secara zalim oleh khalifah pada zaman itu, dan beliau tetap konsisten untuk tidak memberontak kepada khalifah, namun beliau menampakkan sikap yang “berlawanan” kepada kemungkaran yang tersebar pada saat tersebut terkait al-Qur’an adalah makhluk, yang mana beliau mengeluarkan statement yang berlawanan dengan yang datang dari khalifah bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Beliau justru mengatakan,
القرآن كلام الله تكلم به ليس بمخلوق ومن زعم أن القرآن مخلوق فهو جهمي كافر
“Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk (diciptakan), dan barang siapa yang mengklaim bahwa al-Qur’an makhluk maka dia termasuk sekte Jahmiyah yang kafir.”[14]
Dan kisah Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya, bahwa ada seorang laki-laki ikut berperang dengan Abu Musa al-Asy’ari (pada saat itu beliau menjadi gubernur Kota Bashrah), kemudian mereka menang dalam sebuah peperangan dan mendapatkan ganimah, maka Abu Musa memberi orang tersebut bagiannya dari ganimah tersebut namun bagian yang diberikan tidak sempurna dan utuh, maka orang tersebut menolak pemberian Abu Musa dan menginginkan semua harta rampasan perang tersebut untuknya. Maka Abu Musa al-Asy’ari menghukum orang tersebut dengan 20 pukulan cambuk dan menggundul rambutnya. Maka orang tersebut mengumpulkan rambutnya (sebagai barang bukti), kemudian dia pergi menghadap kepada khalifah Umar bin al-Khattab dan mengadukan kezaliman Abu Musa al-Asy’ari kepadanya dan memohon keadilan baginya sehingga Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abu Musa untuk mengklarifikasi pengaduan tersebut.[15]
- Beratnya beban menjadi pemimpin atau penanggung amanah yang berkaitan dengan orang banyak.
- Bolehnya interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan wanita, selama memperhatikan ketentuan syariat, seperti komitmen dengan hijab, aman dari fitnah, dan bagi pihak wanita hendaknya menegaskan suara.
Wallahu a’lam bish shawab.
Footnote:
[1] Ada dua pendapat terkait nama pemimpin ini: Amr bin al-Ash atau Mu’awiyah bin Hudaij al-Tujibi. Lihat al-Mufhim karya al-Qurthubi (4/24).
[2] Lihat al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah (8/16-20).
[3] Al-Ba’its al-Hatsis hal. 170.
[4] I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim (1/20).
[5] Shahih al-Bukhari (3662) dan Shahih Muslim (2384).
[6] https://islamsyria.com/site/show_articles/3831
[7] Minhatul ‘Allam Syarh Bulughul Maram (10/224-225).
[8] https://saadalkhathlan.com/1402.
[9] Idem.
[10] Idem.
[11] Musnad Ahmad (17224).
[12] Shahih Muslim (1847).
[13] Shahih al-Bukhari (7257).
[14] Aqidah Imam Ahmad riwayat al-Khallal hal.79.
[15] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (18/310-311), no hadis (34518) dan al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (16450).