HADIS KE-6 AL-ARBAIN: ANTARA HALAL DAN HARAM

484
ANTARA HALAL DAN HARAM
ANTARA HALAL DAN HARAM
Perkiraan waktu baca: 4 menit

Takwa adalah jalan hidup seorang muslim. Segala macam ibadah disyariatkan oleh Allah dalam rangka mendidik umat menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Dalam hidup, manusia dihadapkan dengan banyak hal. Ada yang haram dan ada yang halal. Yang haram jelas harus ditinggalkan, sedangkan yang halal boleh dikerjakan atau dimanfaatkan. Namun terkadang beberapa perkara berada di tengah-tengah, antara halal dan haram alias samar hukumnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abū ‘Abdillāh al-Nu’mān bin Basyīr radhiyallāhu ‘anhuma, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْب. رواه البخاري ومسلم

“Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhāt). Tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menghindari perkara-perkara samar itu maka ia telah memelihara agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus pada perkara-perkara yang samar itu maka ia akan terjerumus pada yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir tempat terlarang (untuk menggembala) yang dikhawatirkan akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuiah bahwa batasan larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika daging itu baik maka baik seluruh seluruh jasad tersebut. Jika rusak maka rusaklah seluruh jasad tersebut. Itu adalah hati.” (H.R. Bukhāri dan Muslim)

Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam membagi perkara menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Perkara yang jelas kehalalannya. Yaitu hal-hal yang jelas dibolehkan oleh syariat. Misalnya, makan buah-buahan halal, jual beli yang dibolehkan, nikah apabila terpenuhi syarat-syaratnya dan lain sebagainya.
  2. Perkara yang jelas keharamannya. Yaitu hal-hal yang jelas diharamkan oleh syariat seperti makan bangkai, makan babi, zina, mencuri, dan lain-lain.
  3. Perkara yang tidak jelas (syubhāt). Maksudnya adalah perkara yang samar anatara halal dan haram. Tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Termasuk di dalamnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama pada hukum tertentu dalam bidang ibadah, muamalah, pernikahan, dan lain sebagainya. Perkara yang samar ini ada yang sangat tidak jelas hukumnya dan tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Ada pula yang samar hukumnya dan tidak diketahui kecuali oleh segelintir orang saja. Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada perkara samar yang sama sekali tidak diketahui hukumnya oleh siapapun dari umat ini. Selalu ada ulama yang mengetahui hukumnya. Ulama tersebut dikenal dengan sebutan al-rāsikhīna fil ‘Ilm yaitu ulama yang telah kokoh dan mumpuni dalam syariat. Allah berfirman,
Baca juga:  PEREMPUAN HAID TIDAK BOLEH MEMBACA AL-QUR’AN

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).” (Surah al-Nahl ayat 89)

Ayat ini menunjukkan bahwa syariat ini dapat menjelaskan hukum dari setiap persoalan yang ada di tengah manusia. Olehnya, para pengemban syariat akan mengetahui hukum dari segala macam perkara yang ada. Namun, kadar pengetahuan itu berbeda-beda sesuai dengan kapasitas yang Allah karuniakan.

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang terjerumus pada perkara-perkara yang samar itu maka akan terjerumus pada yang haram.” Para ulama menjelaskan bahwa dalam kalimat ini terdapat dua makna, yaitu:

  1. Barang siapa yang jatuh ke dalam perkara-perkara syubhat maka hal itu akan mengantarkannya untuk jatuh pada perkara-perkara yang haram secara bertahap.
  2. Orang yang jatuh ke dalam perkara syubhat akan terjatuh ke dalam perkara yang haram tanpa ia sadari. Hal ini karena perkara syubhat yang ia lakukan, bisa jadi adalah perkara haram, bisa jadi pula perkara halal.

Oleh sebab itu, orang yang tidak mengetahui hukum syariat terhadap sebuah perkara sebaiknya meninggalkannya sampai mengetahuinya  dengan jelas, apakah ia jelas haram atau halal.

Orang yang melakukan hal ini akan mendapatkan janji yang disebutkan oleh Nabi shallallāhu alaihi wasallam yaitu terpelihara agama dan kehormatannya.

Agama terpelihara karena orang yang terus terusan menghantam perkara-perkara syubhat akan terjatuh pada sesuatu yang haram sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kehormatan terpelihara karena orang yang menghindari syubhāt sejatinya menjauhkan dirinya agar tidak menjadi objek pembicaraan orang lain atau sebab orang lain berprasangka buruk kepadanya.

Baca juga:  WAKTU-WAKTU MUSTAHAB UNTUK MELAKSANAKAN SALAT FARDU

Demikianlah seharusnya seorang muslim menjaga dirinya. Hendaknya seorang muslim tidak memudah-mudahkan diri dalam permasalahan syubhat. Para salaf terdahulu sengaja meninggalkan perkara halal agar semakin jauh dengan perkara yang diharamkan. Abdullāh bin Umar berkata, “Sungguh aku membuat pembatas dari perkara halal antara diriku dengan perkara yang haram. Aku tidak akan menerobos batas itu.”(1)

Sufyān bin ‘Uyainah berkata, “Seorang hamba tidak akan merasakan hakikat keimanan hingga ia menjadikan batas penghalang antara dia dengan perkara haram dengan sesuatu yang halal, meninggalkan dosa dan apa yang samar dari dosa tersebut.”(2)

Dalam hadis ini, Nabi mengumpamakan orang yang tidak memperhatikan perkara syubhat seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di dekat tanah terlarang milik raja. Siapa yang sengaja memasukkan gembalaannya di sekitar tanah terlarang lantas beberapa gembalaan itu masuk dan menerobos batas sehingga sang penggembala dianggap bersalah dan menyelisihi aturan sang raja. Sang penggembala pantas mendapatkan hukuman. Demikianlah perumpamaan yang sangat jelas dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Itulah batas-batas ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (Surah al-Baqarah ayat 187)

Lalu apa kaitan semua ini dengan hati? Di akhir hadis, Nabi menyinggung tentang keberadaan segumpal daging yang begitu memiliki pengaruh penting. Apa korelasinya? Para ulama mengatakan bahwa meninggalkan perkara-perkara syubhāt memiliki pengaruh pada baiknya hati seorang hamba. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Daqīq al-Īd berkata, “Siapa yang banyak terjatuh dalam perkara syubhāt maka hatinya akan gelap karena kehilangan cahaya ilmu dan sifat wara’. Lantas ia akan terjatuh pada perkara yang haram tanpa ia sadari.”(3)

Baca juga:  HADIS KE-4 AL-ARBAIN: JAUH SEBELUM ILMU KEDOKTERAN MODERN, NABI TELAH MENGABARKAN HAL INI

Baiknya hati seorang hamba yang dimaksud adalah istikamah, suci, tunduk dan patuhnya hati kepada Allah. Menjaga diri dari perbuatan haram dan meninggalkan syubhāt adalah cara untuk meraih kebaikan dan  kebersihan hati di samping takzim akan kebesaran Allah, taat pada perintah-Nya dan senantiasa mengintrospeksi diri.(4)

Hati yang baik akan menjadikan anggota tubuh yang lain menjadi baik. Hati adalah penggerak seluruh anggota tubuh. Ibarat tentara, hati adalah komandan tertingginya, raja.  Hati yang baik akan menjadikan apa yang nampak menjadi baik pula. Namun, bisa saja yang nampak terlihat baik namun sejatinya batinnya hancur sebagaimana keadaan orang-orang munafik dan orang-orang yang riyā’ dalam amal ibadah.


Footnote:

(1) Lihat: al-Wara’, karangan Imam Ahmad (No. 177).

(2) Hilyah al-Auliyā karangan Abū Nu’aim 7/288.

(3) Syarh al-Arbaīn al-Nawawiyyah karangan Ibnu Daqīq al-Īd (hal. 55).

(4) Lihat: al-Hulal al-Bahiyyah karangan DR. Manshūr al-Shuq’ūb (hal 76).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments