Kita sering mendengar perkara niat dibahas dalam kajian-kajian Islam. Tak jarang guru-guru agama, ustaz, kiai dan tokoh agama mewanti-wanti perkara ini. Jauh sebelum itu, junjungan kita telah menjelaskan perkara niat ini dalam hadis-hadis yang sampai kepada kita.
Dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
‘Hanya saja amal itu bergantung pada niatnya dan tiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijranya karena apa yang ia inginkan’.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam penggalan sabda beliau di atas yaitu “setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan” terdapat isyarat bahwa amal itu menjadi sah disebabkan oleh niatnya. Dengan kata lain, amal saleh itu harus diniatkan.
“Setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan” bermakna bahwa pahala itu didapatkan berdasarkan niat karena amal itu diterima jika memenuhi dua syarat, salah satunya ikhlas.
Oleh karena itu, makna dari dua kalimat ini adalah bahwa amal itu sah disebabkan niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan pahala dari amalnya tergantung pada apa yang ia niatkan.
Untuk menjelaskan bahwa amal itu bergantung dari niatnya, beliau saw. menyebutkan sebuah permisalan. Terdapat dua amal yang nampak serupa namun hasilnya berbeda disebabkan oleh perbedaan niat. Amalan itu adalah hijrah/berpindah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Betapa berbeda orang yang hijrah karena mencari dunia dengan orang yang hijrah karena Allah dan rasul-Nya.
Dalam hadis ini terdapat perhatian terhadap perkara niat dan hendaknya setiap orang memiliki niat yang benar di setiap amalnya. Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati bergantung pada baiknya amal. Baik dan benarnya amal bergantung pada baiknya niat.”
Niat adalah syarat dalam ibadah. Allah berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Surah al-Bayyinah : 5)
Hadis ini juga menjadi dalil yang menjelaskan bahwa niat dipersyaratkan dalam ibadah-ibadah. Siapa yang mengerjakan ibadah tanpa niat maka ibadah tersebut tidak sah.
Daftar Isi:
Tujuan berniat ada dua macam:
1. Membedakan amalan.
Pembedaan ini terbagi menjadi dua jenis:
-
- Pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Orang yang tidak makan bisa jadi disebabkan karena ia diet mengikuti saran dokter dan bisa pula disebabkan berpuasa karena Allah. Demikian pula orang mandi bisa ditujukan untuk menyegarkan badan dan bisa juga disebabkan junub. Yang menjadi pembeda pada dua kegiatan tersebut adalah niatnya. Untuk itu, hendaknya setiap muslim meniatkan kebaikan di setiap amal duniawinya, entah itu dalam pekerjaan, perdagangan, urusan rumah tangga, dan lain sebagainya. Hal ini agar ia mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Dalam hadis sahih yang diriwayat oleh Abu Mas’ud al-Anshari bahwa Nabi saw. bersabda, “Jika seorang muslim memberi nafkah untuk keluarganya sedang ia mengharapkan pahalanya di sisi Allah maka nafkah itu menjadi sedekah.”
- Pembeda antaribadah. Jika ada orang yang salat dua rakaat maka ia harus menentukan niat dalam salatnya itu. Apakah ia berniat salat subuh atau salat sunnah ratibah atau tahiyatul masjid? Ini berbeda berdasarkan niatnya.
2. Membedakan tujuan suatu amal.
Sederhananya, niat akan menjawab pertanyaan kita: untuk apa amalan ini dilakukan? Apakah untuk Allah atau untuk selain-Nya?
Hendaknya kita tidak merasa lelah untuk selalu memeriksa niat karena niat itu berubah-ubah. Bisa jadi seorang hamba memulai suatu amal dengan niat yang benar lalu niat itu kemudian menyimpang. Hendaknya setiap muslim senantiasa melakukan introspeksi diri.
Namun manusia adalah makhluk lemah. Terkadang usaha menjaga dan memurnikan niat tak luput dari jatuh bangun. Sufyan al-Tsauri berkata, “Tidak ada seuatu yang aku perbaiki lebih berat ketimbang niatku. Itu karena niat ini senantiasa berubah-ubah.”
Terkadang amalan tersusupi oleh riya’. Dalam hal ini, sebagian ulama membaginya menjadi beberapa keadaan sebagai berikut.
1. Riya menyusupi amal sejak awal. Sedari awal amal itu dilakukan bukan karena Allah. Contohnya, jika orang yang salat atau bersedekah untuk masjid karena manusia agar disebut sebagai orang ahli ibadah atau dermawan, maka amalnya tidak diterima dan ia berdosa. Allah berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Surah al-Zumar :65)
Allah berfirman dalam hadis qudsi,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, Aku meninggalkannya dan sekutunya.”
2. Amal itu awalnya dikerjakan karena Allah lalu muncul riya berkelanjutan. Ibadah ini terbagi menjadi dua keadaan:
-
- Jika ibadahnya bersambung antara awal dan akhirnya seperti salat maka ibadah itu tidak diterima. Demikian hukumnya di akhirat. Adapun hukumnya di dunia, ibadah itu sah dan tidak perlu diulangi. Orang yang melakukannya diharuskan bertaubat.
- Jika ibadahnya tidak bersambung antara awal dan akhirnya seperti sedekah, zikir, membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu, maka yang dianggap gugur adalah bagian yang tercampuri oleh riya. Pelakunya berdosa. Bagian yang tidak tercampuri riya dan dikerjakan dengan ikhlas karena Allah akan menjadi pahala.
3. Amalan dikerjakan karena Allah lalu terbetik di benak keinginan kepada selain Allah namun dia berusaha menghilangkan keinginan itu, maka diharapkan itu akan diampuni dan dia akan dibantu oleh Allah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Surah al-A’raf : 201)
4. Amalannya ditunaikan karena Allah namun terbetik di dalam hati rasa senang terhadap pujian orang padanya karena amal tersebut. Ini tidak mempengaruhi ibadahnya karena ibadah tersebut telah ditunaikan dengan keikhlasan. Namun bila ia menyebut-nyebut amalnya setelah ditunaikan dengan maksud bangga diri maka dikhawatirkan ia terjerumus pada penyakit sum’ah. Ini disebutkan oleh sebagian ulama seperti Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Muflih.
Semoga Allah memberikan kepada kita kelurusan niat dalam setiap amal hingga kita dapat semakin dekat dengan-Nya. Amin.