وَعَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيْهِ: أَنَّهُ رَأَى بِلَالًا يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا – يَقُولُ: يَمِينًا وَشِمَالًا – يَقُولُ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَرَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِيْهِ: فَلَمَّا بَلَغَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، لَوَى عُنُقَهُ يَمِينًا وَشِمَالًا، وَلَمْ يَسْتَدِرْ. وَفِي رِوَايَةِ أَحْمَدَ وَالتِّرْمِذِيِّ: رَأَيْتُ بِلَالًا يُؤَذِّنُ [وَيَدُوْرُ]، وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وَهَاهُنَا، وَأُصْبُعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ، وَلابْنِ مَاجَه: فَاسْتَدَارَ فِي أَذَانِهِ، وَجَعَلَ إِصْبُعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ.
Artinya:
Dari ‘Aun bin Abī Juhaifah, dari bapaknya, bahwa dia pernah melihat Bilāl raḍiyallāhu ‘anhu mengumandangkan azan, aku mengikuti mulutnya yang berpaling ke sini dan ke sini, dia berkata, “Ke arah kanan dan kiri” sambil mengucapkan, “ḤAYYA ‘ALAS ṢALĀH, ḤAYYA ‘ALAL FALĀḤ.” Muttafaqun ‘alaihi. [1]
Abu Dāwud meriwayatkan pula dengan lafaz, “Ketika sampai pada lafaz ‘ḤAYYA ‘ALAS ṢALĀH, ḤAYYA ‘ALAL FALĀḤ’, mencondongkan lehernya ke kanan dan ke kiri, namun dia tidak memutar.” Ahmad meriwayatkan, “Saya melihat Bilāl mengumandangkan azan, dia berputar dan aku mengikuti arah mulutnya ke arah sini dan sini, kedua jarinya diletakkan di kedua telinganya.” Tirmiżī berkata bahwa, “Hadis tersebut hasan sahih.” Sedangkan riwayat Ibnu Mājah. “Dia berputar (condong) ketika azan dan meletakkan kedua jarinya di telinganya.”
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis tersebut menjelaskan bahwa Bilāl raḍiyallāhu ‘anhu ketika azan meletakkan kedua jarinya di telinga. Maksud dan tujuan dilakukan hal tersebut adalah untuk membantu menjadikan suara lebih nyaring ketika azan dikumandangkan.
- Tujuan muazin menoleh ke kanan dan ke kiri adalah agar panggilan azannya lebih di dengar dan menjangkau orang-orang. Semua hal yang telah disebutkan mubah hukumnya menurut para ulama ketika azan.
- Semua aktivitas yang dilakukan Bilāl raḍiyallāhu ‘anhu ketika dia mengumandangkan azan tersebut tidak terlepas dari dua kondisi. Pertama, hal tersebut atas instruksi dari Nabi Muḥammad ﷺ. Kedua, ketika dipraktikkan, disaksikan oleh beliau dan beliau tidak mengingkarinya, sehingga menjadi hujah dan sunah.[2]
- Muazin tidak wajib menghadap kiblat ketika sedang mengumandangkan azan.
- Ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang mengumandangkan azan dalam kondisi tanpa berwudu.
Qatādah, al-Ḥasan, Ḥammād, Aṭa’, Mālik, al-Ṡaurī, dan Abū Ḥanīfah membolehkan hal tersebut. Hadis dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ senantiasa berzikir kepada Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā dalam setiap kondisi[3] menjadi hujah bagi ulama yang tidak mewajibkan wudu ketika azan.
Abū Hurairah, Mujāhid, al-Auza’ī, al-Syāfi’ī, dan Abū Ṡaur menegaskan bahwa mengumandangkan azan tidak dalam keadaan wudu adalah perkara yang makruh, namun azannya sah.[4]
Footnote:
[1] H.R. al-Bukhārī (634), Muslim (503), Abu Dāud (520), Aḥmad (18759), Tirmiżī (197) dan Ibnu Mājah (711).
[2] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 2 , hlm. 258.
[3] H.R. Muslim (373).
[4] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 2 , hlm. 259.