MENGQADA SALAT KARENA TERTIDUR (BAGIAN KETIGA)

52
MENGQADA SALAT KARENA TERTIDUR (BAGIAN KETIGA)
Perkiraan waktu baca: 2 menit

Daftar Isi:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَفَلَ مِنْ غَزْوَةِ خَيْبَرَ فَسَارَ لَيْلَةً حَتَّى إِذَا أَدْرَكنَا الْكرَى عَرَّسَ . . . فَذَكَرَ حَدِيْثَ النَّوْمِ عَنِ الصَّلَاةِ، وَفِيْهِ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((تَحَوَّلُوا عَنْ مَكَانِكُمْ الَّذِي أَصَابَتْكُمْ فِيهِ الْغَفْلَةُ)). قَالَ: فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَقَالَ: وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ الْأَذَانَ فِي حَدِيْثِ الزُّهْرِيِّ إِلَّا الْأَوْزَاعِيُّ، وَأَبَانَ الْعَطَّارُ، عَنْ مَعْمَرٍ، وَقَدْ ذَكَرَ مُسْلِمٌ الحَدِيْثَ مِنْ رِوَايَةِ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَالَ فِيهِ: وَأَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ الصَّلَاةَ، فَصَلَّى بِهِمُ الصُّبْحَ، وَلَمْ يَذْكُرِ الْأَذَانَ

Artinya:

Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ pada saat pulang dari perang Khaibar, perjalanan dilakukan malam hari hingga kami merasakan kantuk kemudian singgah dan beristirahat . . . , kemudian beliau menyebutkan hadis tentang tidur tersebut dan salat yang terlewatkan hingga sabda Rasulullah ﷺ, “Berpindahlah dari tempat yang telah menyebabkan kalian lalai (dari salat).” Kemudian beliau memerintahkan Bilāl untuk azan, kemudian beliau melaksanakan salat. Hadis riwayat Abū Dāwud yang menyebutkan, “Tidak ada seorang pun yang menyebutkan lafaz azan pada hadis al-Zuhrī kecuali al-Auzā’ī dan Abān bin al-‘Aṭṭār, dari Ma’mar.” Imam Muslim menyebutkan bahwa hadis tersebut dari riwayat Yūnus, dari al-Zuhrī, dari Ibnu al-Musayyib, dari Abū Hurairah, dia menyebutkan, “Beliau memerintahkan Bilāl kemudian melaksanakan salat.” Beliau mengimami mereka salat Subuh dan tidak ada penyebutan tentang azan.[1]

Kosa kata hadis:

  1. Perang Khaibar (غَزْوَةِ خَيْبَرَ) terjadi pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah.

Khaibar adalah nama dari sebuah kota yang cukup besar, dikelilingi oleh benteng-benteng dan area perkebunan dan pertanian dengan jarak 80 mil dari kota Madinah dari arah utara.

Baca juga:  BEJANA BEKAS AHLU KITAB DAN HUKUM MENGGUNAKANNYA (BAGIAN KEDUA)

Penduduk Khaibar adalah inisiator terbentuknya pasukan Aḥzāb yang merupakan pasukan sekutu yang menyerang kota Madinah secara besar-besaran. Bani Quraiẓah sebagai penguasa di Khaibar telah melakukan penghianatan dan melanggar perjanjian damai dengan kaum Muslimin.

Namun pemberontakan dan makar tersebut berhasil dipadamkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya.[2]

  1. Al-karā (الكَرَى) artinya adalah rasa kantuk atau tidur.[3]
  2. Ulama hadis menyebutkan bahwa hadis Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu tersebut menceritakan peristiwa yang sama dengan peristiwa yang diceritakan oleh ‘Imrān bin Huṣain pada hadis sebelumnya. Dengan ungkapan bahasa yang lain, kita dapat menyimpulkan bahwa satu peristiwa diriwayatkan oleh dua sahabat yang berbeda.[4]

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis tersebut menjadi dalil tentang dibolehkannya mengumandangkan azan ketika melaksanakan salat Qada, yaitu salat yang terlewatkan pelaksanaannya dan bukan lagi pada waktu salat itu sendiri.[5]
  2. Imam al-Syāfi’ī dan Aḥmad berfatwa bahwa istihbāb dan dianjurkan bagi seseorang yang tertidur di suatu tempat hingga terlewat waktu salat untuk pindah dan beralih dari tempat tersebut. Namun sebagian ulama lain tidak sependapat bahwa hal tersebut adalah istihbab, dengan alasan bahwa tidak ada yang mengetahui keberadaan setan kecuali melalui perantara wahyu.
  3. Setiap tempat yang menyebabkan seseorang terlalai dari melaksanakan salat hendaknya tidak digunakan untuk salat, apakah penyebabnya adalah tidur atau selainnya.[6]
  4. Hadis tersebut juga secara tersirat mengajak untuk menjauhi tempat yang dihuni oleh setan. Dalam beberapa hadis, disebutkan bahwa tempat seperti itu antara lain adalah jamban atau kakus, kandang unta.

 

 


Footnote:

[1] H.R. Abū Dāwud (435-436) dan Muslim (309).

[2] Ṣafiyurraḥmān al-Mubarakfurī. Al-Raḥīq al-Makhtūm. Dār al-‘Uṣamā`, Dimasyq. Hlm. 301.

Baca juga:  DI ANTARA WAKTU MUSTAHAB BERSIWAK

[3] Badruddīn al-‘Ainī. Syarḥ Sunan Abī Dāwud. Jilid 2, hlm. 320.

[4] Al-Zaila’ī; Jamāluddīn Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Yūsuf bin Muḥammad (w.762 H). 1418 H. Naṣbur Rāyah li Aḥādīṡil Hidāyah. Muassasah al-Rayyān, Bairūt. Jilid 1, hlm. 281.

[5] Ibnu Rajab al-Hambalī. Fatḥul Bāri Syarḥu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 5, hlm. 106.

[6] Ibnu Rajab al-Hambalī. Op. Cit. Jilid 5, hlm 119.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments