
SYARAH KITAB ‘UMDAH AL-AḤKĀM[1]
وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقُولُ: لا صَلاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ.
Artinya:
Dalam Ṣaḥīḥ Muslim diriwayatkan dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa beliau berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tiada salat di saat makanan dihidangkan, tidak juga saat ia menahan kencing dan berak’.”
Takhrij Hadis:
Hadis ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya al-Ṣaḥīḥ, kitab al-Masājid wa Mawāḍi’ al-Ṣalāh, bab “Dimakruhkannya Salat pada Saat Makanan Dihidangkan yang Ingin Dimakannya”, no. 560.
Syarah dan Faedah yang Terkandung dalam Hadis Ini:
- Dilarang melaksanakan salat sambil menahan kencing atau buang air besar karena dalam keadaan seperti itu, hati tidak akan khusyuk, dan tubuh pun akan mengalami mudarat. Namun, jika ia tetap melaksanakan salat dalam keadaan demikian, menurut para ulama, salat yang ia kerjakan sah tetapi makruh (karāhah)[2]. Jadi, penggalan hadis “tiada salat” bermakna bahwa salat tersebut tidak sempurna.
- Apabila seseorang menahan kencing dengan sekuat tenaga hingga tidak ada tumakninah dalam salatnya maka dalam kondisi tersebut ia diharamkan untuk terus melaksanakan salat karena tumakninah adalah rukun salat yang tidak dapat dipenuhi dalam keadaan demikian.
- Jika seseorang khawatir waktu salat akan habis bila ia menunaikan hajat terlebih dahulu lalu berwudu, maka menurut jumhur ulama, ia sebaiknya tetap melaksanakan salat meskipun harus menahan hajatnya, agar salat tetap dikerjakan pada waktunya.[3]
- Terhidangnya makanan di hadapan seseorang disamakan dengan keadaan orang yang menahan kencing atau buang air besar. Segala hal yang mengganggu kekhusyukan, seperti rasa haus, kegelisahan yang berlebihan, dan sebagainya, termasuk dalam kondisi ini karena memiliki ‘illat (sebab hukum), yaitu hati yang tidak tenang. Suatu hukum berlaku seiring atau mengikuti keberadaan sebabnya, baik saat sebab itu ada maupun tidak.
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab “Mūjaz al-Kalām ‘ala ‘Umdah al-Aḥkām” karya Dr. Manṣūr bin Muḥammad al-Ṣaq’ūb hafiẓahullāh.
[2] Al-Maj’mū’ karya al-Nawawi (4/30).
[3] Al-Majmū’ karya al-Nawawi (4/29), Fatḥ al-Bāri karya Ibnu Rajab (4/109).