
SYARAH KITAB ‘UMDAH AL-AḤKĀM[1]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ -رضي الله عنهما-، قَالَ: شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ -وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ-: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ الصَّلاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ.
وعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ -رضي الله عنه- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قالَ: لا صَلاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلا صَلاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Artinya:
Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā meriwayatkan, “Orang-orang yang diridai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi ﷺ melarang salat setelah Subuh hingga matahari terbit dan setelah Asar sampai matahari terbenam.”
Abū Sa’īd al-Khudrī raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, “Tiada salat setelah subuh hingga matahari meninggi dan tiada salat setelah Asar hingga matahari terbenam.”
Takhrij Hadis:
Hadis Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā ini diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam kitabnya al-Ṣaḥīḥ, kitab Mawāqit al-Ṣalāh, Bab “Salat Setelah Subuh Hingga Matahari Meninggi”, no. 556-557, dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya al-Ṣaḥīḥ, kitab Ṣalātu al-Musāfirīn wa Qaṣrihā, Bab “Waktu-waktu yang Terlarang Melaksanakan Salat”, no. 826. Lafaz hadis ini sesuai redaksi Imam al-Bukhārī.
Adapun hadis Abū Sa’īd al-Khudrī raḍiyallāhu ‘anhu diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam kitabnya al-Ṣaḥīḥ, kitab Mawāqit al-Ṣalāh, bab “Tidak Dianjurkan Melaksanakan Salat Sebelum Terbenamnya Matahari”, no. 561, dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya al-Ṣaḥīḥ, kitab Ṣalāh al-Musāfirīn wa Qaṣrihā, bab “Waktu-waktu yang Terlarang Melaksanakan Salat”, no. 827. Lafaz hadis ini sesuai redaksi Imam al-Bukhārī.
Syarah dan Faedah yang Terkandung dalam Kedua Hadis Ini:
1. Dilarang mengerjakan salat sunah pada lima waktu berikut:
a. Sejak terbit fajar, ada juga yang mengatakan sejak salat fajar hingga matahari terbit;
b. Sejak terbit matahari ketika muncul lingkarannya di ufuk hingga matahari meninggi setinggi tombak saat dilihat oleh mata. Waktu ini adalah waktu yang sangat singkat namun larangan salat di dalamnya begitu ditekankan. Waktu ini bersambung dengan waktu sebelumnya;
c. Setelah salat Asar hingga matahari mulai terbenam yakni saat ujung matahari mulai tenggelam di ufuk;
d. Saat matahari mulai terbenam hingga terbenam sempurna. Ini adalah waktu yang sangat singkat dan terhubung dengan waktu sebelumnya;
e. Saat matahari berada di tengah-tengah langit pada siang hari hingga matahari condong ke arah barat dan mulai menurun meninggalkan bagian tengah langit. Waktu ini dimulai beberapa saat sebelum matahari condong dan berakhir saat matahari mulai condong ke arab barat.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Āmir al-Juhanī raḍiyallāhu ‘anhu, beliau berkata,
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ. أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ. وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ. وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ للغروب حتى تغرب
Artinya:
“Terdapat tiga saat dimana Rasulullah ﷺ melarang kita mengerjakan salat atau menguburkan jenazah kala itu yakni ketika matahari terbit hingga matahari meninggi; ketika matahari tepat berada di pertengahan langit hingga condong (ke barat), dan ketika matahari hampir terbenam hingga betul-betul terbenam.”2
- Larangan ini berlaku bagi semua salat sunah. Terdapat khilaf di kalangan para ulama terkait pelaksanaan salat-salat sunah yang memiliki sebab pada waktu-waktu tersebut seperti salat tahiyatul masjid, salat sunah wudu, dan lain sebagainya. Jumhur ulama mengatakan bahwa salat-salat tersebut tetap tidak boleh dikerjakan pada waktu-waktu terlarang. Sebagian lainnya membolehkan, inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Bāz.3
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab “Mūjaz al-Kalām ‘ala ‘Umdah al-Aḥkām” karya Dr. Manṣūr bin Muḥammad al-Ṣaq’ūb hafiẓahullāh.
2 H.R. Muslim (831).
3 Ini merupakan pendapat mazhab Syāfi’iyyah dan merupakan riwayat dari Imam Aḥmad. Lihat: al-Majmū’ karya al-Nawawī (4/168-175) dan al-Fatāwā al-Kubrā karya Ibnu Taimiyah (2/265-266). Lihat juga: Majmū’ Fatāwā Ibn Bāz (11/286-289).