HUKUM SALAT SUNAH TAWAF SETELAH SUBUH DAN ASAR

82
(new)
Perkiraan waktu baca: 1 menit

وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ)). رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ مَاجَه، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالنَّسَائِيُّ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ. وَقَالَ بَعْضُ الـمُصَنَّفِيْنَ الحُذَّاقِ: رَوَاهُ مُسْلُمٌ وَهُوَ وَهْمٌ.

Artinya:

Dari Jubair bin Muṭ’im, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai bani Abdu Manāf, jangan kalian menghalangi seorang pun untuk tawaf dan salat di Baitullah kapan pun yang dia inginkan di waktu siang dan malam.” Hadis riwayat Aḥmad, Abū Dāwud, Ibnu Mājah, Ibnu Ḥibbān, al-Nasā’ī, Tirmiżī dan beliau menyahihkannya. Sebagian pakar menyatakan hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim, namun hal tersebut tidak benar.[1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

    1. Abū Muḥammad Jubair bin Muṭ’im bin ‘Adī bin Naufal al-Quraisy rahimahullah. Beliau masuk Islam sebelum tahun penaklukan kota Makkah kemudian tinggal di kota Madinah dan wafat di sana pada tahun 57 hijriah.

Jubair bin Muṭ’im radhiyallāhu’anhu dikenal sebagai pakar dalam ilmu nasab, terutama nasab kaum Quraisy. Diriwayatkan bahwa beliau belajar ilmu nasab tersebut dari Abū Bakar al-Ṣiddīq radhiyallāhu’anhu.

Ayah beliau, Muṭ’im bin ‘Adī, yang pernah membatalkan lembar perjanjian (ṣaḥīfah) pemboikotan kaum Quraisy terhadap bani Hasyim; kabilah keluarga besar Nabi Muḥammad ﷺ. Muṭ’im bin ‘Adī pula yang menunjukkan simpati ke pada bani Hasyim pada masa pemboikotan tersebut dan menolong mereka secara sembunyi-sembunyi.[2]

Nabi Muḥammad ﷺ bersabda pada peristiwa perang Badar,

لَوْ كَانَ المُطْعِمُ بنُ عَدِيٍّ حَيًّا، وَكلَّمَنِي فِي هَؤُلاَءِ النَّتْنَى، لَتَرَكْتُهُم لَهُ

Artinya:

“Seandainya al-Muṭ’im bin ‘Adī masih hidup, kemudian dia membicarakan kepada saya tentang mereka (para tawanan perang), niscaya saya akan bebaskan mereka untuknya.”[3]

Baca juga:  HADIS KE-34 AL-ARBA’IN: MENGUBAH KEMUNGKARAN

Faedah dan istinbat dari hadis:

    1. Imam al-Syāfi’ī menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa melaksanakan salat pada waktu yang terlarang (sebagaimana disebutkan sebelumnya) adalah jaiz di kota Makkah.[4]

Ulama dari golongan sahabat seperti Ibnu ‘Umar tetap melaksanakan salat sunah tawaf pada waktu setelah pelaksanaan salat Asar dan atau pun Subuh. Aṭā’, Ṭāwus, al-Qāsim, ‘Urwah, dan Syāfi’ī serta Aḥmad berfatwa bahwa hal tersebut dibolehkan.[5]

    1. Hadis ini menunjukkan bahwa salat nāfilah pada waktu terlarang pelaksanaannya tidak menjadi makruh di Masjidilharam kota Makkah karena kemuliaan kota Makkah. Juga agar setiap orang mendapatkan keutamaan kota Makkah di setiap waktu atau kapan saja.[6]

 


Footnote:

[1] H.R. Aḥmad (16736), Abū Dāwud (1894), Ibnu Mājah (1254) dan al-Nasā’ī (1/284).

[2] Al-Żahabī. Siyar A’lām al-Nubalā’. Jilid 3, hlm. 96.

[3] H.R. al-Bukhārī (3139).

[4] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 2, hlm. 194.

[5] Ibnu Baṭṭal. Op. Cit. Jilid 4, hlm. 310.

[6] Al-Ṣan’ānī. Subul al-Salām. Jilid 1, hlm. 170.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments