HUKUM PENGGUNAAN BEJANA EMAS DAN PERAK (BAGIAN KEDUA)

327
HUKUM PENGGUNAAN BEJANA EMAS DAN PERAK Bag 2
HUKUM PENGGUNAAN BEJANA EMAS DAN PERAK Bag 2
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَعَن حُذَيْفَةَ بن الْيَمَان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Huzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah kalian minum di bejana emas dan perak, jangan pula makan di bejana tersebut, karena hal tersebut untuk mereka (kafir) di dunia, dan untuk kalian di akhirat.” (Muttaqun Alaihi)[1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. Huzaifah bin al-Yamanradhiyallahu anhuma dan ayahnya adalah sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Al-Yaman adalah lakab ayahnya yang memiliki nama asli Husail. Beliau wafat pada Perang Uhud, terbunuh oleh kaum Muslim karena disangka adalah bagian dari kaum Musyrik. Beliau sering mendapat tugas sebagai intelijen dari Rasulullah ﷺ  karena mengetahui rahasia Rasulullah ﷺ terkait informasi kaum Munafik. Beliau wafat pada tahun 36 hijriah pada awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib t.[2]
  2. Shihaaf (صِحَافِ) adalah bentuk jamak dari kata shahfah (صَحْفَةٍ), yaitu jenis bejana untuk makanan yang dapat mencukupi untuk lima orang.[3]

Makna hadis:

Rasulullah ﷺ melarang berpakaian dari bahan sutra bagi kaum laki-laki karena merupakan bentuk tasyabbuh atau menyerupai kaum perempuan. Padahal kaum laki-laki dituntut berperforma yang gagah dan perkasa. Sebagaimana juga terlarang bagi kaum laki-laki dan perempuan makan dan minum dari bejana yang terbuat dari emas dan perak.

Allah Ta’ala menjanjikan semua itu di akhirat kelak sehingga kaum Muslim jangan menggesa-gesakan (menyegerakan) hal tersebut di dunia. Siapa yang menikmatinya di dunia maka dia tidak akan menikmatinya di akhirat. [4]

Baca juga:  BERKHALWAT KETIKA BUANG HAJAT

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Dari hadis yang mulia ini, ulama mengambil kaidah fikih:

مَنْ تَعَجَّلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ

“Siapa yang tergesa-gesa terhadap sesuatu sebelum waktunya, dia akan diganjar dengan pengharaman (tidak mendapatkan) hal tersebut.”[5]

Maknanya adalah karena telah menyegerakan sesuatu yang dilarang untuk dilakukan di dunia padahal di akhirat kelak dibolehkan sehingga dihukum dengan tidak mendapatnya di akhirat.

Sebagaimana ahli waris yang pada asalnya berhak terhadap suatu harta warisan, namun tergesa-gesa ingin mendapatkannya dengan cara membunuh pewarisnya, maka dia diharamkan mendapatkan warisan tersebut meskipun pewaris tersebut telah meninggal dunia.[6]

  1. Lafal pelarangan dalam hadis ini menggunakan fi’il amr (kata perintah), sedangkan pada hadis sebelumnya[7] lafal pelarangan berbentuk khabar dan fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau).[8] Keduanya tentu berbeda namun memberi konsekuensi yang sama.
  2. Apakah benda berharga lainnya seperti; yakut (batu permata berwarna biru atau hijau), intan dan berlian diikutkan dan disamakan hukumnya dengan emas dan perak?

Ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Imam al-Nawawi meriwayatkan bahwa hal tersebut juga diharamkan. Sedangkan sebagian lainnya melihat bahwa masalah ini tidak dapat dikiaskan, Allahu A’lam.[9]

  1. Hikmah larangan tersebut:
  2. Karena hal tersebut adalah manifestasi dari kesombongan, tinggi hati, dan israf;
  3. Menafikan sifat empati, di mana kaum fakir dan miskin dapat terlukai hati dan perasaannya, padahal mereka terkadang tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya, sementara pada waktu yang bersamaan ada orang yang israfdalam kehidupannya.[10]

Footnote:

[1] H.R. al-Bukhari (5426) dan Muslim (2067).

[2] Ibnu Abdil Barr. Al-Isti’aab fii Ma’rifatil Ashaab. Jilid 1, hlm. 335.

[3] Al-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 13, hlm. 193.

Baca juga:  EMPAT HAL YANG DISYARIATKAN MANDI KARENANYA

[4] Abdullah bin Shalih al-Bassam. Op. Cit. Jilid. 1, hlm. 729.

[5] Al-Zarkasyi; Badruddin Muhammad bin Abdullah (w.794 H). 1985 M. Al-Mantsur fii al-Qawaaid al-Fiqhiyah. Penerbit Wizarah al-Awqaf al-Kuwaitiyah. Jilid 3, hlm. 205.

[6] Az-Zarkasyi. Al-Mantsur fii al-Qawaaid al-Fiqhiyah. Jilid 3, hlm .205.

[7] Hadis Fikih Sunnah nomor 16.

[8] Badruddin al-Aini. Op. Cit. Jilid 21, hlm. 202.

[9] Al-Syaukani; Muhammad bin Ali (w.1250 H). Nailul Authar. Darul Hadits, Mesir. Jilid 1 , hlm. 91.

[10] Abdullah bin Shalih al-Bassam. Op. Cit. Jilid. 1, hlm. 729.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments