HUKUM BERAMAL DENGAN HADIS DAIF (LEMAH)[1]
Syekh DR. Abdulkarim al-Khudhair –hafizhahullahu–
Alih bahasa : Maulana La Eda, Lc., M.A.
Syekh al-Muhaddits al–Faqih Dr. Abdulkarim bin Abdullah al-Khudhair –hafizahullahu ta’ala- (Anggota Haiah Kibar Ulama dan Komite Tetap untuk Riset dan Fatwa KSA periode 1434-1441 H) ditanya:
“Apa hukum berdalil dan beramal dengan hadis daif?”
Beliau menjawab
Segala puji hanya bagi Allah Azza wajalla. Adapun hukum beramal dengan hadis daif maka perlu perincian sebagai berikut :
- Beramal dengan hadis daif dalam masalah akidah hukumnya tidak boleh berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama Islam).
- Beramal dengan hadis daif dalam masalah hukum-hukum fikih, jumhur ulama berpendapat tidak membolehkannya.
- Beramal dengannya dalam masalah fadhail (keutamaan amal), tafsir, dan sirah Nabi, jumhur ulama berpendapat bolehnya berdalil dengan hadits daif pada masalah-masalah ini dengan beberapa syarat dan batasan :
– Sisi daif (cacat), hadisnya tidak terlalu lemah.
– Hadis daif tersebut memiliki dasar hukum dalam syariat.
– Ketika beramal dengannya, tidak boleh meyakini bahwa hadis itu berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam akan tetapi dia hendaknya mengamalkannya hanya sebagai sikap kehati-hatian.
Imam Nawawi dan Mula ‘Ali Qori –rahimahumallah– telah menukilkan tentang ijmaknya para ulama atas bolehnya beramal dengan hadis daif dalam fadhail ‘amal, akan tetapi ini tidak benar karena sebagian para ulama menyelisihi hal tersebut, di antara mereka adalah Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu al-Arabi, al-Syaukani, dan al-Albani –rahimahumullah– dan pendapat inilah (tidak bolehnya beramal dengan hadis daif dalam fadhail ‘amal) yang tersirat dari ucapan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim –rahimahumallah– serta pendapat ini juga telah diisyaratkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim –rahimahumallah-. Oleh karena itu berdasarkan pendapat ini maka tidak boleh beramal dengan hadis daif dalam semua permasalahan agama tanpa terkecuali, dan boleh disebutkan namun hanya sebagai pelajaran. Ibnul Qayyim juga mengisyaratkan bahwa hadis daif mungkin bisa dijadikan sebagai dalil untuk menguatkan salah satu dari dua pendapat yang sama-sama kuat. Namun pendapat yang benar adalah bahwa hadis daif tidak boleh diamalkan/dijadikan dalil selama tidak adanya keyakinan akan adanya hadis lain yang menguatkannya sehingga dapat mencapai derajat hadis hasan li ghairihi. Wabillahi al-Taufiq.
[1] Sumber: www.almoslim.net/node/51854