SYARAH KITAB ‘UMDAH AL-AḤKĀM[1]
عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ سَيَّارِ بْنِ سَلامَةَ قَالَ: دَخَلْتُ أَنَا وَأَبِي عَلَى أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ ، فَقَالَ لَهُ أَبِي: كَيْفَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ؟ فَقَالَ: كَانَ يُصَلِّي الْهَجِيرَ – الَّتِي تَدْعُونَهَا الأُولَى – حِينَ تَدْحَضُ الشَّمْسُ، وَيُصَلِّي الْعَصْرَ، ثُمَّ يَرْجِعُ أَحَدُنَا إلَى رَحْلِهِ فِي أَقْصَى الْمَدِينَةِ وَالشَّمْسُ حَيَّةٌ. وَنَسِيتُ مَا قَالَ فِي الْمَغْرِبِ. وَكَانَ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ الْعِشَاءِ الَّتِي تَدْعُونَهَا الْعَتَمَةَ. وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا، وَالْحَدِيثُ بَعْدَهَا. وَكَانَ يَنْفَتِلُ مِنْ صَلاةِ الْغَدَاةِ حِينَ يَعْرِفُ الرَّجُلَ جَلِيسَهُ. وَكَانَ يَقْرَأُ بِالسِّتِّينَ إلَى الْمِائَةِ
Artinya:
Abū al-Minhāl Sayyār bin Salāmah mengatakan, “Saya menemui Abū Barzah al-Aslamī bersama ayah saya. Lalu ayah saya bertanya kepada beliau, ‘Bagaimana Rasulullah ﷺ melaksanakan salat wajib?’ Abū Barzah menjawab, ‘Nabi ﷺ melaksanakan salat Zuhur, yang kalian sebut sebagai salat pertama, saat matahari telah condong. Beliau mengerjakan salat Asar lalu salah seorang dari kami kembali ke kediamannya di ujung Kota Madinah sementara terik matahari masih terasa menyengat. Aku lupa apa yang beliau sebutkan tentang salat Magrib. Beliau lebih suka mengakhirkan salat Isya yang kalian sebut dengan al-‘atamah, dan beliau tidak suka tidur sebelum salat Isya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. Beliau selesai melaksanakan salat Subuh ketika seseorang (makmum) sudah dapat mengetahui siapa yang ada di sebelahnya. Biasanya beliau membaca enam puluh hingga seratus ayat’.” (H.R. Bukhārī no. 522 dan Muslim no. 461)
Daftar Isi:
Takhrij Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam kitabnya, al-Ṣaḥīḥ, kitab Mawāqit al-Ṣalāh, bab “Waktu Asar” no. 522, dan Imam Muslim dalam kitabnya, al- Ṣaḥīḥ, kitab al-Ṣalah, bab “Bacaan pada Salat Subuh dan Salat Magrib” no. 461, dan juga dalam kitab al-Masājid wa Mawāḍi’ al-Ṣalāh, bab “Anjuran Bersegera Salat Subuh di Awal Waktu” no. 647. Lafaz hadis ini sesuai periwayatan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Syarah dan Faedah yang Terkandung dalam Hadis Ini:
- Hadis ini menjelaskan tentang waktu-waktu salat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penjelasan hadis sebelumnya.
- Makruhnya tidur sebelum melaksanakan salat Isya karena bisa menjadi sebab meninggalkan salat atau menundanya hingga melewati waktu yang paling afdal. Imam Tirmiżī mengatakan, “Kebanyakan ulama membenci tidur sebelum salat Isya.”[2] Ada juga ulama yang membolehkannya tanpa adanya kemakruhan dengan catatan ada orang yang dapat membangunkannya.
- Makruhnya mengobrol setelah salat Isya karena hal itu dapat mejadikan orang begadang yang berpotensi menyebabkan keterlambatan pelaksanaan ibadah salat Subuh. Seseorang yang begadang berpotensi tidak mengerjakan salat Subuh tepat waktu atau minimal menjadikannya mengerjakan salat tidak pada waktu utama. Di sisi lain, mengobrol setelah salat Isya dapat berpeluang menjadikan seseorang membahas hal-hal yang tidak pantas. Hal ini menyebabkannya menutup hari dengan dosa dan kemaksiatan.
Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam permasalahan ini, misalnya orang yang begadang karena ada masalahat akhirat seperti begadang untuk menuntut ilmu agama dan lain sebagainya. Demikian juga orang yang begadang disebabkan adanya kebutuhan untuk itu terkait masalah pribadinya.3
- Di antara tuntunan Nabi yang sering sekali beliau contohkan ialah memanjangkan bacaan Al-Qur’an pada salat Subuh. Para ulama mengatakan afdalnya seseorang membaca surah-surah dalam katagori ṭiwāl al-mufaṣṣal4. Imam Aḥmad menyatakan bahwa membaca surah pendek dalam salat Subuh hukumnya makruh kecuali dalam keadaan safar.5
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab “Mūjaz al-Kalām ‘ala ‘Umdah al-Aḥkām” karya Dr. Manṣūr bin Muḥammad al-Ṣaq’ūb hafiẓahullāh.
[2] Lihat Sunan al-Tizmiżī, 1/235.
3 Lihat Iḥkām al-Aḥkām karya Ibnu Daqīq al-‘īd (1/170).
4 Dari surah Qāf hingga surah al-Mursalāt, menurut pendapat tertentu.
5 Lihat Fatḥ al-Bāri karya Ibnu Rajab (4/457).