Daftar Isi:
Berwudu disebabkan keluarnya mazi[1]
وَعَنْ عَلِيٍّ قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ((فِيْهِ الوُضُوءُ)). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيُّ، وَفِي لَفْظِ لِمُسْلِمٍ: ((تَوَضَّأُ وَانْضَحْ فَرْجَكَ))
Dari ‘Ālī raḍiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Saya adalah seorang laki-laki yang mażżā’an (sering mengeluarkan mazi) sehingga saya memerintahkan al-Miqdād untuk bertanya kepada Rasulullah ﷺ dan beliau bersabda, ‘Wajib wudu karenanya (mazi)’.” Muttafaqun ‘alaihi dan lafal ini dari al-Bukhārī, sedangkan lafal Muslim, “Berwudulah dan cucilah kemaluanmu (zakar).”[2]
Kosa kata hadis:
- Al-Miqdādbin Amru bin Ṡa’labah bin Mālik. Pada awalnya beliau dikenal dengan nama al-Miqdād bin al-Aswad, dinisbahkan kepada ayah angkatnya di kota Makkah, namun kemudian ada larangan untuk menisbahkan seseorang kepada selain bapak atau ibu kandung, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala
,
اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (Surah al-Aḥzāb: 5)
Nama kuniyah-nya adalah Abū al-Aswad. Beliau termasuk sahabat yang awal masuk Islam dan beristrikan anak paman Nabi ﷺ, Ḍuba’ah binti Zubair bin ‘Abdul Muṭālib.
Beliau adalah fāris (penunggang kuda) pada peristiwa perang Badar, bahkan diriwayatkan tidak ada seorang pun yang mengendarai kuda pada perang Badar kecuali beliau radhiyallahu anhu.
Beliau wafat pada tahun 33 hijriah pada masa khilafah Uṡmān bin ‘Affān pada usia tujuh puluh tahun.[3]
- Maziadalah cairan putih, encer, lekat yang keluar ketika bercumbu rayu (suami-istri), atau membayangkan hubungan suami-istri dan atau memiliki keinginan tersebut, dimana terkadang (mazi) keluar tanpa disadari. [4]
- وَانْضِحْ فَرْجَكَ maknanya adalah cucilah kemaluanmu, dari kata النَّضْحَ (al-naḍaḥ) yang dapat bermakna mencuci atau dapat pula bermakna memercikkan, namun maknanya disini adalah mencuci sebagaimana lafal hadis dari jalur periwayatan lainnya.[5]
Makna hadis:
‘Ālī bin Abī Ṭālib radhiyallahu anhu berkata, “Saya adalah seorang laki-laki yang mażżā’an (sering mengeluarkan mazi). Awalnya saya mandi jika hal tersebut terjadi, sampai mandi janabah menjadi sesuatu yang sangat menyulitkan saya, karena saya menduga hukum mazi sama seperti hukum mani.”
“Saya kemudian ingin memastikan hukumnya dengan menanyakannya kepada Nabi ﷺ. Akan tetapi karena pertanyaan yang akan saya ajukan terkait dengan kemaluan dan putri Nabi ﷺ adalah istri saya, saya pun merasa malu menanyakannya secara langsung. Saya mewakilkannya kepada al-Miqdād bin Amru untuk bertanya,” kata ‘Ālī. Rasulullah kemudian memberikan jawaban, “Jika mazi keluar hendaknya dia mencuci kemaluannya dengan air, kemudian berwudu, karena mazi tersebut keluar dari qubul, keluarnya benda dari qubul atau dubur membatalkan wudu.”
Nabi ﷺ telah memberikan jawaban dan solusi secara syariat dan dari sisi kesehatan yaitu membersihkan sesuatu yang keluar karena panas dari dalam tubuh dengan air yang sifatnya dingin.[6]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Wajib berwudu jika keluar mazi dan mazi hukumnya najis, sehingga Nabi ﷺ memerintahkan mencuci kemaluan. Yang dimaksud mencuci di sini menurut al-Syāfi’ī adalah mencuci tempat keluar najis saja dan tidak mesti seluruh kemaluan (zakar).
- Najis yang tidak kerap atau jarang mengenai badan seperti darah dan mazi haruslah disucikan dengan air. Ini adalah pendapat yang lebih sahih dari pendapat lainnya. Sedangkan najis yang mu’tādah (kerap mengenai badan) seperti kencing dan tinja, boleh hanya beristinja dengan batu saja.[7]
- Pada hadis tersebut terdapat dalil bahwa keluarnya mazi membatalkan wudu[8]. Oleh sebab itu, Imam Ibnu ‘Abdil Hādī raḥimahullāh mencantumkan hadis tersebut pada bab ini.
- Ijmakulama bahwa jika yang keluar hanya mazi, tidak wajib bagi seseorang untuk mandi janabah[9]. Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ bersabda,
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
“Berwudulah dan cucilah kemaluanmu.”[10].
Namun lafal tersebut tidak bermakna mengakhirkan mencuci kemaluan (zakar) dari wudu itu sendiri karena huruf ‘al-waw’ (الوَاوُ) dalam gramatikal bahasa Arab tidak menunjukkan urutan.[11]
- Bolehnya mewakilkan diri dalam meminta fatwa. Jika seseorang malu untuk bertanya tentang masalah pribadinya, boleh meminta orang lain yang menanyakan permasalahan tersebut untuknya.[12]
- Anjuran bermuamalah secara baik dengan mertua. Hendaknya seseorang merasa malu membicarakan masalah hubungan suami-istri dan yang semisalnya di hadapan ayah mertua atau orang lain yang merupakan kerabat dari pihak istri.[13]
- Rasa malu hendaknya tidak menghalangi seseorang untuk belajar, atau dapat juga mengutus orang lain untuk bertanya.
- Hadis ini menunjukkan bahwa khabar aḥad hukumnya makbul.[14]
Footnote:
[1] Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarhu Shahihil Bukhari. Jilid 1, hlm 379.
[2] HR. Al-Bukhari (132) dan Muslim (303).
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalany. Al-Ishabah Fii Tamyiiz As-Shahabah. Jilid 6, hlm 161.
[4] Ibnu Hajar. Fatḥul Bārī Syarḥu Ṣaḥīḥil Bukhārī. Jilid 1, hlm. 379.
[5] An-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 213.
[6] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 54.
[7] An-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 213.
[8] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm 93.
[9] An-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 213.
[10] H.R. al-Bukhārī (269).
[11] Muḥammad bin Ismā’īl al-Ṣan’ānī. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 93.
[12] Ibnu Baṭṭal. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 212.
[13] An-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 214.
[14] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm. 212.