BEBERAPA FIKIH PUASA DAN HUKUM TERKAIT RAMADAN[1] (BAGIAN KELIMA)
Salat Tarawih dan Salat Witir
π Mendirikan salat malam sepanjang waktu dari Isya hingga Fajar bertentangan dengan sunah, kecuali di bulan Ramadan. Dalam Ramadan, sunahnya adalah menghidupkan malam bagi yang mampu. Tidur di siang hari lebih utama daripada tidur di malam hari bagi orang yang beribadah secara khusus.
π Salat Tarawih dinamakan demikian karena para jemaah beristirahat di sela-sela salat karena panjangnya salat. Umar radhiyallahu βanhu memberi waktu istirahat kepada para jemaah selama kira-kira sejarak perjalanan seseorang dari masjid ke bukit Salβa, yang berjarak sekitar 700 meter dari mereka.
π Mereka dahulu memperpanjang salat Tarawih, dan Umar radhiyallahu anhu memberi mereka waktu istirahat di antara rakaatnya. Ayyub al-Sikhtiyani rahimahullah menjadikan waktu istirahat kisaran tiga puluh ayat. Sementara itu, salat sebagian orang di zaman belakangan ini setara dengan waktu istirahat para Salaf.
π Tidak mengapa seorang yang salat membawa mushaf, baik sebagai imam maupun sendirian, jika ia tidak menghafalnya atau agar dapat lebih merenungi bacaannya. Hal ini diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha dan Anas radhiyallahu anhu. Tabiin Al-Zuhri rahimahullah berkata, “Orang-orang terbaik di antara kami membaca dari mushaf dalam salat di bulan Ramadan.”
π Salat Tarawih tidak dilaksanakan secara berjemaah pada masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu anhu karena kesibukannya dalam memerangi kaum yang murtad, dan jihad lebih diutamakan daripada Tarawih. Umar radhiyallahu βanhu adalah orang yang mengumpulkan kaum muslimin untuk salat Tarawih di belakang imam Ubay bin Kaβab radhiyallahu anhu, dan beliau tidak melakukan qunut kecuali pada paruh kedua Ramadan.
π Jika dalam rangkaian doa qunut imam terdapat pengagungan kepada Allah, maka tidak mengapa bagi makmum untuk tetap mengucapkan “Amin,” karena itu termasuk dalam bagian permohonan. Zikir pun mengandung doa, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi: Allah azza wajalla berfirman, “Barang siapa yang disibukkan dengan mengingat-Ku hingga tidak sempat memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya sesuatu yang lebih baik dari apa yang diberikan kepada para pemohon.” Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur dalam kitab-kitab Sunan dan lainnya.[2]
π Orang yang mengucapkan “Amin” di belakang orang yang berdoa sama seperti orang yang berdoa itu sendiri. Allah azza wajalla berfirman:
ΩΩΩΨ§ΩΩ Ω ΩΩΨ³Ω Ψ±ΩΨ¨ΩΩΩΨ§ ….
Artinya: “Dan Musa berkata: ‘Wahai Tuhan kami…’β (QS. Yunus: 88)
kemudian di ayat selanjutnya:
ΩΨ§ΩΩ βΩΩΨ―Ω βΨ£ΩΨ¬ΩΩΨ¨ΩΨͺΩ βΨ―ΩΨΉΩΩΩΨͺΩΩΩΩ Ψ§
Artinya: “(Allah berfirman) Sungguh, doa kalian berdua telah dikabulkan.” (QS. Yunus: 89).
Padahal yang berdoa hany a satu, tetapi jawaban diberikan kepada keduanya, yaitu Musa dan Harun alaihima assalam.
π Sunahnya, seseorang mengucapkan βSubhanal Malikil Quddusβ tiga kali setelah salat witir, dengan mengeraskannya dan meninggikan suaranya lebih pada kali ketiga. Adapun istigfar dan tahlil setelah witir, tidak dikenal dalam sunah.
Footnote:
[1] Dipilih dan disadur serta diterjemahkan dari kitab Suthur min al-Naql wa al-βAql wa al-Fikr (Kumpulan Tweet al-Syaikh al-Muhaddits Abdul Aziz bin Marzuq al-Tharifi –hafizhahullah-)
[2] Diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (16/149) dari Malik bin al-Harits, Al-Bukhari dalam Khalqu Afβal al-βIbad (hal. 109), Ibnu Syahin dalam at-Targhib (no. 154) dan alβBaihaqi dalam Syuβab al-Iman (no. 567) kesemuanya dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Diriwayatkan juga olehΒ Abu Nuaim dalam Hilyah al-Auliyaβ (7/313) dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu anhuma dan al-Qudhai dalam Musnad al-Syihab (no. 584) dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma.