وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ لِلنَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ: بِلَالٌ، وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari ‘Abdullāh bin ‘Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah ﷺ memiliki dua orang muazin; Bilal dan Ibnu Ummi Maktum (yang) buta.” Muttafaqun ‘alaihi.[1]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
Ibnu Ummi Maktum, nama beliau adalah Amrū bin Qais bin Zaidah bin al-Aṣam bin Ḥaram bin Rawāḥah. Ada pula riwayat yang menyebutkan nama beliau adalah ‘Abdullāh bin Qais. Sedangkan Ummi Maktum namanya adalah Atikah. Beliau wafat sebagai syahid pada peristiwa perang al-Qadisiyah.
Makna hadis:
‘Abdullāh bin ‘Umar radhiyallahu anhuma menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pada masa hidupnya pernah memiliki dua orang muazin untuk satu waktu salat, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum (yang) buta. Bilal mengumandangkan azan sebelum waktu fajar dan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan setelah waktu fajar telah tiba. Sebenarnya beliau memiliki muazin yang lain yang beliau pilih sendiri, yaitu Abū Mahżurah di kota Mekkah dan Sa’ad al-Quraḍī di perkampungan Quba. Akan tetapi, yang selalu bersama Nabi Muḥammad ﷺ di kota Madinah hanya Bilal dan Ibnu Ummi Maktum.[2]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Diperbolehkannya mengambil dua orang muazin untuk satu waktu salat, mereka mengumandangkan azan secara bersamaan dan terpisah. Jika waktunya sempit maka mereka harus berdiri berdekatan dan mengumandangkan azan secara bersamaan.[3] Hal ini boleh menurut Imam al-Nawawī, jika kedua muazin mengumandangkan azan secara serentak dan tidak terjadi terjadi kegaduhan. Jika justru terjadi kekacauan maka hendaknya hanya satu orang saja yang mengumandangkan azan.
Muazin rawatib atau yang sudah disepakati dan ditunjuk paling berhak untuk mengumandangkan azan.[4]
- Bolehnya menugaskan orang yang buta sebagai muazin jika ada orang lain yang bisa membantunya untuk mengetahui waktu salat dalam pelaksanaan tugasnya tersebut. Amalan ini bukanlah sesuatu yang makruh dengan persyaratan sebagaimana tersebut di atas. Demikian pendapat kebanyakan ulama, antara lain al-Nakhā’ī, al-Ṡaurī, Mālik, al-Syāfi’ī, Aḥmad, Isḥāq, dan Abū Ṡaur[5]
- Hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang memperbolehkan persaksian orang yang buta jika dia benar-benar yakin atas peristiwa (dengan suara) yang dia dengarkan langsung. Demikian cara para sahabat memberitahukan Ibnu Ummi Maktum jika waktu salat telah tiba. Pendapat ini adalah mazhab Mālik dan Aḥmad. Sedangkan al-Syāfi’ī dan Abū Ḥanīfah melarang dan tidak menerimanya.[6]
- Diperbolehkan menyebutkan hal atau sifat kekurangan dari seseorang dengan tujuan untuk memperkenalkannya atau ada maslahat yang ingin disampaikan dan dicapai, dan bukan bertujuan mengumbar kekurangan dan aib. Sebagaimana hal ini juga merupakan salah satu jenis gibah yang diperbolehkan, padahal hukum asalnya perbuatan gibah adalah haram.
Footnote:
[1] H.R. Al-Bukhārī (617 ) dan Muslim (380).
[2] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 82.
[3] Al-Qāḍī ‘Iyāḍ. Ikmālul Mu’lim bi Fawā’id Muslim. Jilid 2, hlm. 247.
[4] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 83.
[5] Ibnu Rajab al-Ḥambalī. Fatḥul Bāri Syarḥu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 5, hlm. 310.
[6] Ibid.