Pertanyaan:
Sebagaimana yang saya ketahui bahwa hadis:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةٍ فَهُوَ رِبَا
adalah hadis daif. Akan tetapi, kebanyakan ustaz menggunakan hadis tersebut dalam pelarangan gadai tanah dan sejenisnya. Apa hujahnya atau sebab penggunaan hadis tersebut?
(Sulham Karim di Soppeng, Sulawesi Selatan)
Jawaban:
Oleh: Rachmat Badani, Lc., M.A.
Hadis ini memang lemah dari sisi sanadnya, namun maknanya benar bahwa setiap bentuk pinjaman yang mendatangkan manfaat (yang dipersyaratkan) adalah riba. Hal ini dikuatkan oleh perkataan beberapa orang sahabat, di antaranya apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Burdah, beliau berkata,
أَتَيْتُ المَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلاَمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: أَلاَ تَجِيءُ فَأُطْعِمَكَ سَوِيقًا وَتَمْرًا، وَتَدْخُلَ فِي بَيْتٍ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ، أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ، أَوْ حِمْلَ قَتٍّ، فَلاَ تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
“Aku mengunjungi Madinah lalu bertemu dengan ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kamu berkunjung ke rumahku, nanti kusuguhi makanan terbuat dari tepung dan kurma dan kamu masuk ke dalam rumah’. Kemudian dia berkata lagi, ‘Sungguh kamu sekarang berada di negeri praktik riba sudah merajalela. Jika kamu memiliki hak atas seseorang kemudian dia berikan kepadamu buah tin dan gandum atau biji-bijian, maka janganlah kamu mengambilnya karena itu adalah barang riba’.”
Diriwayatkan pula dari perkataan Ibnu Mas’ud sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Sirin,
أَقْرَضَ رَجُلٌ رَجُلًا خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ ظَهْرَ فَرَسِهِ، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: مَا أَصَابَ مِنْ ظَهْرِ فَرَسِهِ فَهُوَ رِبًا
“Seseorang meminjamkan pinjaman sebesar 500 dirham kepada orang lain dengan mempersyaratkan (atas piutang ini) untuk menunggangi kudanya. Maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘Apabila ia menunggangi kuda itu maka hal itu adalah riba’.”
Berkata pula Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu,
إِذْ أَقْرَضْتَ قَرْضًا وَجَاءَ صَاحِبُ الْقَرْضِ يَحْمِلُهُ وَمَعَهُ هَدِيَّةٌ فَخُذْ مِنْهُ قَرْضَهُ وَرُدَّ عَلَيْهِ هَدِيَّتَهُ
“Apabila engkau meminjamkan sebuah pinjaman kemudian peminjam itu mengembalikan pinjamannya dan hadiah, maka ambillah pinjamannya dan tolaklah hadiah yang dia berikan.”
Dalam literatur, masih terdapat atsar-atsar dari sahabat lainnya yang tidak kami nukilkan di sini. Bahkan atsar-atsar tersebut mudah ditemukan di dalam kitab-kitab empat mazhab dan seakan menjadi sebuah kaidah umum dalam persoalan muamalah khususnya berkaitan dengan persoalan al-qard atau pinjaman. Berkata Ibnu al-Mundzir rahimahullah,
وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِ إِذَا أَقْرَضَهُ هَدِيَّةً أَوْ هِبَةً أَوْ زِيَادَةً، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ رِبَا لاَ يَحِلُّ لِلْآخِذِ وَلاَ لِلْمُعْطِيْ، وَإِنْ رَدَّ عَلَيْهِ أَفْضَلَ مِنْهُ عَلَى غَيْرِ شَرْطٍ فَلَا بَأْسَ بِهِ
“Dan tidak dibolehkan bagi seseorang yang meminjamkan pinjaman untuk mempersyaratkan adanya hadiah, hibah atau tambahan sesuatu, apabila dia melakukannya maka itu tergolong riba, tidak halal bagi orang yang menerima dan memberinya, dan apabila (si peminjam) memberikan hadiah itu tanpa dipersyaratkan sebelumnya maka tidaklah mengapa.”
Oleh karena itu, Ibnu al-Qaththan rahimahullah menukilkan ijmak ulama atas masalah ini, beliau mengatakan,
وَاتَّفَقُوْا أَنَّ اشْتِرَاطَ رَدِّ أَفْضَلٍ أَوْ أَكْثَر مِمَّا اسْتُقْرِضَ حَرَامٌ لاَ يَحِلُّ
“Dan ulama bersepakat bahwa mempersyaratkan tambahan yang lebih baik atau lebih banyak atas piutang yang dipinjamkan adalah haram, tidak dihalalkan.”