
وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي، قَالَ: ))أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا((. رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ مَاجَه، وَالنَّسَائِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَقَالَ: عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَفِي رِوَايَةٍ: أَنَّ آخِرَ مَا عَهِدَ إِلىَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَّخِذَ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه، وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.
Artinya:
Dari ‘Uṡmān bin Abī al-‘Aṣ, bahwasanya dia berkata (kepada Nabi Muhammad ﷺ ), “Wahai Rasulullah ﷺ, tugaskan saya sebagai imam kaumku.” Beliau menjawab, “Anda adalah imam bagi mereka, perhatikan orang yang paling lemah (fisiknya) di antara mereka, angkatlah muazin namun jangan dia mengambil upah dari tugas azannya tersebut.” Hadis riwayat Aḥmad, Abū Dāwud, Ibnu Majah, al-Nasā’ī dan al-Ḥākim dia berkata, “Ia sesuai syarat Muslim.”
Pada riwayat yang lain, “Bahwa wasiat Rasulullah ﷺ kepadaku untuk mengangkat muazin yang tidak mengambil upah dari tugas azannya tersebut.” Hadis riwayat Ibnu Majah dan Tirmiżī yang menyatakan hadisnya hasan.
Kosa kata hadis:
- Abū ‘Abdillāh ‘Uṡmān bin Abī al-‘Aṣ; nama lengkap beliau adalah ‘Uṡmān bin Bisyr bin ‘Abdi Dahmān bin ‘Abdi Hammam bin Abān.
Beliau pernah bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ dalam rombongan utusan Ṡaqīf, kemudian beliau diangkat oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai imam mereka sekembalinya ke kampung halaman. Abū Bakar dan ‘Umar juga memutuskan hal yang serupa pada masa pemerintahan keduanya.
Beliau meriwayatkan sembilan hadis dari Nabi ﷺ, diantaranya ada dalam Ṣaḥīḥ Muslim, Tirmiżī, Abū Dāwud, al-Nasā’ī, dan Ibnu Majah.[1]
- “Perhatikan orang yang paling lemah (fisiknya) di antara mereka”, maksud sabda beliau ini adalah bahwa ketika salat berjemaah, panjangnya salat agar memperhatikan orang yang lemah di antara Golongan lemah maksudnya adalah orang yang lanjut usia dan anak-anak.[2]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Mengambil upah untuk tugas mengumandangkan azan hukumnya makruh menurut kebanyakan ulama.
Imam Mālik bin Anas menyatakan bahwa hal tersebut tidak mengapa dan beliau memberi rukhsah mengambil upah untuk tugas azan.
Al-Auza’i juga menyatakan bahwa hal tersebut makruh hukumnya, namun tidak mengapa jika dalam bentuk al-ju’lu (pemberian uang atau harta bagi orang yang telah selesai melaksanakan suatu pekerjaan, tanpa menentukan siapa yang akan melakukannya).[3]
- Ulama mengiaskan tugas azan dengan upah pelaksanaan haji (untuk orang yang yang sudah meninggal misalnya), mengajarkan ilmu agama, imamah, hal tersebut sama hukumnya.
Ulama mutaakhirin kemudian memandang dan membolehkan mengambil upah untuk tugas dan pekerjaan yang telah disebutkan karena kebutuhan dan hajat manusia terhadap tugas-tugas tersebut, adanya fenomena kemunduran dalam urusan agama dan orang-orang mulai malas melakukan amal iḥtisāb sehingga fatwanya adalah membolehkan mengambil upah untuk hal tersebut.[4]
Footnote:
[1] Badruddīn al-‘Ainī. Syaraḥ Sunan Abī Dāwud. Jilid 2, hlm. 345.
[2] Ibid. Jilid 2, hlm. 497.
[3] Al-Nawawī dan al-Subkī. Al- Majmū’ Syarḥ al-Muhażżab. Jilid 15, hlm. 113.
[4] Badruddīn al-‘Ainī. Syaraḥ Sunan Abī Dāwud. Jilid 2, hlm. 498.