TAṠWĪB DALAM AZAN SUBUH

49
Taṡwīb Dalam Azan Subuh
Perkiraan waktu baca: 3 menit

Daftar Isi:

وَعَن مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ إِذَا قَالَ الْمُؤَذّنُ فِي أَذَانِ الْفجْرِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَالَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّومِ. رَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ فِي (صَحِيحِهِ)، وَالدَّارَقُطْنِيُّ

Artinya:

Muḥammad bin Sīrīn meriwayatkan dari Anas raḍiyallāhu ‘anhu bahwa dia berkata, “Termasuk sunah adalah ketika seorang muazin mengucapkan AYYA ‘ALAL FALĀ pada azan (salat) Fajar, dia (muazin) menambahkan AṢ-ṢALĀTU KHAIRUN MINANNAUM (salat lebih baik dari tidur).” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Dāraquṭnī.[1]

Kosa kata hadis:

  1. Kalimat ‘termasuk sunah’ dalam hadis tersebut, jika diucapkan oleh sahabat Nabi Muhammad ﷺ dalam hal ini adalah Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu maka yang dimaksud adalah sunah Nabi Muhammad r dan dihukumi sebagai hadis marfuk menurut pendapat yang lebih sahih dalam mazhab ulama hadis.[2]
  2. Taṡwīb umumnya dipahami maksudnya adalah lafaz “AṢ-ṢALĀTU KHAIRUN MINANNAUM (salat lebih baik dari tidur)”; hal itu benar adanya.

Namun makna yang lebih luas dari taṡwīb adalah pemberitahuan sesuatu dan peringatan bahwa hal tersebut akan terjadi.

Dalam riwayat yang lain, taṡwīb juga bermakna atau sinomim dari iqamat karena ia adalah peringatan dan pemberitahuan bahwa salat akan segera dilaksanakan.[3]

Makna hadis:

Muḥammad bin Sīrīn meriwayatkan dari Anas raḍiyallāhu ‘anhu bahwa sunah yang ditetapkan oleh Nabi Muḥammad ﷺ dalam kaifiah azan, ketika seorang muazin mengucapkan “AYYA ‘ALAL FALĀḤ” pada azan (salat) Fajar, dia (muazin) menambahkan “AṢ-ṢALĀTU KHAIRUN MINANNAUM (salat lebih baik dari tidur)”.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis tersebut menjadi dalil dan hujah disyariatkannya taṡwīb ketika azan Subuh.
  2. Taṡwīb hanya dikhususkan untuk salat Subuh, demikian kesepakatan ulama.[4]
  3. Tambahan lafaz lainnya ketika azan atau setelah kalimat azan selesai dikumandangkan juga ada dan valid dari sunah Rasulullah ﷺ, antara lain:
Baca juga:  SYARAT TEMPAT DAN IZIN PENGUASA (SYARAT-SYARAT WAJIB PELAKSANAAN SALAT JUMAT – BAGIAN KETIGA)

أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

’ALĀ ṢALLŪ FĪ RIĀLIKUM (salatlah di tempat (persinggahan) kalian).”[5]

Dalam redaksi lengkap hadis tersebut dijelaskan bahwa peristiwa itu terjadi dan dilakukan ketika Nabi ﷺ dan para sahabat sedang dalam safar dan cuaca yang dingin serta turunnya hujan. Sedangkan lafaz lainnya,

صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ

 “ṢALLŪ FĪ BUYŪTIKUM (salatlah di rumah kalian).”[6]

‘Abdullāh bin ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhuma memerintahkan kepada muazin beliau untuk mengucapkan lafaz tersebut ketika lafaz syahadatain selesai diucapkan, sebelum kemudian muazin melanjutkan azannya dengan lafaz, “AYYA ‘ALAṢ-ṢALAH”.

Praktik hal tersebut beliau sandarkan kepada Rasulullah ﷺ, sehingga beliau memberikan rukhsah untuk orang-orang tidak perlu keluar rumah melaksanakan salat Jumat padahal cuaca hujan dan tanah telah menjadi becek dan berlumpur.

Berlandaskan kedua hadis tersebut ulama Islam menegaskan rukhsah dalam pelaksanaan salat berjamaah dan salat Jumat dalam kondisi seperti itu. Demikian pula bagi orang-orang yang memiliki uzur yang benar-benar nyata dan jelas lainnya.

Jika kondisi tersebut bagi seseorang tidak menjadi uzur dan dia memaksakan dirinya untuk menempuh kesulitan yang ada maka hal tersebut juga sah secara syariat. Karena dalam lafaz dari redaksi hadis lainnya Nabi Muhammad r memberi pilihan itu.[7]

Contoh lainnya yang merupakan uzur syar’i sehingga boleh mempraktikkan sunah tersebut dan mengambil rukhsah untuk tidak menghadiri salat Jumat dan salat berjamaah adalah ketika wabah penyakit sedang merebak. Seperti wabah Covid-19 yang telah menjadi pandemi, melanda, dan menjangkiti jutaan manusia di seluruh dunia. Merenggut ratusan ribu nyawa di hampir semua negara di dunia pada tahun 1441 Hijriah.

Para pakar kesehatan memberikan rekomendasi kuat untuk menjaga jarak dalam interaksi sosial (social distancing) dan menjaga jarak secara fisik antara manusia (physical distancing), sehingga ulama kemudian mengeluarkan fatwa untuk menambahkan lafaz tersebut ketika azan dan memberikan rukhsah terhadap ibadah yang bersifat jamaah dan berkumpulnya orang-orang dalam jumlah yang besar.

Baca juga:  MEMBELAKANGI KIBLAT KETIKA BUANG HAJAT JIKA DI DALAM BANGUNAN

Semoga Allah Ta’ālā mengangkat wabah dan penyakit yang melanda negeri-negeri kaum Muslim dan Allah Ta’ālā Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

 


Footnote:

[1] H.R. Ibnu Khuzaimah (386) dan Dāraquṭnī (1/243).

[2] ‘Uṡmān bin ‘Abdurraḥmān; Abū ‘Amru Ibnu Ṣalāḥ (w.643 H). Ma’rifatu Anwā’i ‘Ulūmil ḥadī. Darul Fikr, Beirut. Hlm. 50.

[3] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 155.

[4] Ibnu Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 2 , hlm. 236.

[5] H.R. Al-Bukhārī (632) dan Muslim (697) dari Ibnu ‘Umar t.

[6] H.R. Al- Bukhārī (901) dan Muslim (699) dari Ibnu ‘Abbās t.

[7] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 207.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments