وَعَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ هَذَا الْأَذَانَ: ((اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله))، ثُمَّ يَعُودُ فَيَقُولُ: ((أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مرَّتَيْنِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ مرَّتَيْنِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ مَرَّتَيْنِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ مَرَّتَيْن)) زَادَ إِسْحَاقُ: ((اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا الله)). كَذَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
وَقَدْ رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ مَاجَه، وَالنَّسَائِيُّ وَذَكَرُوا التَّكْبِيرَ فِي أَوَّلِهِ أَرْبَعاً، وَفِي رِوَايَةِ أَحْمَدَ: وَالْإِقَامَةُ مَثْنَى مَثْنَى: لَا يُرْجِّعُ، وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً، وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً. وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيٍحٌ.
Artinya:
Dari Abū Mahżūrah radhiyallāhu‘anhu, bahwa Nabiyullāh ﷺ mengajarkannya lafaz azan berikut, “ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH, ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH, ASYHADU ANNA MUḤAMMADAR RASŪLULLĀH, ASYHADU ANNA MUḤAMMADAR RASŪLULLĀH”, kemudian kembali lagi mengucapkan, “ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH (dua kali), ASYHADU ANNA MUḤAMMADAR RASŪLULLĀH, ḤAYYA ‘ALAS ṢALĀH, ḤAYYA ‘ALAL FALĀḤ ḤAYYA ‘ALAL FALĀḤ, ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, LĀ ILĀHA ILLA ALLĀH.” Demikian lafaz riwayat Muslim.
Imam Aḥmad, Abū Dāwud, Ibnu Mājah, al-Nasā’i meriwayatkan (lafaz) takbir pada permulaannya sebanyak empat, dan pada riwayat Aḥmad: iqamat maṡna-maṡna (dua kali-dua kali), dan tidak melakukan tarjī’ (mengulang syahadatain; yang kedua dengan suara yang lebih tinggi setelah sebelumnya agak rendah). Tirmiżī meriwayatkan bahwa “Nabi ﷺ mengajarkannya azan dengan sembilan belas kata dan iqamat dengan tujuh belas kata.” Kemudian dia berkata, “Hadis ini hasan sahih.”[1]
Kosa kata hadis:
-
- Abū Mahżūrah radhiyallāhu‘anhu; nama beliau adalah Samūrah atau riwayat lain menyebutkan Aus dan Jabir.
Abū Mahżūrah radhiyallāhu‘anhu adalah seorang sahabat yang memiliki garis keturunan Quraisy. Beliau masuk Islam setelah peristiwa perang Hunain, dia memiliki suara yang indah. Beliau bermukim di Makkah dan wafat di sana pada tahun 59 atau 77 hijriah. Anak keturunannya juga mewarisi dan melaksanakan tanggung jawab azan di Masjidilharam Makkah setelah Abū Mahżūrah radhiyallāhu‘anhu wafat.
-
- Al-Tarjī’dalam azan maksudnya adalah sebagaimana tata cara azan yang diriwayatkan Abū Mahżūrah radhiyallāhu‘anhu tersebut; mengulang kalimat syahadatain setelah pertama diucapkan dengan sempurna dengan suara yang tidak keras, namun pada sangat pengulangannya diucapkan dengan suara lebih keras dari yang pertama.
- Pada hadis riwayat Muslim tersebut kata. “ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR” sebanyak dua kali saja. Namun ternyata di sebagian nuskhah kitab Ṣaḥīḥ Muslim tercantum empat kali.[2]
- ḤAYYA ‘ALAS ṢALĀH maknanya adalah marilah (ajakan) untuk melaksanakan ibadah shalat.
- ḤAYYA ‘ALAL FALĀḤ maknanya adalah marilah (ajakan) untuk kemenangan atau keselamatan. Dapat juga bermakna ajakan untuk melaksanakan sebab yang menjadikan kekekalan menjadi penghuni surga. Lafaz tersebut juga sering diistilahkan oleh ulama lugah seperti Imam Abū Manṣūr al-Azharī sebagai al-ḥay’alah (الْحَيْعَلَةُ). [3]
Faedah dan istinbat dari hadis:
-
- Hadis tersebut adalah hujah yang kuat atas pendapat mazhab Malik, al-Syāfi’ī dan Aḥmad serta jumhur ulama bahwa al-tarjī’ dalam azan adalah perkara yang disyariatkan.
- Sedangkan mazhab Abū Ḥanīfah dan ulama Kufah lainnya menegaskan bahwa al-tarjī’ tidak disyariatkan, berlandaskan hadis sebelumnya yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih radhiyallāhu‘anhu.
Al-Nawawī menegaskan bahwa hadis Abū Mahżūrah t dipastikan riwayatnya pada tahun kedelapan hijrah setelah peristiwa perang Hunain, sedangkan hadis ‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih radhiyallāhu‘anhu ketika periode awal.
-
- Dalam mazhab al-Syāfi’ī sendiri yang menjadi pilihan adalah bahwa al-tarjī’ bukan rukun azan, ia hanya sunah pada saat mengumandangkan azan. Seandainya tidak dilakukan, azannya tetap sah, namun ada fadilah yang terlewatkan.[4]
Footnote:
[1] H.R. Muslim (379), Aḥmad (15376), Abū Dāwud (503), Tirmiżī (192), Ibnu Mājah (708) dan al-Nasā’ī (2/5-6).
[2] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 80.
[3] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 82.
[4] Ibid. Hlm. 80.