15 Faedah Terkait Bulan Zulkaidah[1]
Daftar Isi:
Mukadimah
Puji dan Syukur bagi Allah ﷻ, selawat dan salam tercurahkan kepada baginda Rasulullah ﷺ. Amma ba’du. Berikut ini adalah rangkuman seputar Bulan Zulkaidah. Kami berdoa kepada Allah ﷻ agar menjadikan materi-materi ini bermanfaat dan memberikan ganjaran kebaikan kepada setiap yang berpartisipasi dalam penyiapan dan penyebarannya.
Faedah Pertama: Bulan Zulkaidah adalah bulan kesebelas di antara bulan-bulan penanggalan hijriah.
Dinamakan demikian sebab masyarakat (Arab) dahulu yaq’udūn (duduk/menahan diri) dari pertempuran, penyerangan, dan peperangan sebab ia merupakan salah satu bulan haram dan mereka bersiap-siap di bulan tersebut untuk melaksanakan haji.[2]
Faedah Kedua: Bulan Zulkaidah merupakan salah satu dari empat bulan haram.
Tiga bulan haram terletak berturut-turut yaitu Zulkaidah (bulan haram pertama), Zulhijah, dan Muharam, kemudian yang terpisah bulan Rajab, sebagaimana firman Allah,
﴿إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًۭا فِى كِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌۭ﴾
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (Q.S. al-Taubah: 36)
Dalam hadis disebutkan,
«إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدَةِ، وَذُو الحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى، وَشَعْبَانَ»[3]
Artinya: “Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Zulkaidah, Zulhijah dan Muharam, serta (yang terpisah) bulan Rajab yang diagungkan oleh Bani Muḍar yaitu antara Jumadilakhir dan Syakban.”
Faedah Ketiga: Bulan-bulan haram ini yang salah satunya adalah Zulkaidah adalah bulan yang agung di sisi Allah ﷻ, haram di dalamnya perbuatan zalim kepada diri sendiri yaitu dengan melakukan kemaksiatan dan melanggar larangan-larangan Allah.
Allah ﷻ berfirman,
﴿فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ﴾
Artinya:“Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya” (Q.S. al-Taubah: 36)
Yakni, jangan menzalimi diri kalian sendiri di dalam bulan-bulan haram tersebut sebab hal tersebut lebih besar dosanya dari perbuatan dosa di bulan lain. Kezaliman dan dosa, meskipun seluruhnya terlarang termasuk di bulan-bulan lain, namun ia lebih diharamkan lagi di dalam bulan-bulan haram disebabkan keagungan dan kehormatannya di sisi Allah ﷻ.
Qatādah raḥimahullāh berkata, “Sesungguhnya kezaliman di bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman di selainnya, meskipun kezaliman dalam keadaan apapun adalah sesuatu yang besar, akan tetapi Allah ﷻ mengagungkan perkara sesuai kehendak-Nya.”
Faedah Keempat: Orang-orang Arab jahiliah menghormati negeri dan bulan-bulan haram dengan penghormatan yang tinggi.
Di antara bentuk penghormatan mereka adalah mereka tidak menakut-nakuti orang lain, tidak menuntut darah atau pembalasan dendam hingga seseorang di bulan-bulan haram atau di al-bait al-harām (wilayah haram Makkah), melihat orang yang telah membunuh ayah, anak, atau saudaranya tetapi ia tidak membalas dendam kepadanya, tidak pula mengganggu atau menyentuhnya.[4]
Faedah Kelima: Seorang muslim wajib memuliakan bulan-bulan haram.
Caranya adalah dengan menghormati larangan-larangan Allah ﷻ di dalamnya, menegakkan hal-hal fardu, melaksanakan hal-hal wajib, bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan ibadah dengan cara yang Dia ridai, menjauhi perbuatan zalim terhadap diri sendiri dengan menerobos larangan-larangan Allah ﷻ, menerjang hal-hal yang Dia murkai, dan melampaui batasan-batasan-Nya, secara khusus di bulan-bulan haram tersebut dan secara umum di seluruh bulan.
Faedah Keenam: Bulan Zulkaidah adalah salah satu bulan haji
Allah ﷻ berfirman,
﴿ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌۭ مَّعْلُومَـٰت﴾
Artinya:“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui” (Q.S. al-Baqarah: 197)
Ibn ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā berkata, “Bulan-bulan haji adalah Syawal, Zulkaidah, dan sepuluh hari Zulhijah.”[5]
Faedah Ketujuh: Dianjurkan umrah di Bulan Zulkaidah dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ.
Rasulullah ﷺ berumrah empat kali dan seluruhnya beliau laksanakan di Bulan Zulkaidah, beliau setelah hijrah tidak pernah berumrah di selain Bulan Zulkaidah, yakni:
- Umrah dari al-Ḥudaibiyyah atau masa al-Ḥudaibiyyah di Bulan Zulkaidah tahun 6 H.
- Umrah pada tahun berikutnya di Bulan Zulkaidah tahun 7 H (umrah qada).
- Umrah dari Ji’rānah tempat beliau membagi ganimah Perang Hunain di Bulan Zulkaidah tahun 8 H (tahun Fath Makkah).
- Umrah dengan haji beliau ﷻ dan beliau telah berihram pada Zulhijah tahun 10 H sedangkan amal-amalan hajinya pada Bulan Zulhijah sebab Nabi ﷻ berhaji dengan haji qirān.[6]
Faedah Kedelapan: Umrah pada Bulan Zulkaidah lebih afdal dari umrah pada bulan lainnya selain pada Bulan Ramadan.[7]
Umrah di Bulan Ramadan paling besar pahalanya sebab Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda,
«عُمْرَةً في رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أوْ حَجَّةً مَعِي»[8]
Artinya: “Umrah di Bulan Ramadan seperti sebuah haji atau haji bersamaku.”
Diriwayatkan dari sejumlah salaf bahwa mereka mengutamakan umrah di Bulan Zulkaidah dan Syawal dibanding Ramadan, di antaranya ‘Umar dan ‘Ā’isyah raḍiyallahu’anhuma dan ‘Aṭā’ raḥimahullāh.[9]
Ibnu al-Qayyim bimbang di antara dua pendapat tersebut dan berkata, “Sesungguhnya Allah tidak mungkin memilih untuk Nabi-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dalam umrahnya kecuali waktu-waktu yang paling mulia dan yang paling layak. Umrah di bulan-bulan haji adalah sama dengan pelaksanaan haji di bulan-bulan haji. Bulan-bulan tersebut telah dikhususkan oleh Allah dengan ibadah ini (haji), menjadikannya sebagai waktunya, sedang umrah adalah haji kecil, maka waktu yang paling tepat untuk umrah adalah bulan-bulan haji, dan Zulkaidah adalah pertengahannya. Ini adalah di antara hal yang kami minta petunjuknya dari Allah.”[10] Oleh karena itu, bagaimana pun, dianjurkan umrah pada Bulan Zulkaidah.
Faedah Kesembilan: Dianjurkan berpuasa pada Bulan Zulkaidah tanpa meyakini pengkhususan hari-hari tertentu di dalamnya dengan fadilah tambahan.
Sebab, ia termasuk salah satu bulan haram dan bulan-bulan haram dianjurkan berpuasa di dalamnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadis,
«صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ»[11]
Artinya: “Berpuasalah pada sebagian hari di bulan haram dan tinggalkanlah (pada sebagian hari)!”
Puasa pada bulan haram telah diriwayatkan dari sebagian salaf, di antaranya Ibn ‘Umar raḍiyallāhu ’anhuma, al-Ḥasan al-Baṣrī, Sufyān al-Ṡaurī, dan hal ini adalah pendapat jumhur fukaha.[12]
Faedah Kesepuluh: Terjadi banyak peristiwa besar di Bulan Zulkaidah, di antaranya Allah membuat janji dengan Nabi Musa n
Hal ini sebagaimana firman-Nya,
﴿وَوَٰعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَـٰثِينَ لَيْلَةًۭ وَأَتْمَمْنَـٰهَا بِعَشْرٍۢ فَتَمَّ مِيقَـٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً﴾
Artinya: “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi).” (Q.S. al-A’rāf: 142)
Kebanyakan mufasir berpendapat bahwa tiga puluh hari yang dimaksud adalah Bulan Zulkaidah, sedang sepuluh hari berikutnya adalah sepuluh hari Zulhijah. Hal ini sebagaimana penuturan Mujāhid, Masrūq, Ibnu Juraij, serta diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās. Dengan demikian sempurnalah perhitungan (40 hari) pada hari kurban. Pada saat itulah Allah berbicara dengan Nabi Musa n.[13]
Faedah Kesebelas: Perang Badar yang disepakati (Perang Badar Ṣugra) pada tahun 4 H di Bulan Zulkaidah.
Saat itu Abū Sufyān menjanjikan kepada kaum muslimin setelah Perang Uḥud untuk berperang lagi setahun setelah itu. Akan tetapi ia tidak datang sebagaimana janji tersebut.[14]
Faedah Kedua Belas: Rasulullah menikahi sepupunya (anak dari saudari bapaknya) Zainab binti Jaḥsy raḍiyallahu ’anhā pada tahun 4 H Bulan Zulkaidah.
Pada saat itulah turun ayat tentang hijab.[15]
Faedah Ketiga Belas: Perang Khandaq (Aḥzāb) terjadi pada tahun 5 H di Bulan Zulkaidah.
Adapula yang menyebutnya terjadi pada Bulan Syawal.[16]
Faedah Keempat Belas: Perang Bani Quraiẓah pada tahun 5 H di Bulan Zulkaidah.
Adapula yang berpendapat Bulan Syawal.[17]
Faedah Kelima Belas: Perjanjian Ḥudaibiyyah pada tahun 6 H di Bulan Zulkaidah.[18]
Allah telah menyebut sebagai perjanjian ini dengan fatḥ mubīn (kemenangan yang nyata). Hal ini sebagaimana perkataan dari Anas raḍiyallahu ’anhu berkenaan dengan firman Allah,
﴿إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًۭا مُّبِينًۭا﴾
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Q.S. al-Fatḥ: 1)
Beliau berkata, “al-Ḥudaibiyyah”[19] dan itu adalah pendapat kebanyakan ahli tafsir.[20]
Kita bermohon kepada Allah ta’ālā agar memberikan taufik kepada kita semua dalam memanfaatkan bulan dan seluruh bulan yang ada dalam ketaatan kepada-Nya. Walḥamdulillāh Rabb al-‘ālamīn.
Footnote:
[1] Tulisan ini disadur dan diterjemahkan dari situs resmi Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid hafiẓahullāh: https://almunajjid.com/books/lessons/120 dan juga telah dicetak dalam format e-sebuah buku oleh Zad Group.
[2] Lihat: Lisān al-‘Arab (3/357) dan Tafsīr Ibn Kaṡīr (4/147).
[3] H.R. al-Bukhāri (3197) dan Muslim (1679).
[4] Lihat: Tafsīr al-Ṭabari (2/521 dan 11/440) dan Tafsīr al-Qurṭubi (6/326).
[5] H.R. al-Bukhāri secara mu’allaq dalam Ṣaḥīḥ-nya (2/141) dengan ṣīgah al-jazm.
[6] Lihat: Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, no. 1778, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 1253, Syarḥ al-Nawawi ‘ala Muslim (8/235), dan Tafsīr Ibn Kaṡīr (1/531).
[7] Lihat: Majmū’ Fatāwa al-Syaikh Ibn Bāz (17/431).
[8] H.R. al-Bukhāri, no. 1863 dan Muslim, no. 1256.
[9] Lihat: Laṭāif al-Ma’ārif karya Ibn Rajab, h. 259.
[10] Zād al-Ma’ād (2/91) dengan sedikit perubahan.
[11] H.R. Abu Dāwūd, no. 2428, didaifkan oleh al-Albāni.
[12] Lihat: Laṭāif al-Ma’ārif, h. 119 dan al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah (28/95).
[13] Lihat: Tafsīr al-Ṭabari (10/414) dan Tafṡīr Ibn Kaṡīr (3/468).
[14] Al-Magāzi karya al-Wāqidi.
[15] Lihat: al-Isyārah ila Sīrah al-Muṣṭafa karya al-Mugulṭai, h. 252 dan al-Mukhtaṣar al-Kabīr fi Sīrah al-Rasūl karya Ibn Jamā’ah, h. 98.
[16] Lihat: ‘Uyūn al-Aṡar karya Ibn Sayyid al-Nās (2/83) dan al-Isyārah karya al-Mugluṭāi, h. 259.
[17] Lihat: al-Magāzi karya al-Wāqidi (2/496) , al-Sīrah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyām (2/279), dan al-Bidāyah wa al-Nihāyah karya Ibn Kaṡīr (8/10).
[18] Lihat: al-Sīrah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyām (2/308)
[19] H.R. al-Bukhāri, no. 4834.
[20] Lihat: Tafsīr al-Bagawi (7/296) dan Tafsīr Ibn Kaṡīr (7/325).