عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَال: إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ. حديث حسن رواه ابن ماجه والبيهقي وغيرهما
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengampuni kesalahan dari umatku akibat kekeliruan, lupa, dan keterpaksaan.” (Hadis hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Baihaqi serta selain keduanya)[1]
Hadis ini memuat perkara yang begitu agung, tampak dari isi hadis ini betapa besar kasih sayang dan rahmat Allah kepada umat ini. Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا
Artinya, “(Mereka berdoa,) ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah…” (QS. al-Baqarah: 286)
Di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan bahwa Allah mengatakan,
قَدْ فَعَلْتُ
“Aku telah melakukannya.” Maksudnya ialah Allah telah mengabulkan permintaan tersebut.[2]
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya, “Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab: 5)
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya, “Siapa yang kufur kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa (mengucapkan kalimat kekufuran), sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya (dia tidak berdosa). Akan tetapi, siapa yang berlapang dada untuk (menerima) kekufuran, niscaya kemurkaan Allah menimpanya dan bagi mereka ada azab yang besar.” (QS. al-Nahl: 106)
Imam al-Syafi’i mengatakan,
قَالَ اللهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ: { إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ } وَلِلْكُفْرِ أَحْكَامٌ فَلَمَّا وَضَعَ اللهُ عَنْهُ سَقَطَتْ أَحْكَامُ الْإِكْرَاهِ عَنِ الْقَوْلِ كُلِّهِ ؛ لِأَنَّ الْأَعْظَمَ إِذَا سَقَطَ عَنِ النَّاسِ سَقَطَ مَا هُوَ أَصْغَرُ مِنْهُ
“Allah berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa (mengucapkan kalimat kekufuran), sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya…,’ terdapat hukum-hukum terkait kekufuran. Ketika Allah menggugurkan (hukum/dosa) kekufuran, maka gugur pula semua hukum dari ucapan disebabkan karena keterpaksaan karena jika digugurkan hukum yang paling berat, yang lebih ringan pun gugur.[3]
Orang yang terpaksa memiliki dua keadaan:
- Orang yang terpaksa dan tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah terjadinya hal yang dipaksakan padanya, misalnya seseorang yang diikat lalu dilemparkan dari bangunan setinggi 3 meter ke atas orang yang sedang sakit. Orang sakit itu pun meninggal disebabkan dijatuhi oleh orang dilempar tersebut. Orang itu dalam keadaan ini adalah orang yang terpaksa dan tidak bisa berbuat apapun.
- Orang yang terpaksa namun keadaannya tidak seperti orang pertama, masih terdapat peluang untuk tidak melakukan hal yang dipaksakan pada dirinya seperti orang yang dipaksa untuk memukul orang lain, dipaksa menenggak miras, dan lain sebagainya. Dikatakan sebagai keadaan terpaksa apabila memenuhi tiga kriteria di bawah ini:
- Paksaan datang dengan ancaman dari orang yang mampu merealisasikan ancaman tersebut;
- Terdapat perkiraan besar bahwa ancaman tersebut benar-benar akan terjadi jika hal yang dipaksakan tidak dilakukan;
- Terdapat mudarat besar dari ancaman yang dijanjikan, seperti dibunuh, dipukul dengan keras, dan lain sebagainya.
Perlu diketahui bahwa tidak diperkenankan untuk membunuh, memotong bagian tubuh orang lain, zina, dan lain sebagainya walaupun dalam keadaan terpaksa menurut ijmak para ulama. Wallahualam.
Footnote:
[1] Hadis ini dipermasalahkan oleh para ulama hadis, di antaranya adalah Imam Ahmad, Abu Hatim Ar-Razi, dan Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Hadis ini memiliki syawahid, seperti hadis Abu Dzar (HR. Ibnu Majah 2043), Abu Bakrah (Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 2/150), ‘Uqbah bin ‘Amir (HR. Thabrani dalam al-Ausath 8276), dan Ibnu Umar (HR. Thabrani dalam al-Ausath 8274).
[2] Lihat: al-Hulal al-Bahiyah hal. 313.
[3] Sunan al-Baihaqi (7/356)