الْحَمْدُ لله الَّذِى فَرَضَ التَّوْبَةَ وَحرَّمَ الإصْرَارَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ كاَتِبُ الآثَارِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَفْوَةُ الأَخْيَارِ، صَلَّى الله وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ السَادَةِ الأَخْيَارِ. أَمَّا بَعْدُ
Hadis-hadis Nabi sallallahu alaihi wassallam sebagaimana diketahui jumlahnya cukup banyak. Mungkin terlintas dibenak seseorang atau timbul pertanyaan, kapan hadis-hadis Nabi mulai dituliskan secara sistematis? Atau kapan hadis-hadis Nabi tersebut dibukukan? Lalu siapa yang menulis dan membukukan hadis-hadis tersebut?
Tulisan ini dengan izin Allah berupaya mengungkap dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sebelum hadis-hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam dibukukan, maka yang lebih dahulu ditulis dan dibukukan adalah Al-Quran Al-Karim. Hal tersebut telah disepakati oleh para ulama bahwasanya Al-Quran telah ditulis secara rapi pada masa Nabi sallallahu alaihi wasallam masih hidup. Hal tersebut diketahui karena ada segolongan sahabat Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam yang disebutkan sebagai Kuttab Al-Wahyi atau para penulis wahyu. Jumlah mereka sekitar 40 orang merujuk kepada apa yang disebutkan oleh Imam Al-Iraqi dalam Alfiyah-nya.
Jika ada ayat Al-Quran yang turun maka Nabi sallallahu alaihi wasallam akan memerintahkan para sahabat yang bertugas sebagai penulis wahyu untuk menulis dan mencatat ayat Al-Quran tersebut, sehingga ketika Nabi sallallahu alaihi wasallam wafat Al-Quran telah dicatatkan dan dihafalkan di dada-dada para sahabat Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Adapun sunah atau hadis, maka berbeda halnya dengan Al-Quran. Pada masa hidupnya Nabi sallallahu alaihi wasallam sunah belum dituliskan secara rapi dan mendapatkan perhatian sebagaimana halnya Al-Quran. Belum ada perintah khusus dari Nabi untuk menuliskan dan mencatat hadis-hadis beliau. Bahkan pernah Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam melarang untuk menulis hadis beliau, hal ini disebutkan dalam hadis Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda,
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ القُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
“Janganlah kalian menulis dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain Al-Quran hendaknya dia menghapusnya.” (HR. Muslim)
Ulama mengatakan bahwa hadis tersebut turun pada awal-awal Islam dan larangan penulisan hadis dikarenakan kekhawatiran Nabi sallallahu alaihi wasallam Al-Quran bercampur dengan hadis-hadis beliau. Sebagaimana perkataan Imam Al-Baghawi dalam bukunya Syarhu As-Sunnah (1/294):
وَالنَّهْيُ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّماً ثُمَّ أَبَاحَهُ وَأَذِنَ فِيْهِ
“Larangan (menulis hadis) sepertinya terjadi pada awal-awalnya, kemudian beliau membolehkan dan mengizinkannya.”
Ketika para sahabat telah mengetahui dengan benar pola penulisan Al-Quran, cara penulisannya, dan cukup banyak di antara mereka yang menghafalkannya. Maka keraguan dan kekhawatiran bercampurnya Al-Quran dan hadis mulai tidak ada, ditambah lagi Nabi telah mengizinkan untuk menuliskan hadis bagi siapa saja yang menginginkannya.
Sebagaimana ketika Nabi memerintahkan seseorang untuk menuliskan khutbah beliau pada saat pembebasan kota Mekkah untuk Abu Syah yang berasal dari Yaman.
Setelah Nabi selesai berkhutbah Abu Syah berkata, “Tuliskanlah untukku (khutbahmu) wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,
اكْتُبُوا لِأَبِي شَاه
“Tuliskan untuk Abu Syah.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam kita Shahih Al-Bukhari, sahabat yang mulia Abu Hurairah beliau berkata:
مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ
“Tidak ada di antara sahabat Nabi sallallahu alaihi wasallam yang paling banyak hadisnya dariku kecuali Abdullah bin Amr karena sesungguhnya dahulu dia mencatat(nya), sedangkan saya tidak mencatat(nya).
Daftar Isi:
A. Metode para sahabat dalam meriwayatkan hadis
Setelah Nabi sallallahu alaihi wasallam wafat, para sahabat yang melanjutkan perjuangan beliau. Hal tersebut terbukti jelas dari perhatian para sahabat dalam menjaga sunah-sunah Nabi sallallahu alaihi wasallam. Puncaknya pada saat wafatnya Usman bin Affan. Munculnya fitnah dan para pendusta yang mengatasnamakan Nabi sallallahu alaihi wasallam. Di antara metode para sahabat menyampaikan riwayat antara lain:
1. Membatasi periwayatan dan menghindari banyak meriwayatkan hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Penyebab ditempuhnya jalan ini karena kekhawatiran mereka terjatuh pada kesalahan atau penambahan atau pengurangan dalam lafal hadis yang disampaikan, sehingga terjatuh dalam ancaman terhadap orang-orang yang dusta atas Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Sebab lainnya supaya tidak dijadikan pegangan atau landasan bagi para pendusta dan perusak sunah Nabi untuk mengubah dan membuat hadis-hadis palsu yang mirip dengan yang sudah ada.
Imam Muslim di dalam mukadimah Kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata, “Sesungguhnya hal yang mencegahku untuk menyampaikan hadis yang banyak kepada kalian adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam,
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang sengaja berdusta mengatasnamakanku, hendaknya dia mengambil tempatnya di dalam neraka.”
2. Memastikan kebenaran suatu riwayat
Metode ini dilakukan oleh para sahabat untuk menjaga sunah Nabi dengan memastikan kebenaran riwayat yang didengarkan dari sahabat yang lain. Salah satu contohnya yang terkenal apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat yang mulia Abu Said Al-Khudri tentang kejadian antara Abu Musa dan Umar bin Khattab. Abu Musa pernah meminta izin masuk bertemu Umar bin Khattab sebanyak 3 kali, karena belum mendapatkan izin beliau pulang. Hal tersebut sesuai dengan petunjuk Nabi dalam hadisnya.
Umar bin Khattab meminta kepada Abu Musa untuk mencari saksi, siapa di antara sahabat yang mendengarkan hadis tersebut. Lalu Ubay bin Ka’ab menawarkan diri untuk menyampaikan dan bersaksi kepada Umar bin Khattab bahwa benar Nabi sallallahu alaihi wasallam telah bersabda demikian.
3. Membatasi periwayatan yang bisa disalah pahami oleh orang awam.
Sebagai contoh adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata,
حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Sampaikanlah kepada orang-orang sesuai dengan apa yang dipahaminya, apakah engkau mau mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya.”
Pada akhirnya muncullah berbagai karya tulis dari para sahabat untuk menjaga hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam antara lain:
- Sahifah Abdullah bin Amr bin Ash yang beliau beri nama ash-shahifah ash-shadiqah, dan mungkin ini dapat dikatakan adalah buku pertama yang dituliskan untuk mengumpulkan hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam
- Sahifah Ali bin Abi Thalib yang tertulis di ganggang pedangnya
- Sahifah Saad bin Ubadah al-Anshari, Abdullah bin Abbas dan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu anhum jamian.
B. Era tabiin dan metode mereka menjaga sunah Nabi sallallahu alaihi wasallam
Setelah zaman sahabat berlalu maka beralihlah estafet perjuangan menjaga sunah ini di zaman tabiin. Para ulama tabiin sangat mengetahui tentang pentingnya kedudukan sunah Nabi dalam Islam sehingga mereka berusaha menjaga dan menghafalkannya. Di antara bentuk penjagaannya antara lain:
1. Rihlahnya mereka untuk mencari hadis
Sebagai contoh adalah rihlah seorang tabiin yang mulia; Said bin Musayyib dalam mencari hadis. Diriwayatkan oleh Imam Zuhri bahwa beliau safar selama 3 hari untuk mengambil 1 hadis saja.
2. Memastikan kebenaran riwayat yang diambil.
Para ulama dikalangan tabiin juga sangat memerhatikan tentang kebenaran riwayat yang diambilnya. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana mereka bertanya tentang kebenaran apa yang diambilnya. Di antara perkataan yang berkaitan dengan hal ini adalah perkataan oleh seorang tabiin Muhammad bin Sirin:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka hendaknya kalian memerhatikan dari mana kalian mengambil agama kalian”.
3. Bertanya tentang isnad
Para tabiin selalu bertanya tentang sanad hadis yang mereka ambil, sebagai bentuk kehati-hatian dan cara mereka memastikan kebenaran hadis. Berkata Imam Muhammad bin Sirin,
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dahulu mereka (para sahabat) belum bertanya tentang sanad, tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Perdengarkan kepada kami sanad kalian,’ lalu dilihat, jika dari kalangan Ahli sunah maka hadisnya diterima dan jika dari kalangan ahli bidah maka hadisnya ditolak.”
4. Tidak banyak meriwayatkan
Dahulu tabiin juga menempuh metode para sahabat dalam menjaga sunah ini yaitu dengan cara membatasi periwayatannya
Dari seorang tabiin Khalid al-Hadzdza’ pernah berkata:
كنا نأتي أبا قلابة فكان إذا حدثنا بثلاثة أحاديث، قال: قد أكثرت
“Dahulu kami mendatangi Abu Qilabah (untuk belajar hadis) dan jika beliau sudah menyampaikan tiga hadis maka beliau mengatakan, ‘Sudah banyak hadis yang aku sampaikan’.”
5. Semangat untuk menyampaikan hadis sesuai lafaznya
Bentuk penjagaan lain para tabiin terhadap sunah adalah semangat menyampaikan hadis dengan lafalnya dan menghindari menyampaikan hadis secara makna kecuali pada kondisi darurat.
Hal yang paling berharga dan juga merupakan warisan yang paling mahal ditinggalkan oleh para ulama sebagai bentuk perhatian dan penjagaan mereka terhadap sunah nabi adalah buku-buku karya. Contohnya adalah buku yang dituliskan oleh Hammam bin Munabbih. beliau mengumpulkan hadis-hadis dari Abu Hurairah radiyallahu anhu dan diberi nama Ash-Shahifah Ash-Shahihah.
Pada masa khilafah Umar bin Abdul Aziz, sekitar tahun 100 hijriah. Beliau menulis dan memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dan berkata:
…انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاكْتُبْهُ
“Periksalah dari apa yang ada pada hadis Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan tulislah…” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Hal yang serupa pernah diperintahkan kepada Imam Abu Bakar Ibn Syihab Az-Zuhri. Perintah untuk menuliskan hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam yang merupakan ijtihad pribadi beliau dikarenakan beberapa pandangan antara lain:
- Meninggalnya kebanyakan para sahabat Nabi dan kibar tabiin (tabiin senior) sehingga menimbulkan kekhawatiran hilangnya ilmu ini
- Lemahnya kekuatan hafalan disebabkan tersebarnya buku-buku para ulama di antara manusia
- Munculnya bidah dan para pendusta terhadap hadis-hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam sehingga mendorong para ulama untuk menulis sunah dan menjaganya lewat tulisannya.
Masa ini dikenal sebagai masa awal penulisan, pengumpulan, dan pembukuan sunah secara komprehensif dan lengkap. Karena masa sebelumnya ditulis oleh para sahabat dalam bentuk lembaran-lembaran atau sahifah.
C. Periode Tahun 300 Hijriah dan setelahnya
Pada sekitar tahun 300 hijriah para ulama semakin giat menulis buku-buku mereka. Sehingga dapat dikatakan pada masa tersebut adalah masa keemasan dalam penulisan sunah Nabi.
Pada era tahun 100 sampai 200 hijriah hanya tertulis bagian-bagian tertentu dari hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Pada tahun 300 hijriyah para ulama mulai menuliskan matan-matan hadis, kaidah-kaidah hadis, dan memperluas tulisan mereka dengan menulis tentang para rawi hadis atau lebih dikenal dengan ilmu rijal. Kemudian ada juga ilmu ilal dan fikih-fikih yang terkandung dalam hadis. Pada masa ini juga muncul buku-buku hadis seperti Ash-Shihah (buku yang hanya mencantumkan hadis-hadis sahih), As-Sunan (kitab yang mengumpulkan hadis-hadis berkaitan dengan hukum), dan juga Al-Jawami’ (kitab yang mengumpulkan hadis-hadis tertentu atau mengumpulkan beberapa kitab tertentu).
Pada masa inilah kita mengenal buku Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Ibnu Hibban dan seterusnya.
Hingga sampai sekarang ini, para ulama kita masih terus menulis dan mengembangkan pengetahuannya dalam menjaga hadis-hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam yang dituangkan dalam karya-karya mereka. Hampir dapat dikatakan, tidak ada cabang ilmu dalam agama Islam kecuali ada tulisan dan warisan buku ulama tentang hal tersebut.
Inilah bukti nyata bahwa Allah azza wajalla menjaga agama-Nya. Dengan menghadirkan para ulama yang menghabiskan waktu dan umurnya untuk berdakwah secara lisan maupun secara tulisan.
Semoga Allah merahmati para ulama kita dan semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan pahala di sisi-Nya. Semoga Allah memudahkan langkah-langkah kita dan membuka pikiran-pikiran kita sehingga kita juga dapat ikut andil mengambil estafet perjuangan para ulama dan juga estafet perjuangan dakwah Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Aamiin yaa rabbal aalaamiin. Wallahu ta’ala a’lam
Referensi :
Kitab Al-Madkhal fi Tarikh as-Sunnah Karya Prof. Dr. Hani Ahmad Faqih hafizhahullahu (Dosen dan Guru Besar Fakultas Hadis Syarif, Universitas Islam Madinah)
Alhamdulillah,dapat nambah ilmu,masya. Allah,tabarakallah
Syukron atas kunjungannya Akhi