67 FAEDAH TERKAIT KURBAN (BAGIAN KEDUA)

287
FAEDAH TERKAIT KURBAN BAGIAN KEDUA
Perkiraan waktu baca: 12 menit

67 MASALAH TERKAIT KURBAN(1) (BAGIAN KEDUA)

Masalah Ketiga Puluh Satu: Di antara syarat hewan kurban, harus selamat dari cacat yang menjadi penghalang diterimanya kurban tersebut. Berkurban adalah bentuk dari pendekatan diri seorang hamba kepada Rab-nya, sedangkan Allah azza wajalla itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Oleh karena itu, hendaknya hewan kurban itu baik dan selamat dari cacat.

Masalah Ketiga Puluh Dua: Disebutkan dalam hadis empat cacat yang menghalangi diterimanya kurban. Al-Barā’ bin ‘Āzib raḍiyallahu’anhuma berkata, Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam berdiri di tengah-tengah kami, kemudian bersabda,

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى

Artinya, “Tidak diperbolehkan dari hewan kurban: buta matanya sebelah yang jelas akan kebutaannya; yang sakit dengan penyakit yang jelas, yang pincang yang jelas kepincangannya, dan yang kurus seperti tidak bersum-sum.”(2)

Masalah Ketiga Puluh Tiga: Penyakit yang jelas, yaitu penyakit yang dampaknya kelihatan jelas terhadap hewan ternak, seperti demam yang membuatnya berdiam di kandangnya dan kehilangan nafsu makannya, penyakit kulit yang nampak serta merusak dagingnya dan mempengaruhi kesehatannya, serta luka yang dalam yang mempengaruhi kesehatan dan selainnya. Adapun penyakit ringan maka tidak berpengaruh seperti sedkit pincang atau agak kurus.

Masalah Ketiga Puluh Empat: Dikategorikan seperti keempat cacat ini jika sama atau bahkan lebih parah, maka tidak diperbolehkan untuk dijadikan hewan kurban, seperti:

  • Al‘umyā (Buta kedua matanya) karena ini lebih parah dibandingkan yang hanya buta satu matanya saja.
  • serta cacat atau penyakit yang dikhawatirkan bisa membuatnya mati meskipun ia belum mati, namun apa yang menimpanya jauh lebih besar dibandingkan penyakit yang jelas atau kepincangan yang jelas.
  • yang terpotong satu tangan atau kakinya, karena ini lebih parah dibandingkan dengan kepincangan yang jelas kepincangannya.

Masalah Ketiga Puluh Lima: Telinga, tanduk, ekor, dan bokong (pantat), jika hilang karena asli penciptaannya (hilang sejak lahir, pen.) maka dianggap boleh dan tidak dimakruhkan, kecuali domba yang dipotong bagian pantatnya karena ia adalah bentuk kekurangan yang tampak dari bagian yang dianggap penting.

Masalah Ketiga Puluh Enam: Dimakruhkan berkurban dengan hewan ternak yang tersobek telinganya atau disayat secara vertikal atau horizontal atau yang sebagian giginya copot atau yang tanduknya patah.  

Masalah Ketiga Puluh Tujuh: Diperbolehkan berkurban dengan hewan yang telah dikebiri. Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam pernah berkurban dengan dua ekor kambing yang telah dikebiri, dan daging hewan yang dikebiri menjadi lebih baik. Ibn Qudāmah berkata, “Kami tidak tahu akan adanya khilaf dalam perkara ini.”(3)

Sebagaimana Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam pernah berkurban dengan kambing jantan yang tidak dikebiri, diriwayatkan oleh para Imam kitab-kitab Sunan, dari jalur Abu Sa’īd raḍiyallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam pernah berkurban seekor kambing jantan bertanduk, sekitar matanya hitam, sekitar mulutnya hitam, dan kakinya hitam.”(4)

Masalah Ketiga Puluh Delapan: Penentuan hewan kurban terjadi dengan dua perkara: dengan perkataan, seperti jika ia berkata, “Ini hewan kurbanku” atau membelinya dengan niat dikurbankan.

Masalah Ketiga Puluh Sembilan: Beberapa konsekuensi hukum yang terjadi setelah menentukan hewan kurban;

  • Tidak diperbolehkan melakukan pemindahan hak milik, baik dengan dijual, dihibahkan, atau selainnya, karena akan berbentuk seperti nazar, kecuali jika ia menggantinya dengan yang lebih baik darinya, atau menjualnya untuk membeli yang lebih baik darinya.
  • Jika ia terkena cacat yang menghalanginya masuk sebagai kategori hewan kurban, maka wajib bagi pemiliknya untuk menggantinya dengan yang sehat dan setara dengannya, kecuali jika terkena cacat yang tidak disengaja atau bukan atas kelalaiannya, maka ia boleh menyembelihnya dan itu cukup baginya.
  • Jika hewan kurbannya hilang atau dicuri, maka ia wajib menggantikannya sesuai nilai hewan kurbannya, kecuali jika tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya maka ia tidak dituntut apa-apa.
  • Jika melahirkan, maka anaknya dihukumi seperti ibunya, ia disembelih bersama ibunya.

Masalah Keempat Puluh: Siapa saja yang berniat untuk berkurban kemudian ia membatalkan niatnya, maka tidak ada tuntutan baginya atas pembatalannya, kecuali jika ia telah menentukan hewan kurbannya, maka ia wajib menyembelihnya, dan tidak boleh keluar dari niatnya (membatalkannya) karena dengan penentuan tersebut, maka hewan itu sudah bukan miliknya dan harus dikurbankan.

Masalah Keempat Puluh Satu: Dianjurkan bagi yang berkurban untuk menyembelih hewan kurbannya sendiri jika ia dapat menyembelih dengan baik. Berkurban adalah ibadah dan pendekatan diri kepada Allah azza wajalla, maka dianjurkan bagi seorang hamba melakukannya secara langsung (tidak mewakilkan kepada yang lain, pen.) dan karena hal tersebut sejalan dengan apa yang telah dicontohkan Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam, maka kita telah memiliki Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam sebagai suri teladan dan contoh yang baik dalam hal ini.

Akan tetapi, jika sekiranya yang berkurban tidak mampu menyembelih dengan baik, maka ia mewakilkannya kepada seorang yang ahli dalam menyembelih untuk menyembelihkannya untuknya.

Masalah Keempat Puluh Dua: Boleh mewakilkan penyembelihan hewan kurban. Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam ketika haji wadak, beliau menyembelih 63 ekor unta dengan tangannya sendiri dan mewakilkan kepada Ali bin Abi Thalib raḍiyallahu’anhu agar menyembelih sisanya hingga genap jumlahnya 100 ekor.

Baca juga:  55 FAEDAH SEPUTAR ADAB-ADAB HARI RAYA DAN HUKUM-HUKUMNYA

Masalah Keempat Puluh Tiga: Lebih utama jika mewakilkan prosesi penyembelihan kepada laki-laki yang dikenal dengan ketakwaannya dan memiliki pengetahuan tentang penyembelihan dan hukum-hukumnya.

Al-Qarāfi berkata, “Dahulu manusia memilih orang-orang yang baik ilmu dan pengamalan agamanya untuk menyembelih hewan-hewan kurban mereka.”(5)

Sebagai sikap kehati-hatian, sebaiknya seorang muslim tidak mewakilkan hewan kurbannya untuk disembelih oleh ahli kitab.

Masalah Keempat Puluh Empat: Bagi yang ingin menyembelih, maka tidak diperkenankan baginya memotong rambutnya, kukunya, atau kulitnya sejak awal masuknya malam Zulhijah hingga ia selesai menyembelih kurbannya. Hal ini berdasarkan hadis Ummu Salamah raḍiyallahu’anha bahwa Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam bersabda, “Apabila telah masuk 10 hari (awal Zulhijah, pen.) dan di antara kalian ada yang ingin berkurban maka ia tidak boleh mengambil sedikitpun dari rambutnya dan kulitnya.” Dalam riwayat yang lain, “Maka janganlah seorang dari kalian mengambil sedikitpun dari rambutnya, juga dari kuku-kukunya, hingga ia selesai menyembelih.”(6)

Imam al-Nawawi berkata, “Adapun maksud dari pelarangan mengambil kuku dan rambut yaitu larangan menghilangkan kuku baik dengan menggunakan alat pemotong kuku atau mematahkannya atau dengan cara lain. Adapun maksud dari larangan menghilangkan rambut adalah dengan mencukur habis atau memotong pendek atau mencabut, atau membakarnya, atau mengambilnya dengan alat cukur atau selainnya. Hal ini berlaku pada semua jenis rambut, baik itu bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan dan rambut di kepala, serta rambut, atau bulu lain yang ada di badannya.(7)

Maka ia tidak diperbolehkan mengambil sedikitpun dari rambut, bulu, atau kukunya sebelum pelaksanaan salat Id, meskipun dengan niat berhias untuk salat, dan jika ia mengakhirkan penyembelihan setelah hari Id maka ia tetap menahan diri untuk tidak mengambil darinya (rambut, kuku, kulit, pen.) hingga selesai menyembelih.

Masalah Keempat Puluh Lima: Hukum ini dikhususkan bagi mereka yang berkurban, adapun keluarganya maka larangan tersebut tidak berlaku bagi mereka karena Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam pernah menyembelih mewakili keluarganya (beliau menyembelih untuk dirinya sendiri, pen.) tapi tidak terdapat riwayat bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri dari hal tersebut (memotong kuku dsb, pen.). Atas dasar ini, dibolehkan bagi keluarga yang berkurban untuk mengambil rambut, kuku, atau kulit mereka di sepuluh hari pertama Bulan Zulhijah.

Masalah Keempat Puluh Enam: Pelarangan ini khusus bagi mereka yang menyembelih atas nama dirinya sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis. Adapun yang menyembelih untuk orang lain dengan jalan wasiat atau perwakilan, maka tidak termasuk kategori orang yang dilarang itu.

Apa yang dilakukan oleh sebagian wanita dengan meminta saudaranya menyembelihkan hewan kurbannya atau meminta anaknya untuk menyembelihkan dengan maksud agar ia tidak termasuk terlarang dari mengambil sebagian rambutnya di sepuluh hari awal Zulhijah adalah perbuatan yang keliru karena hukum tersebut berhubungan dengan yang berkurban, baik dengan mewakilan kepada orang lain atau tidak.

Masalah Keempat Puluh Tujuh: Apabila yang ingin berkurban mengambil sebagian dari rambutnya atau kukunya, atau kulitnya, maka tidak ada tuntutan kafarat baginya, dan hal terebut tidak mencegahnya untuk tetap berkurban dan juga tidak membatalkan kurbannya, sebagaimana yang dipahami sebagian manusia, namun demikian ia seharusnya beristigfar.

Masalah Keempat Puluh Delapan: Jika sekiranya dia membutuhkan untuk mengambil sebagian darinya (rambut, kuku, kulit, pen.) maka ia boleh saja mengambilnya tanpa adanya tuntutan baginya, seperti ketika kukunya patah dan membuatnya merasakan sakit hingga harus memotongnya, atau rambutnya telah turun ke matanya kemudian ia memotongnya, atau ia harus memotongnya untuk mengobati sebuah luka atau selainnya. Demikian pula tidak mengapa baginya menyisir rambut, meskipun sebagiannya rontok jika hal itu tidak disengaja.

Masalah Keempat Puluh Sembilan: Di antara adab menyembelih: menggiring hewan kurban dengan cara yang baik tanpa memaksanya. Muhammad bin Sīrīn berkata, Umar bin al-Khaṭṭāb melihat seorang laki-laki menarik seekor kambing dengan menarik kakinya untuk disembelih, maka Umar berkata kepadanya, “Celakalah kamu! giringlah ia kepada kematian dengan cara yang baik!”(8)

Masalah Kelima Puluh: Menajamkan pisau sebelum menyembelih karena yang dituntut adalah menenangkan hewan kurban, karena ini adalah bentuk kebaikan yang disebutkan oleh Rasululllah ṣallallāhu‘alaihiwasallam (yang artinya), “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu, maka jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, hendaklah seorang di antara kalian jika ingin menyembelih untuk menajamkan pisaunya dan menenangkan hewan sembelihannya.”(9)

Tidak diperkenankan mengasah pisaunya di depan hewan yang ingin ia sembelih dan tidak menyembelih hewan ternak sementara hewan yang lainnya melihatnya, karena hal tersebut menafikan perintah berbuat baik.

Masalah Kelima Puluh Satu: Sebaiknya membaringkan kambing dan sapi ketika hendak disembelih. Jangan menyembelih hewan tersebut dalam keadaan berdiri atau berlutut akan tetapi dalam keadaan berbaring karena posisi itu jauh lebih lemah lembut terhadapnya.

Baca juga:  33 FAEDAH TERKAIT BULAN MUHARAM DAN HARI ASYURA (BAGIAN PERTAMA)

Dibaringkan dengan posisi bagian tubuhnya yang sebelah kiri di bawah karena itu lebih mudah dalam penyembelihan, dan pisau dipegang dengan tangan kanan, sedangkan kepalanya dipegang oleh tangan kiri.

Sebaliknya jika yang menyembelih adalah orang kidal, maka ia membaringkan hewan sembelihan di bagian tubuh kanannya dengan menghadapkannya ke arah kiblat, dan menyembelih dengan tangan kirinya, karena baginya hal itu jauh lebih terbiasa dan lebih terlatih dalam proses penyembelihan.

Adapun unta, maka sunahnya adalah dengan naḥr (ditusuk pada bagian lehernya) dalam keadaan berdiri dengan tiga penyangganya yaitu kedua tangannya dan kaki kanannya, sedangkan lulut (tangan) bagian kirinya diikat.

Masalah Kelima Puluh Dua: Disunahkan dalam setiap menyembelih hewan sembelihan agar penjagal menghadap ke arah kiblat dan menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat. Akan tetapi, untuk al-hadyu (sembelihan hewan haji tamattu’ atau qīrān) dan hewan kurban, maka hal ini lebih dianjurkan lagi. Hal ini berdasarkan riwayat yang datang dari sahabat Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma, berkata, “Hendaknya seorang di antara kalian yang ingin menyembelih memosisikan sembelihannya dengan dirinya di antara kiblat.”

Masalah Kelima Puluh Tiga: Menyembelih hewan kurban adalah ibadah, sedangkan ibadah ditentukan dengan niat.

Sebagaimana sabda Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niat-niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”(10)

Niat itu harus ada agar kita mampu membedakan antara ibadah dengan kebiasaan, seperti halnya berkurban. Sekadar membeli hewan kurban atau menyembelihnya pada waktunya maka telah dianggap dia berniat. Karena niat itu tempatnya di hati, lalu perbuatan-perbuatan menjadi buktinya.

Masalah Kelima Puluh Empat: Disyariatkan ketika menyembelih untuk mengucapkan basmalah, bertakbir dan berdoa, dengan mengucapkan,:

بِسْمِ اللهِ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah sesungguhnya ini dari-Mu dan untuk-Mu, Ya Allah terimalah kurbanku.”

Atau mengucapkan:

تَقَبَّلْهُ عَنْ فُلَانٍ

Artinya, “Terimalah kurban dari si fulan.”

Bacaan ini disebut jika hewan kurban atas nama orang lain.

Bacaan wajib dalam menyembelih adalah mengucapkan basmalah, adapun bacaan tambahannya maka ia sunah dan bukan wajib.

Masalah Kelima Puluh Lima: Tidak diperkenankan menjual daging kurban dan al-hadyu, juga tidak boleh menjual kulitnya, bulu kambing, bulu untaو dan rambutnya, karena apa yang telah dikeluarkan oleh seorang hamba karena Allah maka tidak boleh lagi mengambilnya kembali selama-lamanya, dan menjual sebagian dari hewan sembelihan termasuk bentuk pengambilan kembali itu.

Imam Aḥmad berkata, “Subhanallah, bagaimana mungkin ia menjualnya sedangkan ia telah mempersembahkannya kepada Allah tabāraka wata’āla.”

Masalah Kelima Puluh Enam: Adapun memanfaatkan kulitnya maka hal itu tidaklah mengapa dalam bentuk apapun atau dengan memberikan kepada badan sosial yang bertugas untuk menjualnya dan menyedekahkan hasilnya.

Masalah Kelima Puluh Tujuh: Tidak diperkenankan memberikan kepada penjagal sesuatu apapun dari hewan kurban sebagai upah atas pekerjaannya yang telah menyembelih dan menguliti. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan ‘Ali raḍiyallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam memerintahkanku menyembelih untanya, kemudian menyedekahkan daging, beserta kulitnya, dan penutup punggungnya serta tidak memberi penjagal sesuatu dari hewan kurban itu sebagai upah, kemudian beliau berkata:

نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا

Artinya, “Kami memberinya dari apa yang kami miliki.”(11)

Hal itu disebabkan karena hewan kurban telah dipersembahkan untuk Allah ta’āla, maka dengan beranggapan bahwa sebagian dari hewan kurban adalah upah untuk penjagal telah menyerupai jual-beli, maka ini termasuk kategori mengambil kembali sebagiannya (mengambil kembali apa yang telah dipersembahkan kepada Allah, pen.), maka hal ini tidak diperbolehkan.

Masalah Kelima Puluh Delapan: Jika sekiranya penjagal adalah orang yang kurang mampu atau temannya, maka tidak mengapa diberikan kepadanya sebagai sedekah atau sebagai hadiah tanpa adanya syarat yang mendahuluinya, karena kedudukan penjagal sama seperti orang lain, bahkan bisa saja ia lebih berhak, karena ia berpartisipasi langsung dan ia telah memiliki hasrat terhadapnya (daging kurban, pen.).

Masalah Kelima Puluh Sembilan: Disyariatkan bagi yang berkurban agar memakan dari apa yang ia kurbankan, menghadiahkan serta bersedekah dengannya,

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

 فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ

Artinya, “…Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Ḥaj [22]:28).

Dalam ayat yang lain, Allah subḥānahu wa ta’āla berfirman:

 فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya, “….Makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur. (QS. Al-Ḥaj [22]:36).

Al-qāni’ maknanya yang meminta dengan merendahkan diri, sedangkan al-mu’tarr yang sangat mengharapkan pemberian tanpa meminta.

Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ raḍiyallahu’anhu, bahwa Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam bersabda,

كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا وَادَّخِرُوْا

Baca juga:  44 FAEDAH TERKAIT SEPULUH HARI PERTAMA BULAN ZULHIJAH (BAGIAN PERTAMA)

Artinya, “Makanlah, berilah makan, serta simpanlah untuk nanti!”(12)

Masalah Keenam Puluh: Para ulama berbeda pendapat terhadap kadar hewan kurban yang dimakan, dihadiahkan dan disedekahkan.

Terdapat keluasan dalam perkara ini. Pendapat yang direkomendasikan: sepertiga untuk ia makan, sepertiga untuk ia hadiahkan, dan sepertiganya lagi untuk disedekahkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Mas’ūd dan Ibn ‘Umar. Abu Ja’far al-Naḥḥās berkata, “Mayoritas ulama -di antara mereka adalah Ibn Mas’ūd, Ibn ‘Umar, Aṭā’, al-Ṡauri, mereka menyukai bersedekah sepertiganya, memberi makan (hadiah) sepertiganya dan sepertiganya lagi mereka makan bersama keluarganya.”(13)

Apabila ia makan lebih dari sepertiga maka itu diperbolehkan.

Masalah Keenam Puluh Satu: Wakil dalam berkurban, jika yang mewakilkan kepadanya memberinya izin secara lisan atau berdasarkan kebiasaan yang ada untuk memakannya, menghadiahkan serta menyedekahkannya, maka boleh baginya. Tetapi, jika ia tidak mendapatkan izin maka ia harus menyerahkannya kepada orang yang mewakilkannya kepadanya.

Masalah Keenam Puluh Dua: Diwajibkan bersedekah dengan sesuatu dari daging kurban, baik itu sedikit ataupun banyak kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin. Adapun dalil yang mewajibkannya ialah, firman Allah ta’ala:

فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ

Artinya, “…Makanlah sebagian darinya (hewan kurban) dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Ḥaj [22]:28)

Masalah Keenam Puluh Tiga: Diperbolehkan memberi makan ahlu żimmah (orang-orang kafir merdeka yang hidup di dalam negara Islam dengan syarat tertentu, pen.) dari daging hewan kurban. Utamanya jika mereka adalah orang-orang fakir atau tetangga dari yang berkurban atau keluarganya, atau untuk meluluhkan hati mereka, berdasarkan keumuman firman Allah,

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِيْ الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Artinya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtaḥanah [60]: 8)

Masalah Keenam Puluh Empat: Telah disebutkan dalam beberapa hadis yang sahih bahwa di suatu tahun Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam melarang menyimpan daging kurban, kemudian beliau membolehkannya setelah itu. Artinya, bahwa pelarangan untuk menyimpan daging kurban telah dihapus, dan inilah yang dikatakan sebagian besar ulama.

Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ raḍiyallahu’anhu berkata Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam bersabda:

مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ

Artinya, “ Siapa saja di antara kalian yang berkurban maka janganlah ia menyimpannya hingga hari ketiga sesuatu dari daging itu di rumahnya.”

Kemudian, tatkala datang tahun berikutnya, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami melakukan hal yang sama seperti tahun lalu? Beliau menjawab,

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا، فَإِنَّ ذَلِكَ العَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ، فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا

Artinya, “Makanlah, berilah makan, simpanlah! karena sesungguhnya tahun lalu (aku melarang menyimpan) karena tahun tersebut tahun yang sulit bagi manusia, sehingga aku ingin kalian memberikan pertolongan di dalamnya.”(14)

Masalah Keenam Puluh Lima: Sejatinya pelaksanaan kurban itu dilakukan di tempat asal orang yang berkurban dan menyalurkannya di tempat domisilinya. Akan tetapi, diperbolehkan menyembelihnya atau menyalurkannya di luar daerahnya jika ada dorongan hajat atau maslahat yang bisa diterima. Seperti halnya jika hewan kurban sangat banyak di daerahnya dan sedikit orang-orang fakir, atau kaum muslimin di daerah lain lebih membutuhkan atau miskin.

Masalah Keenam Puluh Enam: Diperbolehkan bagi seseorang yang hidup jauh dari keluarga atau kampungnya (merantau atau nomaden, pen.) untuk mewakilkan pembelian hewan kurban dan penyembelihannya di kampung asalnya, kemudian menyalurkannya kepada kerabatnya dan penduduk yang membutuhkan yang ada di kampungnya.

Masalah Keenam Puluh Tujuh: Berkurban tidak cukup sebagai pengganti akikah. Masing-masing dari keduanya memiliki tujuan tersendiri, juga memiliki sebab berbeda dari selainnya, maka tidaklah salah-satu dari keduanya mampu menutupi kedudukan yang lainnya. Wallahualam.

Semoga Allah ta’ala senantiasa menerima ibadah-ibadah kita dan seluruh kaum muslimin, walamdu lillāhi rab alĀlamīn.

 

 


Footnote:

(1) Tulisan ini disadur dan diterjemahkan dari situs resmi Syekh Muḥammad Ṣāliḥ al-Munajjid hafiẓahullāhhttps://almunajjid.com/books/lessons/98 dan juga telah dicetak dalam format e-book oleh Zad Group.

(2) H.R. Abu Dāwūd (no. 2802), al-Tirmiżi (No. 1497) dan selain keduanya. Hadis ini dinyatakan sahih oleh al-Albāni.

(3) AlMugni (3/476).

(4) H.R. Abu Dāwūd, (no. 2796), al-Tirmiżi, (no. 1496) dan selain keduanya serta disahihkan oleh al-Albāni.

(5) Al-Żakhīrah (4/155).

(6) H.R. Muslim (no. 1977).

(7) Syar al-Nawawi ‘ala aḥīḥ Muslim (13/138).

(8) Muannaf Abdurrazzāq (no. 8605).

(9) H.R. Muslim (no. 1955).

(10) H.R. al-Bukhāri (no. 1) dan Muslim (no. 1907).

(11) H.R. Al-Bukhāri (no. 1716) dan Muslim (no. 1317).

(12) H.R.Al-Bukhāri (no. 5569).

(13) Al-Nāsikh wa al-Mansūkh (hal. 563).

(14) H.R. al-Bukhāri (no. 5569) dan Muslim (no. 1974).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments