TIPS SYUKUR NIKMAT

6820
TIPS SYUKUR NIKMAT
TIPS SYUKUR NIKMAT
Perkiraan waktu baca: 7 menit

Daftar Isi:

Redaksi Hadis:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم:((انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ)).

“Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lihatlah siapa yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, sebab yang demikian lebih patut agar kalian tidak memandang remeh nikmat Allah atas kalian.’”

Takhrij Hadis:

Redaksi hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (2963), dan hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (6490) dan Imam Muslim (2963) dengan redaksi,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

“Jika seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan darinya dari sisi harta dan (kesempurnaan) tubuh, maka hendaknya ia melihat kepada orang yang berada di bawahnya (dari sisi harta dan kesempurnaan tubuh).”

Profil Sahabat:

Namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausi, namun lebih populer dengan kuniyahnya Abu Hurairah,[1] berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika perang Khaibar, namun sejatinya beliau telah masuk Islam sebelum itu menurut sebagian ulama peneliti.[2] Beliau adalah “kader” dari Thufail bin Amr Ad-Dausi yang berasal dari kabilah Daus pula.[3] Sejak berhijrah inilah beliau konsentrasi untuk bertalaki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi beliau termasuk ahlus shuffah[4] sehingga memudahkan beliau untuk bermulazamah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Alhasil, beliau adalah sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat tahun 57 H.[5]

Penjelasan Hadis:

Dalam Bulughul Maram, Ibnu Hajar rahimahullah mencantumkan hadis ini dalam Bab Adab. Secara eksplisit beliau ingin menjelaskan terkait adab kepada sesama manusia, namun secara implisit hadis ini membahas terkait adab kepada dunia, oleh karena itu banyak di kalangan para ulama kita yang mencantumkan hadis ini di bab zuhud.[6] Bahkan jika ditelisik dengan seksama penggalan terakhir dari hadis ini, maka sejatinya hadis ini berisisan pula dengan adab kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Jadi hadis ini pembahasannya bisa mencakup tiga adab: adab kepada manusia, adab kepada dunia, dan adab kepada Allah subhanahu wata’ala.

  • Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ

“Lihatlah siapa yang berada di bawah kalian.”

Secara eksplisit hadis ini mutlak, maksudnya instruksi yang dikandung hadis ini umum yaitu untuk melihat kepada manusia yang levelnya berada di bawah kita dalam segala hal, namun jika dikomparasikan dengan redaksi hadis pada riwayat yang lain, maka maksudnya sangat gamblang yaitu instruksi untuk melihat orang yang lebih rendah levelnya dari sisi kehidupan dunia, yang mencakup sisi harta, jabatan, kemulian nasab, kesempurnaan tubuh, kesehatan dan lain sebagainya. Simaklah redaksi lain dari hadis ini,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

“Jika seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan darinya dari sisi harta dan (kesempurnaan) tubuh, maka hendaknya dia melihat kepada orang yang berada di bawahnya (dari sisi harta dan kesempurnaan tubuh).”

Baca juga:  HADIS KEDELAPAN BELAS: HUKUM PUASA BAGI ORANG SAKIT DAN MUSAFIR

Redaksi hadis ini mengandung solusi bagi orang yang “tergoda” hatinya dengan harta, jabatan, dan yang lainnya, dan mulai menyepelekan serta mengkufuri kenikmatan dunia yang telah dianugerahkan kepadanya, sebagai akibat dari mengumbar pandangan kepada orang yang lebih tinggi levelnya dari sisi kehidupan dunia. Maka hendaknya dia memalingkan pandangannya kepada orang yang fakir, pengangguran, dan orang yang cacat, maka niscaya hal tersebut dapat memangkas penyakit yang mulai menggerogoti hatinya tersebut, dan menjadikan dia lebih bersyukur atas kenikmatan yang Allah azza wajalla anugerahkan.

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan,

هَذَا حَدِيثٌ جَامِعٌ لِأَنْوَاعٍ مِنْ الْخَيْرِ: لِأَنَّ الْإِنْسَانَ إذَا رَأَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا طَلَبَتْ نَفْسُهُ مِثْلَ ذَلِكَ وَاسْتَصْغَرَ مَا عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَحَرَصَ عَلَى الِازْدِيَادِ لِيَلْحَقَ بِذَلِكَ أَوْ يُقَارِبَهُ هَذَا هُوَ الْمَوْجُودُ فِي غَالِبِ النَّاسِ، وَأَمَّا إذَا نَظَرَ فِي أُمُورِ الدُّنْيَا إلَى مَنْ هُوَ دُونَهُ فِيهَا ظَهَرَتْ لَهُ نِعْمَةُ اللَّهِ فَشَكَرَهَا وَتَوَاضَعَ وَفَعَلَ الْخَيْرَ  

“Hadis ini mencakup banyak sisi kebaikan, karena manusia jika melihat kepada orang yang lebih tinggi levelnya dari sisi dunia, maka jiwanya akan menuntut yang serupa dan mulai mengerdilkan kenikmatan yang Allah berikan kepadanya, kemudian bertekad untuk menambah hartanya agar dia dapat mengejar kekayaan orang tersebut atau minimal menyamainya. Inilah fenomena yang jamak terjadi pada mayoritas manusia. Adapun jika dia melihat kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari sisi dunia dan harta, akan terpampang di hadapannya kenikmatan Allah yang besar kepadanya, maka dia akan bersyukur atas kenikmatan itu, bersikap rendah hati, serta akan melakukan amalan-amalan kebaikan.”[7]

  • Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ

“Dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian.”

Penggalan hadis ini menegaskan perintah yang dikandung oleh penggalan hadis pertama di atas berupa perintah untuk “ghaddul bashar” dalam perkara kenikmatan dunia, karena penggalan ini melarang seseorang untuk melihat ke “atas”, yaitu melihat kepada orang yang berada di level yang lebih tinggi dari sisi harta, jabatan, dan yang sejenisnya. Pesan yang dikandung penggalan hadis ini sangat identik dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيه

“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu.” (QS. Thaha 131.)

Hadis ini memaparkan sisi lain dari “ghaddul bashar” (menjaga pandangan), jadi larangan “ghaddul bashar” bukan hanya pada lawan jenis semata, namun disyariatkan pula “ghaddul bashar” terhadap kemewahan dunia berupa harta dan jabatan dan lain sebagainya yang dimiliki orang lain.

Jika “melepaskan” pandangan kepada lawan jenis dapat membangkitkan syahwat yang terlarang, maka “melepaskan” pandangan kepada kemewahan dunia yang dimiliki orang lain, akan menumbuhkan benih-benih “syahwat” yang melampaui batas kepada kemewahan dunia, yang dapat membangkitkan penyakit hati berupa iri, dan dapat mewariskan panjang angan-angan yang tercela, sebab ia bercita-cita ingin memiliki kemewahan dunia yang Allah azza wajalla anugerahkan kepada orang lain, sehingga berpotensi untuk membangkitkan penyakit hasad (dengki) yang akut, dan dapat melalaikan seseorang dari kewajibannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman,

Baca juga:  DI ANTARA CIRI KUALITAS KEISLAMAN SESEORANG

قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Dan orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, ‘Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Karun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’” (QS. Al-Qashas 79).

  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Sebab yang demikian lebih patut agar kalian tidak memandang remeh nikmat Allah atas kalian.”

Penggalan hadis ini berisi ilah (motif hukum) perintah dan larangan yang dikandung oleh penggalan hadis sebelumnya, yaitu agar seorang hamba bersyukur atas segala kenikmatan yang Allah berikan kepadanya.

Di antara keunikannya, hadis yang pendek ini mengandung perintah, larangan, dan motif dari keduanya. Oleh karena itu, seyogyanya hadis ini dapat menjadi contoh yang sempurna bagi kaedah,

الأَمْرُ بِالشَّيْئِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ

“Instruksi untuk melaksanakan sesuatu, (berkonsekuensi) larangan untuk melakukan kebalikannya.”

Illah (motif hukum) ini pula yang mempertegas bahwa maksud dari instruksi dan larangan di atas adalah khusus  dalam perkara dunia, berupa kekayaan, jabatan, dan lain-lain, dan bukan dari sisi ilmu, kesalihan, dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Hadis di atas juga merupakan sampel komunikasi yang sempurna dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana tiga kalimat, mengandung tiga unsur berbeda: instruksi, larangan, dan penjelasan terkait motifnya.

Sebagimana di singgung di awal dari artikel ini, hadis ini mengandung tiga adab.

Pertama: Adab kepada manusia

Substansinya, jangan berinteraksi dengan manusia hanya berdasarkan keunggulannya dari sisi dunia saja, namun hendaknya banyak bergaul dengan manusia yang berada di level bawah dari sisi harta, jabatan, dan perkara dunia yang lainnya. 

Kedua: Adab kepada dunia

Substansinya adalah hendaknya seseorang berlaku proposional dalam berinteraksi dengan dunia beserta kemewahannya, jangan terlampau memandang tinggi terhadapnya sehingga menjadikannya puncak angan-angannya, sebab dalam perspektif Islam, tolak ukur kemuliaan bukanlah keunggulan dari sisi dunia.

Ketiga: Adab kepada Allah azza wajalla.

Substansinya, bersyukur dan rida atas segala nikmat yang dianugerah-Nya, dan jangan mengerdilkan pemberian-pemberianNya.

Fikih Hadis:

1- Hadis ini memaparkan tentang sikap yang proposional bagi seorang muslim, yaitu hendaknya melihat orang yang lebih rendah levelnya dari sisi dunia, baik itu dari sisi harta, rumah, jabatan, kendaraan, dan lain sebagainya. Sikap ini akan melahirkan dua hal positif:

  • Tidak meremehkan nikmat-nikmat Allah kepadanya, bahkan mensyukurinya dan meridainya.
  • Dapat menenangkan hatinya dan menjauhkannya dari penyakit-penyakit hati berupa hasad, panjang angan-angan, dan tamak.[8]

Dalam sebuah riwayat, ‘Aun bin Abdullah mengatakan,

صحبت الأغنياء فلم أر أحدا أكبر هما مني، أرى دابة خيرا من دابتي وثوبا خيرا من ثوبي، وصحبت الفقراء فاسترحت

“Saya bergaul dengan orang-orang kaya maka saya sangat gelisah, (sebab) saya melihat hewan tunggangan (yang dimiliki oleh orang kaya itu) lebih baik dari hewan tungganganku, dan juga melihat pakaian (yang dimiliki oleh orang kaya itu) lebih indah dibandingkan pakaianku, kemudian saya bergaul dengan orang-orang miskin, maka saya pun merasa tenang.”[9]

2- Hadis ini melarang untuk banyak bergaul dengan orang-orang kaya dan yang semisalnya, khususnya jika hal tersebut dapat menumbuhkan penyakit hati berupa hasad, tamak terhadap dunia dan lain sebagainya. Abdullah bin Syikhkhir meriwayatkan,

Baca juga:  KABAR BAIK BAGI PEMIMPIN ADIL & PERINGATAN BAGI PEMIMPIN ZALIM

أَقِلُّوا الدُّخُوْلَ عَلَى الأَغْنِيَاءِ فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله

“Minimalisirlah bergaul dengan orang-orang kaya, sebab yang demikian lebih patut bagi kalian untuk tidak mengerdilkan nikmat Allah.”[10]

3- Pandangan mata merupakan salah satu di antara panah-panah setan untuk merusak hati, sebab obyek yang dipandang dapat mencemari hati dengan penyakit syahwat dan syubhat.

4- Ketenangan seorang hamba tergantung kepada ketenangan hatinya, dan ketenangan hati tergantung kepada “adab” mata ketika memandang.

5- Hadis ini mengandung obat mujarab bagi penderita penyakit hati berupa iri, dengki, tamak dan yang sejenisnya,[11] yaitu dengan merealisasikan “ghaddul bashar” dalam kehidupan sosial, yaitu melihat orang-orang yang berada di level yang lebih rendah dari aspek materi, jabatan, kesempurnaan tubuh, kesehatan, dan lain sebagainya.

6- Anjuran untuk memperhatikan dan memetik pelajaran dari orang-orang yang berada sekitar kita, khususnya orang miskin, pengangguran, orang sakit dan lain sebagainya dari kalangan marjinal, untuk mempertajam kesyukuran dan keridaan kepada kenikmatan Allah, sekaligus untuk mengasah empati kepada sesama, sehingga mewariskan sifat kasih sayang di antara sesama dan menumbuhkan semangat saling tolong menolong yang dianjurkan oleh syariat Islam.[12]

7- Larangan “mengumbar” pandangan yang dikandung hadis di atas khusus dalam perkara dunia sebagaimana telah dipaparkan dengan gamblang, adapun dalam perkara agama dan kehidupan akhirat, dan lebih spesifik terkait masalah ilmu agama, keimanan, kesalihan, dan ketakwaan, maka dianjurkan bagi seorang muslim untuk melihat ke “atas”, yaitu sering melihat dan bergaul dengan orang-orang yang berada di level yang lebih tinggi, hal tersebut demi untuk memacu diri seorang muslim dalam menuntut ilmu syar’i dan meningkatkan keimanan dan ketakwaanya kepada Allah demi untuk memenuhi instruksi Allah subhanahu wa ta’ala yang tertuang dalam firmannya,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan demi meraih kenikmatan akhirat, maka hendaknya mereka berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffin: 26)

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوالِ نِعْمَتِكَ، وتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ، وفُجَاءةِ نِقْمَتِكَ ، وَجَميعِ سَخَطِكَ، آمين.

[1] Taqribut Tahdzib hal. 729, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyah.

[2] Di antaranya Ibnu Hajar sebagaimana di Fathul Bari (8/102), Dr. Musthafa As-Siba’i sebagaimana di As-Sunnah wa Makanatuha Fit Tasyri’ilIslami, hal. 359, dan Syekh Abdurrahman Al-Mu’allimi sebagaimana beliau jabarkan di bukunya Al-Anwar Al-Kasyifah, hal. 145.

[3] Lihat Fathul Bari (8/102).

[4] Orang yang tinggal di bagian belakang dari masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Fathul Bari (1/145).

[5] Taqribut Tahdzib hal. 729, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyah.

[6] . Lihat Shahih Muslim hal. 1281 cetakan Darus Salam Riyadh. Lihat Sunan Ibnu Majah hal. 682, namun hadis cantumkan dalam Bab Al-Qana’ah. Imam Ahmad dan Imam Waki’ bin Jarrah mencantumkan hadis ini dalam kitab Zuhud mereka.

[7] Sebagaimana dikutip oleh Imam An-Nawawi di dalam Al-Minhaj (18/97), dan Al-‘Iraqi di dalam Tharhut Tatsrib (8/145-146).

[8] https://saadalkhathlan.com/1167.

[9] Jami’ Tirmidzi, disebutkan setelah hadis nomor 1780.

[10] Fathul Bari (7/400).

[11] . Lihat Al-Ifshah karya Ibnu Hubairah )7/272) dengan tambahan dari penulis.

[12] . Modifikasi dari kitab Al-Mufhim karya Al-Qurthubi (7/116).

Subscribe
Notify of
guest
2 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Abdul Rochim

Alhamdulillah, bisa dapat tambahan mu lagi. Materinya bagus banget. Boleh ijin mengambil materi ini untuk berbagi (menjadi bahan) di media yg saya miliki. Tadz….
Jazakallah khair

Admin Markaz Sunnah

Alhamdulillah, tafaddhal, wa anta fajazakallahu khairan