SYARAT TEMPAT DAN IZIN PENGUASA (SYARAT-SYARAT WAJIB PELAKSANAAN SALAT JUMAT – BAGIAN KETIGA)

329
SYARAT TEMPAT DAN IZIN PENGUASA
SYARAT TEMPAT DAN IZIN PENGUASA
Perkiraan waktu baca: 5 menit

   Salat Jumat sebagaimana salat wajib yang lima waktu memiliki beberapa rukun dan syarat. Akan tetapi ada beberapa syarat wajib dan sah Salat Jumat yang lebih spesifik dan tidak terdapat pada salat wajib lima waktu.

   Para fukaha berbeda pendapat dalam beberapa syarat wajib dan sahnya Salat Jumat. Pada edisi sebelumnya kami telah sebutkan persyaratan jumlah minimal pelaksanaan Salat Jumat. Edisi ketiga kali ini yang merupakan edisi terakhir untuk pembahasan syarat-syarat wajib kami akan sebutkan dua syarat wajib yang diperselisihkan oleh para ulama yaitu tempat pelaksanaan Salat Jumat dan kehadiran atau izin dari pihak penguasa.

Daftar Isi:

Kesepuluh: Apakah harus di daerah perkotaan?

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ أَوَّلَ جُمُعَةٍ جُمِّعَتْ بَعْدَ جُمُعَةٍ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي مَسْجِدِ عَبْدِ القَيْسِ بِجُوَاثَى مِنَ البَحْرَيْنِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa dia berkata, “Sesungguhnya (Salat) Jumat yang pertama kali dilaksanakan setelah Salat Jumat di masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah di masjid Abdul Qais di kampung Juwatsa, wilayah Bahrain.” [H.R. Bukhari (no. 892)]

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Pentingnya belajar sejarah, termasuk mengenal tempat dan waktu yang pertama kalinya terjadi suatu peristiwa atau amalan. Sebagian ulama mengkhususkan karya tulis dalam membahas masalah ini yang dikenal dengan nama al-Awaail(1)
  2. Bahrain yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah wilayah tepi pantai Najd antara Qatar dan Kuwait yang dikenal dengan Hufuf atau al-Ahsa’ hingga akhir pemerintahan Turki Usmani kemudian nama Bahrain akhirnya berpindah ke pulau besar di bagian timur pantai ini dan sekarang disebut negara Bahrain. Ketika terbentuk kerajaan Arab Saudi wilayah ini disebut dengan al-Minthaqah al-Syarqiyyah (wilayah timur) dengan beberapa kota utamanya seperti Dammam, Qathif, Zhahran (pusat perminyakan), Khubar, dan Jubail.(2)
  3. Hadis ini merupakan dalil bolehnya pelaksanaan Salat Jumat di desa dan tidak harus di kota besar. Para ulama telah ikhtilaf tentang hukum pelaksanaan Salat Jumat di kampung/desa selain kota besar.

Pendapat Pertama: Abu Hanifah dan mazhabnya(3) berpendapat bahwa Jumat hanya boleh dilaksanakan di kota-kota besar. Mereka berhujah dengan atsar dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu yang mengatakan, “Tidak ada Jumat dan Salat Id kecuali di kota besar.” [Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (3/ 167), Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 439) dan Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (3/ 254)]

Pendapat Kedua: Jumhur ulama dari mazhab Maliki(4), Syafii,(5) dan Hambali(6) serta Ibnu Hazm(7) dari kalangan al-Zhahiriyah membolehkan pelaksanaan Salat Jumat di kampung dan desa. Hujah yang disebutkan oleh Jumhur adalah keumuman ayat perintah untuk Salat Jumat dan hadis Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ini di mana zahirnya mereka melaksanakan Jumat di kampung Juwatsa atas izin dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan bolehnya. Adapun atsar Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu yang dijadikan dalil oleh Abu Hanifah dan mazhabnya maka dijawab bahwa itu ijtihad beliau dan bertentangan dengan pandangan beberapa sahabat lain seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhum jami’an. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat di antara sahabat maka sepantasnya kembali kepada hadis marfuk sebagaimana yang dipegang oleh jumhur ulama.(8) Al-Azhim Abadi mengomentari perkataan Ibnu Hajar tersebut bahwa ini suatu keniscayaan yang tidak boleh ada pendapat selainnya.(9)

Baca juga:  HADIS TIDAK MENGHADAP KIBLAT PADA SAAT BUANG HAJAT

Kesebelas: Kehadiran penguasa atau izinnya

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَزَادَ اللَّيْثُ، قَالَ يُونُسُ: كَتَبَ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيْمٍ إِلَى ابْنِ شِهَابٍ، وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي القُرَى: هَلْ تَرَى أَنْ أُجَمِّعَ وَرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا، وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنَ السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ؟ – وَرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ – فَكَتَبَ ابْنُ شِهَابٍ، وَأَنَا أَسْمَعُ: يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ، يُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. قَالَ: -وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ- وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin.” Al-Laits menambahkan: Yunus berkata: Ruzaiq bin Hukaim menulis surat kepada Ibnu Syihab, dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura, “Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk Salat Jumat?” -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jemaah dari Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-(10). Maka Ibnu Syihab membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan Salat Jumat. Lalu mengabarkan bahwa Salim telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang khadim adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan tanggungjawabnya tersebut.” Aku menduga Ibnu Umar menyebutkan, “Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” [H.R. Bukhari (no. 893)]

Baca juga:  BERWUDU DISEBABKAN KELUARNYA MAZI

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Imam Zuhri berdalilkan hadis ini tentang kewajiban pemimpin menyelenggarakan Salat Jumat, karena di antara kewajiban pemimpin suatu wilayah adalah menegakkan hukum-hukum syariat dan memelihara hak-hak manusia termasuk di dalamnya pelaksanakan Salat Jumat.(11)
  2. Zainuddin bin al-Munayyir berkata, “Pada kisah ini ada isyarat bahwa Salat Jumat boleh dilaksanakan walupun tanpa izin penguasa jika di kaum tersebut ada yang melaksanakan maslahat mereka.”(12)
  3. Para ulama berbeda pendapat, apakah izin atau kehadiran pemimpin atau penguasa di negara atau wilayah tersebut syarat wajib pelaksanaan Salat Jumat?

Pendapat pertama: Harus dengan izin penguasa, karena itu tidak sah Salat Jumat tanpa ehadiran penguasa atau orang yang ditunjuk. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi.(13)

Pendapat kedua: Salat Jumat sah dilaksanakan walaupun tanpa izin atau tanpa kehadiran penguasa di daerah tersebut. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari mazhab Maliki,(14) Syafii,(13) dan Hambali(14) serta dipilih oleh Ibnu Hazm.(15)

Di antara dalil pendapat kedua ini:

a.  Keumuman firman Allah azza wajalla

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ الله

“…apabila diseru untuk menunaikan Salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah…” [Q.S. Al-Jumu’ah, ayat 9]

b.  Atsar dari sahabat Usman bin Affan radhiyallahu anhu

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ خِيَارٍ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ مَحْصُورٌ فَقَالَ إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ وَنَزَلَ بِكَ مَا نَرَى وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ فَقَالَ الصَّلَاةُ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ وَقَالَ الزُّبَيْدِيُّ قَالَ الزُّهْرِيُّ لَا نَرَى أَنْ يُصَلَّى خَلْفَ الْمُخَنَّثِ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ لَا بُدَّ مِنْهَا

Dari Ubaidullah bin Adi bin Khiyar, bahwa dia masuk menemui Usman bin Affan radhiyallahu anhu saat ia terkepung seraya berkata, “Engkau adalah pemimpin kaum muslimin namun tuan tengah mengalami kejadian seperti yang kita saksikan. Sedangkan salat akan dipimpin oleh imam penyeru fitnah ini dan kami jadi khawatir terkena dosa.” Maka Usman bin Affan pun berkata, “Salat adalah amal terbaik yang dilakukan manusia. Oleh karena itu apabila orang-orang melakukan kebaikan (dengan mendirikan salat), maka berbuat baiklah (salat) bersama mereka. Dan jika mereka berbuat keburukan (kesalahan), maka jauhilah keburukan mereka.” [H.R. Bukhari (no. 695)]

Baca juga:  KEDUA TELINGA BAGIAN DARI KEPALA

Dalam riwayat ini tampak Usman bin Affan radhiyallahu anhu tidak memerintahkan mereka mengulangi Salat Jumatnya padahal yang mengimami mereka pada saat itu adalah Kinanah bin Bisyr salah seorang gembong dan pemantik fitnah saat itu serta pelaksanaan Jumatnya tanpa izin dari khalifah Usman bin Affan radhiyallahu anhu

c.  Kias terhadap persoalan imam salat jemaah lain yang tidak dipersyaratkan hal ini.(16)

d.  Jika seseorang yang memberontak dan keluar dari pemerintahan Islam yang sah atau mengkudeta pemimpin boleh salat jemaah Jumat di belakangnya maka lebih patut bolehnya Salat Jumat di belakang imam yang tidak menentang atau memberontak penguasa yang sah.(17)

e.  Salat Jumat termasuk salat yang fardu ain sebagaimana Salat Zuhur dan lainnya sehingga tidak harus ada izin penguasa.(18)

   Dari kedua pendapat ini maka yang rajih adalah pandangan jumhur ulama berdasar argumen-argumen yang telah disebutkan di atas, wallahu a’laa wa a’lam.

 


Footnote:

(1) Di antaranya yang sudah dicetak: Al-Awaail karya Abu Bakar Ibn Abi Ashim al-Syaibani (wafat 287 H), Al-Awaail karya Abu Arubah Husain bin Muhammad al-Harrani (wafat 318 H), Al-Awaail karya Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani (wafat tahun 360 H), dan Al-Awaail karya Abu Hilal Hasan bin Abdullah al-Askari (wafat tahun 395H)

(2) Lihat: Mu’jam al-Buldan (1/ 347) dan Mu’jam al-Ma’alim al-Jughrafiyah fi al-Sirah al-Nabawiyah (hal. 40)

(3) Lihat: Bada-i’ al-Shana-i’ (1/ 259) dan Fathu al-Qadir oleh Ibn al-Humam (2/ 50)

(4) Lihat: Al-Taj al-Iklil (2/ 161) dan Syarhu Mukhtashar Khalil (2/ 76)

(5) Lihat: Raudhah al-Thalibin (2/ 37) dan al-Hawi al-Kabir (2/ 404)

(6) Lihat: Al-Mughni (2/ 246) dan Mathalib Uli al-Nuha (1/ 762)

(7) Lihat: Al-Muhalla bi al-Atsar (3/ 252)

(8) Fathu al-Bari (2/ 380)

(9) Aun al-Ma’bud (3/ 286)

(10) Ailah hari ini dikenal dengan kota Aqabah yaitu daerah pelabuhan negara Yordania, lihat: Mu’jam al-Ma’alim al-Jughrafiyah (hal. 35) dan Athlas al-Hadits al-Nabawi (hal. 57)

(11) Lihat: Fathu al-Bari (2/ 381)

(12) Ibid

(13) Lihat: Fathu al-Qadir (1/ 411)

(14) Lihat: Al-Kafi, karya Ibn Abdilbarr (1/ 249)

(13) Lihat: Al-Majmu’ (4/ 509) dan Asna al-Mathalib, karya Zakariya al-Anshari (1/ 251)

(14) Lihat: Al-Inshaf, karya al-Mardawi (2/ 279)

(15) Lihat: Al-Muhalla bi al-Atsar (3/ 252 dan 256)

(16) Lihat: Al-Majmu’ (4/ 584)

(17) Lihat: Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama, karya al-Thahawi (1/ 346)

(18) Lihat: Al-Mughni (2/ 244)

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments