SYARAT-SYARAT WAJIB PELAKSANAAN SALAT JUMAT (BAGIAN PERTAMA)

547
SYARAT SYARAT WAJIB PELAKSANAAN SALAT JUMAT BAG PERTAMA
SYARAT SYARAT WAJIB PELAKSANAAN SALAT JUMAT BAG PERTAMA
Perkiraan waktu baca: 7 menit

Salat Jumat sebagaimana salat wajib yang lima waktu memiliki beberapa rukun dan syarat, akan tetapi ada beberapa syarat wajib dan sah Salat Jumat yang lebih spesifik dan tidak terdapat pada salat wajib lima waktu.

Para fukaha berbeda pendapat dalam beberapa syarat wajib dan sahnya Salat Jumat. Dalam tulisan ini kami berusaha mencantumkan syarat-syarat yang disebutkan dalam hadis-hadis sahih atau hasan baik secara gamblang maupun diketahui lewat istinbat.

Sebagaimana diketahui syarat itu ada dua: syarat wajib dan sah. Pada edisi kali ini pembahasan dikhususkan untuk syarat-syarat wajib pelaksanaan Salat Jumat utamanya yang disepakati oleh para ulama.

Daftar Isi:

Pertama: Islam

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: لَا يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

Dari Aisyah radhiyallahu anha dia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an pada masa jahiliah selalu bersilaturahmi dan memberi makan orang miskin. Apakah itu memberikan manfaat untuknya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak. Itu tidak memberinya manfaat, karena dia belum mengucapkan, ‘Rab-ku ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan.'” [H.R. Muslim (no. 214)]

Qadhi al-Iyadh berkata, “Telah menjadi ijmak bahwa orang-orang kafir tidak bermanfaat amal-amal salehnya dan tidak mendapatkan pahala….”(1)

Kedua: Akal

عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Dari Ali radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Pena diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi basah (balig) dan orang gila hingga ia berakal.” [H.R. Abu Daud (no. 4403), Tirmidzi (no. 1423), Ibnu Majah (no. 2042) dan Ahmad (no. 940). Hadis ini dinilai hasan oleh Bukhari dalam al-Ilal al-Kabir (225) dan dinilai sahih oleh al-Nawawi dalam al-Majmu’ (3/6), Ahmad Syakir dalam Tahkik Musnad Ahmad (2/ 197) dan al-Albani dalam Shahih Abi Daud (4403).

Kedua syarat ini merupakan asas bagi seluruh hukum syariat sebagaimana yang disepakati oleh umat dan keduanya adalah syarat wajib dan sahnya bagi suatu ibadah. Dalil-dalil untuk kedua syarat ini sangat banyak bersumber dalam Al-Qur’an dan hadis.

Ketiga: Balig

عَنْ حَفْصَةَ رضي الله عنها، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

Dari Hafshah -istri Nabi shalallahu alaihi wasallam– bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Mendatangi Salat Jumat hukumnya wajib bagi setiap yang sudah ihtilam (mimpi basah).” [H.R. Nasai (no. 1371) dan dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir (1/ 660)

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Hadis ini menegaskan kewajiban Salat Jumat bagi yang sudah balig;
  2. Secara implisit hadis ini menunjukkan bahwa Salat Jumat tidak wajib bagi anak-anak dan hal ini disepakati oleh seluruh fukaha tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan mereka;
  3. Penyebutan kata ihtilam (mimpi basah) di hadis ini hanyalah sebagai salah satu ciri dan tanda dari balignya seseorang, baik laki-laki maupun wanita. Namun jika ada seseorang yang tidak atau belum pernah mimpi basah akan tetapi sudah ada tanda balig lainnya baik itu dari segi umur ataupun keluar mani dalam keadaan terjaga atau ciri lainnya maka wajib baginya Salat Jumat.(2)
Baca juga:  KEWAJIBAN MENCUCI BEKAS AIR KENCING

Keempat: Merdeka

Kelima: Laki-laki

Keenam: Tidak memiliki uzur berupa sakit atau lainnya

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda, “Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjemaah, kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang yang sakit.” [H.R. Abu Daud (no. 1067) dan dinyatakan sahih oleh al-Nawawi dalam al-Majmu’ (4/ 483), Ibnu Rajab dalam Fathu al-Bari (8/ 61), Ibnu Katsir dalam Irsyad al-Faqih (1/190), Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir (1/ 597) dan al-Arnauth dalam Tahkik Sunan Abu Daud (2/ 295)]

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Abu Daud setelah meriwayatkan hadis ini dengan sanadnya mengatakan, “Thariq bin Syihab telah melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam namun beliau tidak pernah mendengarkan langsung satu hadispun darinya.”(3) Al-Nawawi berkata, “Perkataan Abu Daud ini tidak mempengaruhi kesahihan hadis karena jika benar Thariq belum pernah mendengar dari Nabi maka berarti mursal shahabi dan mursal shahabi merupakan hujah menurut mazhab kami dan seluruh ulama kecuali Abu Ishaq al-Isfiraini.”(4)
  2. Salat Jumat hukumnya wajib bagi setiap muslim secara berjemaah bagi yang memenuhi persyaratan
  3. Salat Jumat berlaku bagi yang merdeka dan tidak wajib bagi hamba sahaya, hal ini adalah pendapat jumhur ulama.(5)
  4. Wanita tidak wajib melaksanakan Salat Jumat dan hal ini merupakan konsensus di kalangan ulama. Ibnu al-Mundzir(6), al-Khaththabi(7) dan Abu al-Hasan Ibn al-Qaththan(8) kesemuanya telah menukil ijmak para ulama tentang hal ini.
  5. Anak kecil yang belum balig tidak wajib melaksanakan Salat Jumat sebagaimana yang sudah diterangkan di syarat ketiga sebelumnya dan hal ini juga merupakan ijmak di kalangan ulama.(9)
  6. Salat Jumat tidak wajib bagi yang memiliki uzur seperti sakit atau takut terhadap keselamatan jiwa, harta, dan kehormatannya. Demikian pula tidak wajib bagi yang merawat secara khusus orang sakit atau keluarga dekat yang menemani si sakit lalu dikhawatirkan keselamatan si sakit jika ditinggalkan atau ajalnya akan tiba.(10) Imam al-Baghawi berkata, “Adapun meninggalkan Jumat karena ada uzur maka hal itu disepakati kebolehannya. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma pernah berkemas dan bersiap untuk berangkat melaksanakan Jumat namun beliau dipanggil ketika Said bin Zaid radhiyallahu anhu menjelang kematiannya maka beliau mendatanginya dan meninggalkan Salat Jumat.”(11)

Ketujuh: Mukim

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada kewajiban Salat Jumat bagi musafir.” [H.R. Al-Daraquthni dalam al-Sunan (no. 1582) dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (no. 818), namun sanad hadis ini lemah karena salah seorang perawinya yaitu Abdullah bin Nafi’ dinilai sangat lemah oleh para ulama, di antaranya Ali bin al-Madini, al-Bukhari, Abu Hatim al-Razi dan al-Nasai.(12) Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram (hal. 200) juga menyebutkan bahwa hadis ini daif.]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسَةٌ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ: الْمَرْأَةُ، وَالْمُسَافِرُ، وَالْعَبْدُ، وَالصَّبِيُّ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada lima golongan yang tidak wajib melaksanakan Salat Jumat: wanita, musafir, hamba sahaya, anak kecil, dan penduduk pedalaman.” [H.R. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (no. 202), al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid (2/170) mengatakan dalam sanadnya ada Ibrahim bin Hammad yang didaifkan oleh Daraquthni, dan hadis ini dinyatakan dhaif jiddan (sangat lemah) oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah (8/43)]

Baca juga:  HADIS LARANGAN KENCING DI AIR YANG TIDAK MENGALIR

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْجُمُعَةُ وَاجِبَةٌ إِلَّا عَلَى صَبِيٍّ، أَوْ مَمْلُوكٍ، أَوْ مُسَافِرٍ

Dari Tamim al-Dari radhiyallahu anhu dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Salat Jumat wajib kecuali bagi anak kecil, hamba sahaya, atau musafir.” [H.R. Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (no. 5633), namun sanad hadisnya sangat lemah dan dinilai sebagai hadis mungkar oleh Abu Zur’ah sebagaimana yang dinukil oleh Abu Hatim dalam ‘Ilal al-Hadits (2/ 585), dan juga disebut sebagai hadis daif oleh Ibnu Hajar dalam al-Talkhsh al-Habir. (2/ 161)]

عَنِ الْحَسَنِ البصري قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ

Dari Hasan  al-Bashri berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada kewajiban Salat Jumat bagi musafir.’” [H.R. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 5203), sanad hadis ini sahih karena para perawinya tsiqah (terpercaya) namun hadis ini mursal karena Hasan al-Bashri seorang tabiin langsung meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tanpa perantaan seorang sahabat.]

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Semua hadis yang menyebutkan gugurnya kewajiban Salat Jumat bagi musafir tidak luput dari cacat dan kelemahan sanad. Namun, dari keempat hadis yang disebutkan di atas maka riwayat terakhir yaitu mursal Hasan al-Basri yang lebih baik kualitasnya.
  2. Para ulama berbeda pendapat tentang hadis mursal apakah bisa dijadikah hujah atau tidak. Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, hadis mursal boleh dijadikan hujah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan mayoritas pengikut beliau, juga pendapat Malik dan pengikutnya serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat kedua, hadis mursal daif dan tidak boleh dijadikan hujah secara mutlak. Ini adalah pendapat mayoritas ahli hadis. Imam Muslim mengatakan dalam mukadimahnya, “Hadis mursal menurut pendapat kami dan pendapat para ulama dalam periwatan hadis termasuk di antara riwayat-riwayat yang tidak bisa dijadikan hujah.”(13)

Pendapat ketiga, hadis mursal tidak dijadikan hujah kecuali jika memenuhi beberapa syarat. Ini adalah pendapat imam Syafii. Imam Syafii telah menyebutkan syarat-syaratnya:(14)

  1. Perawi yang meriwayatkan secara mursal dari kalangan tabiin senior;
  2. Jika dia menyebutkan dari mana dia mendengarkan periwayatan tersebut dia menyebut seorang perawi tsiqah.
  3. Periwatannya itu tidak bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah lainnya.
  4. Riwayat tersebut didukung oleh riwayat lain.
  5. Riwayat mursal tersebut didukung oleh mursal lainnya dari syekh yang lain.
  6. Didukung maknanya oleh fatwa sahabat.
  7. Didukung kandungan riwayat mursal tersebut oleh amalan ulama muktabar.

Syarat-syarat yang disebutkan oleh Imam Syafii hampir seluruhnya atau seluruhnya terpenuhi dalam hadis ini.(15) Di antara ulama yang menerima periwayatan mursal dari Hasan al-Basri adalah Yahya al-Qaththan, Ibnu al-Madini, dan Abu Zur’ah al-Razi.(16)

  1. Musafir tidak wajib melaksanakan Salat Jumat, dan ini adalah kesepakatan keempat imam mazhab, juga pendapat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Umar bin Abdul Aziz, Atha bin Abi Rabah, dan Thawus bin Kaisan(17) serta mayoritas para ulama.(18)
  2. Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya Salat Jumat bagi musafir adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat pada saat haji wadak, di mana mereka menjamak Salat Zuhur dan Salat Asar pada saat wukuf di hari Jumat.(19)
Baca juga:  AIR LIUR HEWAN YANG HALAL DIMAKAN DAGINGNYA, HUKUMNYA SUCI

Kedelapan: Tidak hujan dan tidak ada lumpur di jalan

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَلاَ تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ، فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ: فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata kepada muazinnya saat hari turun hujan, “Jika kamu sudah mengucapkan  ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasululullah, janganlah kamu lanjutkan dengan ‘Hayyaalashshalah (Marilah mendirikan salat)’ tetapi serukanlah, ‘Shallu fii Buyuutikum (Salatlah di rumah-rumah kalian).’” Lalu orang-orang seakan mengingkarinya. Maka Ibnu Abbas pun berkata, “Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (yakni Rasulullah). Sesungguhnya Salat Jumat adalah kewajiban dan aku tidak suka untuk memberatkan kalian, sehingga kalian berjalan di tanah yang penuh dengan becek dan lumpur.” [H.R. Bukhari (no. 901) dan Muslim (no. 699)].

Fikih dan Faedah Hadis:

  1. Keutamaan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma dan konsistensi beliau dalam mengikuti sunah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
  2. Pentingnya mengajarkan kepada muazin tata cara azan yang benar dalam semua keadaan.
  3. Pada saat hujan lebat dibolehkan bagi muazin mengganti lafaz, “Hayya ‘ala ash shalah” dengan “Shallu fii buyutikum.
  4. Terkadang manusia mengingkari pelaksanakan syariat atau sunah Nabi shallallahu alaihi wasallam disebabkan ilmu yang belum sampai kepada mereka.
  5. Seorang muslim seharusnya menyandarkan perkataan dan perbuatannya kepada sunah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
  6. Pada hakikatnya syariat Islam telah mudah dan luwes serta tidak memberatkan umatnya karena itu tidak pantas bagi seorang muslim fobia terhadap syariat ini atau mau mengubahnya.
  7. Adanya keringanan tidak menghadir Jumat ketika terjadi hujan lebat dan lumpur. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama di antaranya Imam Bukhari sebagaimana judul bab yang beliau sebutkan “Bab Rukhsah Tidak Hadir Salat Jumat Pada Saat Hujan.”(20)
  8. Boleh tetap melaksanakan Jumat walaupun ada rukhsah untuk tidak menghadirinya, seandainya ada beberapa orang yang tetap mengusahakan untuk hadir lalu jemaah tetap dilakukan maka hal ini tidak dimakruhkan karena perintah untuk salat di rumah hanyalah menunjukkan bolehnya bukan sebaiknya.

Footnote:

(1) Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (3/ 87)

(2) Lihat: Fathu Al-Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (2: 357)

(3) Sunan Abi Daud (1/ 280)

(4) Al-Majmu’ (4/ 483)

(5) Lihat: Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama (1/152) oleh Ibnu Hubairah dan al-Majmu’ (4/ 485) oleh al-Nawawi

(6) Al-Ijma’, hal 40.

(7) Ma’alim Al-Sunan (1/ 243)

(8) Al-Iqna’ fi Masail Al-Ijma’ (1/ 160)

(9) Lihat: Al-Ijma’ (no. 52) dan Al-Iqna’ fi Masail Al-Ijma’ (1/ 159, no. 844)

(10) Lihat: Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab (4/ 489)

(11) Syarhu Al-Sunnah (4/ 215)

(12) Lihat: Tahdzib al-Tahdzib (6/ 53)

(13) Shahih Muslim (1/ 29)

(14) Lihat: Al-Risalah (hal. 461)

(15) Lihat: Ahadits al-Jumu’ah (hal. 250)

(16) Lihat: Iqamah al-Dalil ‘ala ‘Uluwwi Rutbah Irwa al-Ghalil (hal. 30)

(17) Lihat: Al-Awsath (4/ 19) oleh Ibnu al-Mundzir

(18) Lihat: Al-Mughni (2/ 250)

(19) H.R. Muslim (no. 1218) dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma

(20) Shahih al-Bukhari (2/ 6)

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments