SYAK SETELAH BERWUDU

362
Syak Setelah Berwudu
Syak Setelah Berwudu
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئاً فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الـمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعُ صَوْتاً أَوْ يَجِدُ رِيْحًا)). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian merasakan pada perutnya sesuatu dan dia merasa ragu apakah ada yang keluar atau tidak, jangan dia keluar dari masjid (memutuskan salat) hingga dia mendengar suara atau mencium bau’.” Hadis riwayat Muslim.[1]

Daftar Isi:

Kosa Kata Hadis:

Sabda Nabi ﷺ, “Hingga dia mendengar suara atau mencium bau” maknanya adalah hingga dia yakin sudah berhadas karena mungkin saja hadas sudah terjadi tetapi tidak mendengar suara karena tuli atau tidak mencium bau karena indra penciumannya tidak berfungsi.[2] Demikian pula, seseorang mengetahui dengan pasti bahwa salah satu dari dua hal tersebut telah terjadi dan tidak dipersyaratkan bagi seseorang untuk mendengar suara (kentut) atau mencium bau berdasarkan ijmak kaum muslimin.[3]

Makna Hadis:

Abu Hurairah radiyallāhu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menyatakan bahwa jika seseorang telah berwudu kemudian dia syak apakah perutnya mengeluarkan sesuatu atau tidak, jangan sekali-kali meninggalkan masjid untuk memperbarui wudunya, kecuali dia benar-benar yakin telah berhadas. Keyakinan itu dapat diketahui dengan cukup satu dari dua hal, yaitu suara atau bau yang keluar dari dubur.

Faedah dan Istinbat Dari Hadis:

  1. Faedah fikih dari hadis tersebut adalah bahwa perasaan syak tidak boleh menyingkirkan rasa yakin.[4]

أَنَّ الشَّكَّ لاَ يُزَحِّمُ اليَقِيْنَ

  1. Hadis ini juga menjadi landasan dari kaidah utama dalam kaidah fikih,yaitu,
Baca juga:  MENGUSAP KEPALA DENGAN AIR BARU SELAIN AIR SISA WUDU DI TANGAN

الْأَشْيَاءَ يُحْكَمُ بِبَقَائِهَا عَلَى أُصُولِهَا، حَتَّى يُتَيَقَّنَ خِلَافُ ذَلِكَ وَلَا يَضُرُّ الشَّكُّ الطَّارِئُ عَلَيْهَا

“Segala sesuatu tetap pada kondisi asalnya hingga benar-benar yakin keadaan telah berubah dan syak yang datang tidak mempengaruhinya.”

Penerapannya pada bab ini adalah bahwa siapa yang yakin dirinya dalam kondisi taharah kemudian datang syak berhadas, hukumnya adalah dia tetap dalam kondisi taharah. Sama saja apakah syak itu terjadi ketika dia dalam salat atau di luar salat. Ini adalah mazhab jumhur ulama salaf dan khalaf.

Sebaliknya, jika seseorang yakin dia berhadas kemudian syak datang dalam dirinya, dia harus berwudu berlandaskan ijmak kaum muslimin.[5]

  1. Turunan masalah dari kaidah tersebut, antara lain: jika seseorang timbul syak telah menalak istrinya atau belum, sudah membebaskan budaknya atau belum, syak ada najis pada air yang suci, syak sucinya air yang jelas najisnya, syak ada najis pada pakaian atau makanan padahal semuanya suci.

Demikian juga, timbul syak apakah sudah salat tiga rakaat atau empat, sudah sujud atau belum, syak belum berniat puasa, salat, wudu atau iktikaf. Jika semuanya terjadi saat ibadah sedang dilaksanakan maka semua syak tersebut tidak berarti apa-apa karena pada asalnya dan pada dasarnya semua syak itu tidak pernah terjadi dan tidak dianggap terjadi.[6]

  1. Hadis ini menjadi dalil bahwa orang yang sudah berwudu atau dalam keadaaan taharah, kemudian syak telah terjadi hadas, hendaknya dia melaksanakan salat dengan taharahnya tersebut.[7]
  2. Seseorang yang sudah melaksanakan dan dalam proses suatu ibadah, tidak boleh membatalkannya[8] sebagaimana firman Allah ta’ālā,

ﭐوَلَا تُبْطِلُوْٓا اَعْمَالَكُمْ

“Dan janganlah kamu membatalkan (merusakkan) amal-amalmu.” (Surah Muhammad: 33)

 

Baca juga:  KEWAJIBAN MANDI JANABAH JIKA DUA KHITAN TELAH BERSENTUHAN

 


Footnote:

[1] H.R. Muslim (326).

[2] Al-Khaṭṭābī. Ma’alim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 64.

[3] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 49.

[4] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 64.

[5] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 50.

[6] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 4, hlm. 50.

[7] Ibid.

[8] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Iḥkāmul Aḥkām Syarḥ ‘Umdatil Aḥkām. Jilid 1, hlm. 119.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments