RUKHSAH BUANG AIR KECIL DALAM POSISI BERDIRI

278
RUKHSAH BUANG AIR KECIL DALAM POSISI BERDIRI
Perkiraan waktu baca: 3 menit

وَعَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَانِ قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلَفْظُهُ للْبُخَارِيِّ. وَلَيْسَ فِي مُسْلِمٍ: فَدَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ

Dari Hużaifah bin al-Yamān raḍiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi ﷺ mendatangi tempat tumpukan sampah dan tanah milik suatu kaum kemudian beliau buang air kecil di situ (dalam posisi) berdiri dan beliau minta didatangkan air dan saya pun memberikan air kepada beliau.” Muttafaqun ‘alaihi dan lafal hadisnya dari al-Bukhārī. Pada riwayat Muslim tidak terdapat lafal, “Dan beliau minta didatangkan air dan saya pun memberi air kepada beliau.”

وَعَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ وَحَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي وَائِل، عَنْ الـمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِماً. قَالَ حَمَّادٌ: فَفَحَّجَ رجلَيْهِ. رَوَاهُ أَحْمْدُ -وَهَذَا لَفْظُه-ُ وَابْنُ خُزَيْمَةَ فِي صَحِيْحِهِ، وَأَعَلَّهُ أَحْمَدُ بِرِوَايَةِ مَنْصُوْرٍ وَالأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِل عَنْ حُذَيْفَةَ

Dari ‘Āṣim bin Bahdalah dan Ḥammād bin Abī Sulaimān, dari Abī Wā’il, dari al-Mugīrah bin Syu’bah: bahwa Nabi ﷺ mendatangi tempat tumpukan sampah dan tanah milik suatu kaum kemudian beliau buang air kecil di situ (dalam posisi) berdiri. Ḥammād berkata (lafal melalui jalurnya), “Beliau membuka lebar kedua kakinya (mengangkang).” Hadis ini adalah riwayat dan lafal Aḥmad dan Ibnu Khuzaimah dalam Ṣaḥīḥ-nya, namun Aḥmad menyebutkan hadis tersebut ada ilatnya karena dari riwayat Manṣūr dan al-A’masy dari Abī Wā’il dari Hużaifah.[1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. Al-Subāṭatu (السُبَاطَةَ) artinya tempat pembuangan sampah, tanah dan yang semisalnya, umumnya terletak dekat dengan rumah dan pemiliknya sesuai dengan kondisi pada masa itu. Struktur tumpukannya tidak keras, menyerap dan tidak memercikkan sisa air kencing.[2]
  2. Al-Subāṭatu yang artinya tempat pembuangan sampah tentu dekat dengan pemukiman, padahal kebiasaaan Nabi ﷺ buang hajat dengan mengambil tempat jauh dari orang-orang.
Baca juga:  WAJIB MANDI KARENA BERSETUBUH

Ulama menyebutkan beberapa alasan mengapa pada saat itu Nabi ﷺ buang air kecil dalam posisi, yaitu antara lain:

Pertama, bahwa Nabi ﷺ pada saat itu sedang sibuk menyelesaikan urusan kaum muslimin dan memikirkan maslahat mereka di tempat tersebut hingga ketika beliau dalam kondisi darurat ingin buang hajat, tidak memungkinkan lagi mencari tempat yang jauh. Bahkan jika beliau mencari tempat yang jauh justru membahayakan fisiknya.

Sebagai solusinya, Hużaifah bin al-Yamān raḍiyallāhu ‘anhu berdiri di dekat beliau untuk menutupi Nabi ﷺ dari pandangan orang-orang.[3]

Kedua, karena beliau tidak mendapatkan tempat untuk duduk (jongkok), sebagaimana sudah disebutkan bahwa di situ adalah tempat sampah.

Ketiga, ada luka di kaki Nabi ﷺ sehingga tidak memungkinkan untuk duduk (jongkok).

Keempat, dahulu orang Arab melakukan terapi penyembuhan nyeri pada tulang belakang dengan cara kencing sambil berdiri dan pada saat tersebut Nabi ﷺ sedang mengalami hal tersebut. Takwil ini diriwayatkan dari al-Syāfi’ī raḥimahullāh.[4]

Makna hadis:

Hużaifah bin al-Yamān raḍiyallāhu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah buang air kecil dalam posisi berdiri. Beliau melakukannya ketika di luar rumahnya yaitu di tempat pembuangan sampah dan tanah milik seseorang (kaum) yang tentu posisinya dekat dengan rumah pemilik tempat pembuangan sampah tersebut. Sedangkan hadis al-Mugīrah bin Syu’bah raḍiyallāhu ‘anhu menceritakan hal yang sama seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis ini menunjukkan bolehnya buang air kecil dalam posisi berdiri jika ada uzur, sehingga larangan buang air kecil dalam posisi berdiri hukumnya adalah makruh saja dan tidak sampai pada pengharaman.[5]
  2. Buang air kecil dengan posisi duduk (jongkok) lebih utama karena jika posisi berdiri dibolehkan maka posisi duduk tentu lebih dibolehkan lagi.[6]
  3. Hadis ini juga menjadi dalil tentang bolehnya menggunakan fasilitas milik orang lain jika telah diberi izin atau diketahui dengan yakin pemiliknya rida bahkan senang jika miliknya digunakan. Termasuk di dalamnya memanfaatkan makanan atau yang semisalnya.
  4. Penyebutan al-subāṭatu yang artinya tempat pembuangan sampah yang tentu dekat dengan pemukiman, memberikan pengertian bahwa peristiwa tersebut terjadi bukan ketika safar.[7]
  5. Bolehnya buang hajat di dekat pemukiman atau membuat fasilitas umum untuk buang hajat dengan memperhatikan sisi kebersihan dan sanitasinya.
  6. Menahan kencing adalah perkara yang membahayakan dan berefek negatif terhadap tubuh. Hadis tersebut menjadi dalil tentang tidak dibenarkannya perbuatan tersebut.[8]
Baca juga:  SYARAT-SYARAT SAH PELAKSANAAN SALAT JUMAT - BAGIAN PERTAMA


Footnote:

[1] H.R. Aḥmad (23241) dan Ibnu Khuzaimah (63).

[2] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 20.

[3] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm 165.

[4] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm 21.

[5] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 166.

[6] Ibnu Hajar. Fatḥu al-Bāri Syarḥu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 1, hlm. 328.

[7] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 166.

[8] Al-Khaṭṭābī. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 21.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments