KEUTAMAAN WUDU (BAGIAN KEDUA)

154
KEUTAMAAN WUDU BAGIAN KEDUA
KEUTAMAAN WUDU BAGIAN KEDUA
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَرَوَى مُسلمٌ، عَنْ قُتَيْبَةَ، عَن خَلَفِ بنِ خَليفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي حَازٍم ٍقَالَ: كُنْتُ خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَهُوَ يتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ فَكَانَ يَمُدُّ يَدَهُ حَتَّى يَبْلُغَ إِبْطَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا هَذَا الوضُوءُ؟ قَالَ يَا بَنِي فَرُّوخَ أَنْتُمْ هَاهُنَا! لَوْ عَلِمُتُ أَنَّكُمْ هَاهُنَا مَا تَوَضَّأْتُ هَذَا الوُضُوءُ، سَمِعْتُ خَلَيْلِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َيَقُولُ: ((تَبْلُغُ الحِلْيَةُ مِنَ المُؤْمِنِ حَيْثُ يبلُغُ الوُضُوءُ))

Imam Muslim meriwayatkan dari Qutaibah, dari Khalaf bin Khalifah, dari Abu Malik al-Asyja’i, dari Abu Hazim, beliau berkata, “Suatu ketika saya berada di dekat Abu Hurairah dan beliau sedang berwudu untuk melakukan salat, beliau membentangkan tangannya ketika mencuci tangan tersebut hingga sampai ke ketiak. Lalu saya bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah, tata cara wudu apa yang Anda lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Wahai bani Farrūkh, kalian hadir di sini! Seandainya saya mengetahui kalian hadir di sini, niscaya saya tidak akan berwudu seperti itu, saya mendengar kekasih saya, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Perhiasan (al-hilyah) berupa cahaya dari seorang mukmin akan sampai hingga di mana air wudunya’.”[1]

Daftar Isi:

Kosa Kata Hadis:

  1. Abu Hazimal-Asyja’i; nama beliau adalah Salman, pernah menjadi murid Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu selama lima tahun sehingga banyak meriwayatkan hadis dari beliau.[2] Beliau adalah seorang muḥaddits yang tsiqah. Beliau wafat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz sekitar tahun seratus hijriah.[3]
  2. Farrūkh(فَرُّوخَ) adalah kabilah anak keturunan Nabi Ibrahim setelah generasi Nabi Ismail dan Nabi Ishaq ‘alayhimussalām. Namun yang dimaksud oleh Abu Hurairah di sini adalah al-mawāli[4] (orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada tuan-tuan mereka dari bani Farrūkh karena pernah dimerdekakan dari perbudakan).
Baca juga:  MAKRUH HUKUMNYA MENCUCI ANGGOTA WUDU LEBIH DARI TIGA KALI

Makna Hadis:

Karena kedekatan hubungan guru dan murid, Abu Hazim dapat menyaksikan langsung Abu Hurairah berwudu, bahkan sampai-sampai keberadaan Abu Hazim tidak disadari oleh Abu Hurairah ketika beliau sedang berwudu untuk melakukan salat.

Beliau membentangkan tangannya ketika mencuci tangan tersebut hingga sampai ke ketiak. Melihat sifat wudu tersebut, Abu Hazim pun terkejut dan mempertanyakannya. Lalu Abu Hurairah pun menyebutkan alasan beliau melakukannya, yaitu sabda Rasulullah ﷺ bahwa perhiasan (al-hilyah) berupa cahaya dari seorang mukmin akan sampai hingga dimana air wudunya. Meskipun beliau mengatakan bahwa seandainya beliau mengetahui bahwa Abu Hazim hadir di situ, niscaya beliau tidak akan melakukan tata cara wudu yang demikian karena khawatir terjadi kesalahpahaman penafsiran.

Faedah dan Istinbat dari Hadis:

  1. Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu menggunakan keumuman makna dan lahir hadis ini sebagai dalil untuk memanjangkan dan melebihkan cucian atau basuhan wudu, namun tidak ada nukilan riwayat dari Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau yang lain, demikian juga para tabiin melakukannya sehingga kebanyakan ahli fikih setelah mereka juga tidak pernah membahasnya.[5]
  2. Seorang alim yang menjadi panutan tidak sepatutnya melakukan suatu amalan yang sifatnya rukhsah pada kondisi tertentu atau ‘azimah (amalan yang sifatnya berat dan ketat) karena merasa was-was, atau mungkin dia mengetahui bahwa hal tersebut adalah mazhab yang tidak lazim (syadz) dari amalan yang ada di masyarakat, kemudian sang alim melakukan amalan tersebut di hadapan khalayak umum.

Semua itu agar masyarakat umum tidak memudah-mudahkan sesuatu padahal kondisinya tidak darurat, atau melakukan amalan tersebut dengan kaku dan ketat karena beriktikad hal tersebut adalah fardu dan lazim.[6]

Baca juga:  BAGAIMANA BERHUJAH DENGAN HADIS “SETIAP UTANG YANG MENDATANGKAN MANFAAT ADALAH RIBA”?


Footnote:

[1] H.R. Muslim (250).

[2] Ibnu Sa’ad. Op. Cit. Jilid 6, hlm. 7298.

[3] Al-Dzahabi. Siyar A’lām al-Nubala. Jilid 5, hlm. 8.

[4] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 140.

[5] Ibnu Daqīq al-‘Īd. Ihkāmul Ahkām Syarḥ Umdatil Ahkām. Jilid 1, hlm. 93.

[6] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 141.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments