KEFAKIRAN SEBAB KEKAFIRAN?

3819
KEFAKIRAN SEBAB KEKAFIRAN
KEFAKIRAN SEBAB KEKAFIRAN
Perkiraan waktu baca: 2 menit

Pertanyaan:

Mohon penjelasannya mengenai hadis “kemiskinan dekat dengan kekufuran”. Jazaakumullahu khairan.

 (Ahmad Zubair, Sinjai)

Jawaban:

Hadis yang Saudara maksud, lafalnya seperti berikut ini.

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا، وَكَادَ الْحَسَدُ أَنْ يَغْلِبَ الْقَدَرَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Hampir-hampir  kefakiran (kemiskinan) menjadi (sebab) kekafiran, dan hampir-hampir hasad (bisa) mendahului ketetapan (Allah)’.”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-‘Uqaili (w. 322 H) dalam kitabnya al-Dhu’afaul Kabir,  Ibnu ‘Adi al-Jurjani (w. 365 H) dalam kitabnya al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya, al-Qudha’i (w. 454 H) dalam kitabnya Musnadus Syihab, al-Baihaqi (w. 458 H) dalam kitabnya Syu’abul Iman.

Semua jalur periwayatan di atas berporos pada Yazid bin Aban al-Raqasyi dari Anas bin Malik dari Rasulullah ﷺ. 

Derajat hadis ini daif, sebab sentral periwayatan sanad hadis ini ada pada seorang perawi yang bernama Yazid bin Aban al-Raqasyi. Oleh ulama hadis, perawi ini dinyatakan lemah. Di antara ulama hadis yang melemahkannya adalah Ahmad bin Hambal (w. 241 H), Yahya bin Ma’in  (w. 233 H), al-Nasa’i (w. 303), al-Zahabi (w. 748 H), Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H).

Atas dasar itu juga, hadis ini dinilai daif oleh Syihabuddin al-Busiri (w. 840 H) dalam kitabnya Ittihaful Khiyaratil Maharah, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya Silsilah al-Ahadis al-Dha’ifah.

Dalam sanad lainnya, Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) menghukumi derajat hadis ini maudhu‘ (palsu), karena seorang perawi di dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kadimi adalah seorang pemalsu hadis.

Baca juga:  DERAJAT HADIS MENIKAH BERKALI-KALI AGAR KAYA

Selain diriwayatkan dari jalur Anas bin Malik, hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Abbas dan ‘Ali bin Abi Thalib, namun kedua jalur itupun tidak lepas dari kelemahan dalam sanadnya bahkan pemalsuan (maudhu’).

Penjelasan Hadis:

Melihat semua jalur periwayatan hadis ini yang lemah dan tidak saling menguatkan, maka hadis ini tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah ﷺ, juga tidak bisa dijadikan hujah (argumentasi) dalam mendiskreditkan kefakiran/kemiskinan yang seakan memiliki citra buruk dalam kehidupan seorang muslim. 

Dalam Islam, orang miskin tidak dipandang sebagai kasta yang rendah, karena kemuliaan seorang hamba hanya tergantung pada ketakwaannya. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang tercela, namun Rasulullah ﷺ dalam doanya selalu meminta perlindungan dari kefakiran/kemiskinan.

Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H), Abu Dawud (w. 275 H), al-Nasa’i (w. 303 H), al-Hakim (w. 405 H) dengan sanad yang hasan meriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah ﷺ selalu berdoa di akhir setiap shalatnya dengan do’a,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran, kefakiran dan azab kubur.”

Ahmad bin Musa al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan bahwa kemiskinan yang mana Rasulullah ﷺ meminta perlindungan darinya adalah kemiskinan yang bisa menyebabkan seseorang melampaui batasan-batasan agama, atau melakukan perkara yang haram tanpa mempedulikan hukumnya, atau mengucapkan kalimat-kalimat kekafiran. 

Al-Munawi (w. 1031 H) juga menerangkan tentang kemiskinan yang Rasulullah ﷺ berlindung darinya, yaitu kemiskinan yang mewariskan hasad terhadap orang-orang kaya, sehingga hasad itu memakan kebaikan-kebaikannya, atau menjadikan seseorang menghinakan dirnya dengan meminta-minta, atau kemiskinan yang menjadikan seseorang tidak ridha dengan ketetapan Allah ﷻ dalam membagi rezki. 

Baca juga:  APA ITU AL-MUWATHTHA?

Maka dari itu, banyak dalil-dalil dalam Islam yang memotivasi untuk mencari rezeki sehingga tidak selayaknya seorang muslim berpangkutangan, atau meminta-minta, seperti hadis yang dirwayatkan al-Bukhari (w. 256 H) dan Muslim (w. 261 H):

عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ العَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: لأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Dari Zubair bin Awwam radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh orang yang membawa talinya kemudian membawa seikat kayu bakar di atas pundaknya lalu ia menjualnya sehingga Allah ﷻ menjaga kehormatannya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain yang terkadang memberinya atau menolaknya.”

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments