HADIS TENTANG MUSIK (BAGIAN PERTAMA)

444
HADIS TENTANG MUSIK
HADIS TENTANG MUSIK
Perkiraan waktu baca: 12 menit

Daftar Isi:

REDAKSI HADIS:

عَنْ أَبِي مَالِك الأَشْعَرِي رضي الله عنه، عَنِ النَّبي صلى الله عليه وسلم، أَنَّهُ يَقُوْلُ: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

Dari Abū Mālik al-Asy’arī raiyallāhu ‘anhu, dari Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Akan ada sekelompok dari umatku yang menghalalkan perzinahan, sutra (bagi laki-laki), khamar dan alat-alat musik.”

TAKHRIJ HADIS:

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (5590) dari Hisyam bin Ammar, dari Ṣadaqah bin Khālid, dari Abdurraḥmān bin Yazīd bin Jabir, dari ‘Aṭiyah bin Qais al-Kilābī, dari Abdurraḥmān bin Ganm al-Asy’arī, dari Abū Āmir atau Abū Mālik al-Asy’arī –Abdurraḥmān bin Ganm ragu-ragu dalam menyebutkan nama sahabat-, dari Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam.

Hadis di atas memiliki jalur periwayatan yang lain, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam al-Tarīkh al-Kabīr (956) dari Abū Ṣālih Abdullāh bin Ṣālih, Ibnu Majah (4020) dari jalur Ma’n bin ‘Īsā, dan Ibnu Abi Syaibah (24227) dan Ibnu Hibbān (6758) dari jalur Zaid bin al-Hubab. Ketiganya (Abū Ṣāliḥ Abdullāh bin Ṣāliḥ, dan Ma’n bin ‘Īsā, dan Zaid bin al-Hubab) meriwayatkan dari Mu’āwiyah bin Ṣāliḥ, dari Hatim bin Huraiṡ, dari Mālik bin Abī Maryam, dari Abdurraḥmān bin Ganm, dari Abū Mālik al-Asy’arī, dari Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يَضْرِبُ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ بِالمَعَازِفِ وَاْلقَيْنَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمْ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ القِرَدَةَ وَالخَنَازِيْرَ

“Sekelompok umatku akan menenggak khamar dan melabelkan kepadanya nama bukan dengan nama aslinya, mereka menabuh alat musik dan nyanyian, sehingga Allah menenggelamkan mereka ke dalam tanah dan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”

Semua perawi hadis di atas adalah perawi yang iqāt (yang terpecaya dalam agamanya dan kekuatan hafalannya)[1], kecuali Hisyām bin Ammār bin Nuṣair al-Sulamī al-Dimasyqī. Beliau adalah salah satu guru dari Imam Bukhārī, dipuji dan dinyatakan iqah oleh Yaḥya bin Ma’in dan al-‘Ijli. Imam al-Nasa’i mengatakan, “ba’sa bihi (derajat hadisnya minimal hasan).” Al-Dāraquṭnī mengatakan, “Ṣadūq, memiliki kedudukan mulia.” Sedangkan Abū Hātim al-Rāzī mengatakan,”Hisyam adūq, namun ketika usianya menua, hafalannya berubah (menjadi lemah) sehingga menganggap semua yang dibacakan kepadanya adalah hadisnya dan dia menerima talqin (doktrin hadis). Hadis-hadisnya yang lama (ketika usianya masih muda) lebih sahih.”

Namun demikian, ada beberapa kritikan yang dibidikkan kepada beliau, di antaranya adalah ucapan Imam Aḥmad, “Tayyāsy (gegabah dan sembrono).” Namun konteks dari kritikan ini adalah terkait dengan ucapan Hisyām bin Ammār, yaitu ucapan beliau,

لفظ جبريل ومحمد عليهما السلام بالقرآن مخلوق

“Pelafalan Jibril dan Muḥammad ‘alaihi al-salām dengan Al-Qur’an adalah makhluk.”

Oleh karenanya, dengan konteks ini, kritikan Imam Aḥmad kepada beliau tidak berkaitan dengan kredibilitas Hisyām bin Ammār dalam masalah periwayatan hadis, tetapi dilokalisir dengan perkataan beliau terkait Al-Qur’an.

Kritikan kedua adalah kritikan Imam Abū Dawud, beliau mengatakan,

حدث بأربعمائة حديث لا أصل لها

“Meriwayatkan 400 hadis yang tidak ada sumbernya.”[2]

Kritikan ini adalah bukan kritikan secara global bagi derajat Hisyām bin Ammār, melainkan khusus ketika usia beliau sudah menua, sehingga tidak dapat membedakan riwayat-riwayatnya dengan riwayat perawi yang lain.

Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa derajat minimal dari Hisyām bin Ammār secara global adalah adūq dan tidak kurang dari derajat tersebut. Kesimpulan ini dipetik dari pujian dan tauīq (penguatan) mayoritas para ulama terhadap kredibilitas beliau sebagaimana telah dipaparkan di atas. Adapun kritikan sebagian para ulama kepada beliau sifatnya kasuistik. Hal ini merupakan kesimpulan yang dipetik oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī sebagai bentuk kompromi terhadap pujian dan kritikan para ulama terhadap Hisyām bin Ammār, dimana beliau mengatakan,

صدوق مُقْرِئٌ، كبر فصار يتلقن، فحديثه القديم أصح

Ṣadūq muqri’ (pakar dalam ilmu qirā’at dan mengajarkannya), hidup dalam usia yang panjang (sehingga hafalannya melemah) sehingga beliau menerima talqin, hadisnya yang lama (ketika beliau masih muda) lebih sahih.”[3]

Beliau adalah salah satu guru Imam Bukhārī. Ada empat hadis yang diriwayatkan oleh beliau melalui jalurnya, dua hadis diriwayatkan oleh beliau dengan igah (lafal) haddaanī dan haddaanā. Lafal ini mengindikasikan secara tegas bahwa Imam Bukhārī berjumpa dan mendengar secara langsung hadis-hadis dari Hisyām bin Ammār, kemudian dua hadis diriwayatkan oleh beliau dengan igah (lafal)  qāla, sebagaimana dalam hadis ini, dan tentunya ada penyebab yang kuat penyebab beliau menggunakan lafal ini.[4]

Dengan pemaparan ini, kesahihan hadis ini sejatinya tidak perlu diragukan lagi, apalagi hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya, namun faktanya ada segelintir ulama yang melemahkan hadis ini, dan kritikan para ulama yang melemahkan hadis ini terfokus pada dua faktor penting, yaitu:

Pertama, igah (lafal) qāla yang digunakan oleh Imam Bukhārī dalam meriwayatkan hadis ini, dan tidak menggunakan ṣigah (lafal) haddaanī dan haddaanā. Sighah (lafal) qāla ini mengindikasikan ta’liq atau sanad yang terputus antara Imam Bukhārī dan Hisyām bin Ammār.

Kedua, al-iḍṭirāb (kegoncangan) dalam sanad, yaitu keraguan dalam menyebut nama sahabat Nabi, antara Abū Mālik dan Abū ‘Āmir. Kegoncangan sanad ini menunjukkan buruknya kualitas hafalan perawinya dan ketidakjelasan derajat perawi yang namanya diragukan tersebut.

Baca juga:  HADIS KE-11 AL-ARBAIN: RAGU, TINGGALKAN SAJA

Adapun tanggapan terhadap dua faktor di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, igah (lafal) qāla yang digunakan oleh Imam Bukhārī dalam meriwayatkan hadis ini, mengindikasikan sanad yang terputus.

Yang melemahkan hadis ini dengan faktor di atas adalah Ibnu Hazm.[5]

Tanggapan:

  1. Ucapan Ibnu Hazm di atas sejatinya berkontradiksi dengan yang ditetapkan sendiri oleh beliau dalam kitabnya al-Ihkām, dimana beliau mengatakan,

وإذا علمنا أن الراوي العدل قد أدرك من روى عنه من العدول فهو على اللقاء والسماع، لأن شرط العدل القبول والقبول يضاد تكذيبه في أن يسند إلى غيره ما لم يسمعه منه إلا أن يقوم دليل على ذلك من فعله، وسواء قال حدثنا أو أنبأنا أو قال عن فلان أو قال قال فلان كل ذلك محمول على السماع منه

“Jika  diketahui bahwa perawi yang adil (kredibel) telah berjumpa dengan syekhnya yang adil pula (kredibel) maka dia telah berjumpa dengan syekhnya dan mendengarkan riwayat darinya, karena syarat bagi rawi yang adil (kredibel) adalah adalah diterimanya riwayatnya, dan perawi yang diterima riwayatnya tidak mungkin berdusta dengan menyandarkan riwayat yang tidak pernah ia dengar dari syeknya kecuali jika ada indikasi yang kuat dari perbuatannya terkait kedustaannya tersebut, baik ia menggunakan ṣigah (lafal) periwayatan haddaanā atau anba`anā atau menggunakan ṣigah ‘an fulan atau menggunakan ṣigah periwayatan qāla fulan. Semua ṣigah (lafal) periwayatan tersebut dihukumi dengan mendengar secara langsung dari syekh.”[6]

Berdasarkan ucapan Ibnu Hazm ini, riwayat Imam Bukhārī dari Hisyām bin Ammār dalam hadis tentang musik dihukumi dengan riwayat yang muttaṣil (bersambung) karena Hisyām bin Ammār adalah guru dari Imam Bukhārī, beliau mendengar dan berjumpa secara langsung dengan Hisyām bin Ammār, dan ini dibuktikan dengan ṣigah (lafal) periwayatan dalam sebagian hadis beliau dari Hisyām, yaitu haddaani[7] dan haddaanā[8].

  1. Hisyām bin Ammār adalah guru Imam Bukhārī. Beliau telah berjumpa dengan gurunya ini dan meriwayatkan hadis darinya. Imam Bukhārī juga sangat mengetahui kondisi dan derajat gurunya, sehingga periwayatan beliau dari Hisyām telah melewati seleksi. Oleh karenanya, berdasarkan fakta ini, jika Imam Bukhārī meriwayatkan dari gurunya ini dengan ṣigah (lafal) ‘an, maka tetap dihukumi dengan ittiṣāl (bersambung sanadnya) menurut kesepakatan para ulama, karena telah terealisasi syarat mu’āṣarah (sezaman) dan al-liqā(perjumpaan). Ketika Imam Bukhārī menggunakan ṣigah qāla dalam periwayatan, hukumnya sama dengan menggunakan ṣigah (lafal) ‘an.[9]
  2. Hisyām bin Ammār adalah guru Imam Bukhārī, namun mengapa beliau menggunakan ṣigah (lafal) periwayatan qāla dalam hadis tentang musik? Pertanyaan ini dijawab langsung oleh para ulama pakar hadis, di antaranya oleh Ibnu Ṣalāḥ, bahwa Imam Bukhārī jika meriwayatkan dengan ṣigah qāla fulan, maka kemungkinan beliau meriwayatkan dari gurunya dengan cara ‘ar (dengan cara sang murid -atau yang lainnya- membacakan atau meriwayatkan hadis, sedangkan sang guru mendengarkan dan menyimak) dan secara mużākarah.[10]
  3. Taruhlah pendapat Ibnu Hazm raḥimahullāh benar, bahwa riwayat Imam Bukhārī dari Hisyām bin Ammār terputus dalam hadis musik ini, maka Imam Bukhārī sejatinya tidak sendiri meriwayatkan hadis ini dari Hisyām bin Ammār, masih ada perawi yang lain yang meriwayatkannya, di antaranya,
  • riwayat Mūsā bin Sahl al-Jūnī al-Baṣrī, dari Hisyām bin Ammār, dari Ṣadaqah bin Khālid dan seterusnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ṭabrānī[11]. Mūsā bin Sahl al-Jūnī al-Baṣrī meriwayatkan dari Hisyām dengan ṣigah haddaanā. Derajat Musa bin Sahl Al-Jūni Al-Bashri adalah ṣadū[12]
  • riwayat Muḥammad bin Yazīd bin ‘Abdu al-Ṣamad al-Dimasyqī, dari Hisyām bin Ammār, dari Ṣadaqah bin Khālid dan seterusnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ṭabranī juga[13]. Derajat Muḥammad bin Yazīd bin Abdu al-Ṣamad Al-Dimasyqī adalah adūq.[14]
  • riwayat Ḥasan bin Sufyān al-Fasawī, dari Hisyām bin Ammār, dari Ṣadaqah bin Khālid dan seterusnya, sebagaimana diriwayatkan oleh al-‘Ismā’ilī dalam Mustakhraj-nya[15], dan dari jalur Imam Baihaqī[16]. Derajat Ḥasan bin Sufyān al-Fasawī adalah iqah.[17]
  1. Bahwa Hisyām bin Ammār tidak sendirian dalam meriwayatkan hadis ini, tetapi diriwayatkan oleh para perawi yang lain, sebagaimana telah diisyaratkan di awal takhrīj

Dengan pemaparan yang panjang lebar dan berlapis ini, maka hadis ini bisa dipastikan kevalidan penisbatannya kepada Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam, dan ṣigah (lafal) periwayatan qāla yang digunakan oleh Imam Bukhārī bukan illah (cacat) yang melemahkan hadis ini, namun justru menambah kredibilitas, ketelitian dan kepakaran Imam Bukhārī dalam disiplin ilmu hadis, khususnya hadis-hadis yang dipilih oleh beliau untuk kitab beliau yang fenomenal; Ṣaḥīḥ Bukhārī.

Kedua, al-iḍṭirāb (kegoncangan) dalam sanad, yaitu keraguan dalam menyebut nama sahabat Nabi, antara Abū Mālik dan Abū ‘Āmir. Yang melemahkan hadis ini dengan faktor ini adalah Ibnu Hazm juga,[18] yaitu keraguan dalam menyebutkan nama sahabat nabi; antara Abū Mālik dan Abū ‘Āmir. Pelemahan Ibnu Hazm terhadap hadis di atas dengan faktor ini karena sanad berkisar antara perawi yang ma’rūf (populer) yaitu Abū Mālik dan perawi yang majhūl (tidak dikenal) yaitu Abū ‘Āmir, dan bukan karena keraguan dalam menyebutkan nama sahabat nabi semata. Oleh karena itu, Ibnu Hazm raḥimahullāh mengatakan,

ثم هو إلى أبي عامر أو إلى أبي مالك، ولا يدرى أبو عامر هذا

“Kemudian hadis ini dinisbatkan kepada Abū Mālik atau Abū ‘Āmir, dan Abū ‘Āmir ini tidak dikenal.”[19]

Tanggapan:

  1. Mayoritas riwayat hadis menyebutkan sahabat secara ragu-ragu, yaitu antara Abū Mālik atau Abū ‘Āmir, namun ada sebagian riwayat yang tidak ragu-ragu dalam menyebutkan sahabat perawi hadis, yaitu Abū Mālik sebagaimana telah dipaparkan secara mendetail pada takhrīj Sebagai pengingat, kami akan mengulang takhrīj-nya, yaitu sebagai berikut:
Baca juga:  HADIS KE-28 AL-ARBA’IN: INIKAH NASIHAT PERPISAHAN?

Diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dalam al-Tarīkh al-Kabīr (956) dari Abū Ṣāliḥ Abdullāh bin Ṣāliḥ, Ibnu Majah (4020) dari jalur Ma’n bin ‘Īsā, dan Ibnu Abi Syaibah (24227) dan Ibnu Hibban (6758) dari jalur Zaid bin al-Hubab. Ketiganya (Abū Ṣāliḥ Abdullāh bin Ṣāliḥ, dan Ma’n bin ‘Īsā, dan Zaid bin al-Hubab) meriwayatkan dari Mu’āwiyah bin Ṣāliḥ, dari Hatim bin Huraiṡ, dari Mālik bin Abi Maryam, dari Abdurraḥmān bin Ganm, dari Abū Mālik al-Asy’arī, dari Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يَضْرِبُ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ بِالمَعَازِفِ وَاْلقَيْنَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمْ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ القِرَدَةَ وَالخَنَازِيْرَ

“Sekelompok umatku akan menenggak khamar dan melabelkan kepadanya nama bukan dengan nama aslinya, mereka menabuh alat musik dan nyanyian, sehingga Allah menenggelamkan mereka ke dalam tanah dan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”

Yang lebih benar, hadis ini adalah hadis Abū Mālik al-Asy’arī, sebagaimana dikuatkan oleh Imam Bukhārī[20] dan Ibnu Hajar al-‘Asqalanī[21].

  1. Para ulama telah menetapkan bahwa para sahabat nabi semuanya kredibel, dan orang yang telah valid kedudukannya sebagai sahabat nabi, disepakati kredibilitasnya dan diterima riwayatnya. Telah valid bahwa kedua nama perawi yang disebutkan secara ragu berpredikat sahabat nabi, yaitu:

Pertama, Abū Mālik al-Asy’arī, diperselisihkan namanya, sebagian ulama menyebutkan bahwa namanya adalah ‘Ubaid, sebagian yang lain menyebutkan bahwa namanya Abdullāh, atau Amr, atau Ka’ab bin Ka’ab, atau ‘Āmir bin Haris, seorang sahabat nabi, wafat saat terjadi Ṭā’un Amwas.[22]

Kedua, Abū ‘Āmir al-Asy’arī adalah seorang sahabat nabi, namanya adalah Abdullāh, atau ‘Ubaid bin Hani`, atau bin Wahb, hidup sampai kekhilafahan Abdulmalik.[23] Ibnu Hajar mengatakan,

وأما الاختلاف في كنية الصحابي فالصحابة كلهم عدول

“Adapun perselisihan yang terjadi pada kuniyyah sahabat, sesungguhnya seluruh sahabat Nabi memiliki kredibilitas.”[24]

Badruddin al-Ainī mengatakan,

قال المهلب: هذا حديث ضعيف لأن البخاري لم يسنده من أجل شك المحدث في ( الصاحب ) فقال: أبو عامر أو أبو مالك، قلت: هذا ليس بشيء إذ الترديد في الصحابي لا يضر إذ كلهم عدول

“Muhallab mengatakan, ‘Hadis ini lemah, karena Imam Bukhārī tidak menyebutkan sanadnya dengan sempurna, karena ada keraguan perawi dalam menyebutkan sahabat, dimana (perawi) mengatakan, ‘Abū ‘Āmir atau Abū Mālik’. Saya (Badruddin Al-Aini) mengatakan, ‘Faktor  (yang dianggap melemahkan hadis) tidak ada pengaruhnya, sebab keraguan yang terjadi pada sahabat tidak membahayakan hadis tersebut, sebab seluruh sahabat nabi memiliki kredibilitas’.”[25]

Dengan berakhirnya tanggapan dan sanggahan ini, dapat disimpulkan bahwa hadis tentang musik ini adalah hadis yang sahih, kritikan-kritikan yang datang kepadanya justru semakin menambah kejelasan validitasnya.

PENJELASAN HADIS:

Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ

“Akan ada sekelompok dari umatku yang menghalalkan.”

Lafal hadis ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan maksiat yang disebutkan di dalam hadis ini akan benar-benar terjadi secara masif di akhir zaman disebabkan karena ada penegasan-penegasan dalam lafal hadisnya, yang pertama lām taukīd, yang kedua nūn taukīd, bahkan bisa jadi pada zaman itu manusia justru merasa aneh terhadap orang-orang yang mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut.

Barangkali ada sanggahan bahwa hadis ini berkontradiksi dengan realita yang terjadi pada zaman Nabi, yang mana sebagian sahabat ada yang terjatuh ke dalam perbuatan zina dan minum khamar. Sanggahan ini dapat dijawab dengan dua hal: pertama, memang ada sebagian sahabat yang terjatuh ke dalam perbuatan zina dan minum khamar, namun mereka terjatuh ke dalam perbuatan tersebut bukan karena keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan ini halal dan boleh, namun mereka terjatuh ke dalam perbuatan tersebut karena dorongan nafsu, sedangkan hadis ini seakan menginformasikan tentang penghalalan perbuatan-perbuatan tersebut; kedua, memang ada sahabat Nabi yang melakukan zina dan minum khamar, namun jumlah mereka sangat sedikit, sedangkan hadis ini menginformasikan bahwa di akhir zaman minum khamar dan zina dilakukan secara masif oleh masyarakat, bahkan saking masifnya seakan perbuatan-perbuatan tersebut legal secara syariat (halal), bisa jadi merupakan kebiasaan masyarakat, dan pada zaman ini sabda Rasulullah ini terbukti, yang mana minum khamar dan zina ini tersebar secara masif di masyarakat barat.

Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam,

يَسْتَحِلُّونَ

“Yang menghalalkan.”

Lafal ini memiliki dua makna,

Pertama, kondisi masyarakat yang mempraktekkan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan di atas secara masif dengan masih meyakini keharamannya, karena perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan secara masif sehingga perbuatan tersebut seakan-akan halal di tengah masyarakat, padahal tidak demikian. Kemasifan masyarakat dalam mempraktekkan dan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut merupakan efek dari kungkungan nafsu yang ditimbulkan oleh konspirasi global terhadap masyarakat muslim. Makna ini tampak dengan gamblang pada riwayat yang lain yang telah dipaparkan pada takhrīj hadis, yaitu,

يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يَضْرِبُ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ بِالمَعَازِفِ وَاْلقَيْنَاتِ

“Sekelompok umatku akan menenggak khamar dan melabelkan kepadanya nama bukan dengan nama aslinya, mereka menabu alat musik dan (mendendang) nyanyian.”

Imam Baihaqī meriwayatkan dalam al-Sunan al-Kubrā[26], hadis Aisyah raiyallāhu ‘anhā dengan redaksi,

أن أبا مسلم الخولانى حج فدخل على عائشة زوج النبى صلى الله عليه وسلم فجعلت تسأله عن الشام وعن بردها فجعل يخبرها فقالت: كَيْفَ يَصْبِرُونَ عَلَى بَرْدِهَا؟ فَقَالَ : يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهُمْ يَشْرَبُونَ شَرَابًا لَهُمْ يُقَالُ لَهُ الطِّلاَءُ. فَقَالَتْ: صَدَقَ اللَّهُ وَبَلَّغَ حِبِّى سَمِعْتُ حِبِّى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ:((إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أُمَّتِى يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا))

Baca juga:  ISBAL: HARAM, MAKRUH, ATAU MUBAH?

“Bahwa Abū Muslim al-Khulanī berhaji, kemudian beliau menjumpai istri Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam, Aisyah raiyallāhu ‘anhā, lalu Aisyah menanyai beliau tentang daerah Syam dan tentang dinginnya cuaca daerah tersebut, ‘Bagaimana mereka bersabar dengan dinginnya daerah Syam’? Abū Muslim menjawab, ‘Wahai ummu al-mukminīn, sesungguhnya mereka mengkonsumsi sejenis minuman yang mereka namakan al-ila’’. Aisyah mengatakan, Maha Benar Allah, dan orang yang aku cintai (nabi Muḥammad) telah menyampaikan wahyu dari-Nya, saya mendengar Nabi  allallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya sekelompok umatku akan meminum khamar dan melabelkan kepadanya nama bukan dengan nama yang asli’.”

Kedua, menghalalkan yang diharamkan syariat, atau meyakini kehalalan perbuatan-perbuatan yang disebutkan di dalam hadis di atas, dan hal ini lebih berat dibanding makna yang pertama. Tentunya informasi ini menggambarkan pergeseran yang sangat besar yang terjadi di tengah umat Islam dan menggambarkan kebodohan yang menimpa umat, sehingga beberapa syariat menjadi samar hukumnya bagi mereka, perbuatan yang diharamkan oleh syariat berubah menjadi halal, dan perbuatan maksiat berubah menjadi perkara yang mubah.

Makna ini disimpulkan dari ancaman hukuman yang disebutkan di akhir hadis ini, yaitu sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam,

يَخْسِفُ اللهُ بِهِمْ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ القِرَدَةَ وَالخَنَازِيْرَ

“Allah menenggelamkan mereka ke dalam tanah dan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan  babi.”

Hukuman ini merupakan azab yang ditimpakan oleh Allah kepada kaum Yahudi sebelum Nabi Muḥammad diutus oleh Allah. Ketika hukuman ini ditimpakan pula kepada umat ini, hal ini menunjukkan betapa besarnya dosa dan perbuatan yang dilakukan oleh umat ini, dan diantara perbuatan yang sangat besar dosanya -bahkan dapat mengakibatkan kekufuran- adalah menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Imam Ibnu Majah menyebutkan hadis ini dalam Kitāb al-Fitan dalam Sunan-nya, seakan beliau mengisyaratkan bahwa dahsyatnya fitnah dan ujian yang menimpa umat ini berakibat pada terlepasnya mereka dari syariat dan agama, bahkan terjatuh ke dalam perbuatan-perbuatan kufur akbar. Beliau menyebutkan hadis ini dalam Bab “Uqūbāt” (Hukuman atau Azab). Mungkin beliau menyimpulkan bahwa perbuatan menghalalkan perkara yang diharamkan Allah ‘azza wa jalla terancam dengan hukuman dan siksa seperti yang ditimpakan kepada umat yang terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam tanah dan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi. Tidaklah Allah menimpakan hukuman dan azab ini kecuali bagi umat terdahulu yang kafir kepada Allah dari kaum Yahudi. Umat ini tidak terjamin aman dari hukuman-hukuman ini jika kemaksiatan tersebar secara masif dan merebaknya perbuatan-perbuatan kufur, apalagi jika tidak ditegakkan aktifitas amar makruf dan nahi mungkar.

Ibnu Hajar mengatakan,

وقوله صلى الله عليه وسلم:((يَسْتَحِلُّوْنَ)) قال ابن العربي: يحتمل أن يكون المعنى يعتقدون ذلك حلالا ويحتمل أن يكون ذلك مجازا على الاسترسال أي يسترسلون في شربها كالاسترسال في الحلال”

“Terkait dengan sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam, ‘yastaḥillūna’, Ibnu al-‘Arabi mengatakan, ‘Ada kemungkinan maknanya bahwa mereka meyakini kehalalan dan kebolehan perbuatan maksiat tersebut (padahal menurut syariat haram), dan ada kemungkinan juga mengandung makna majaz, yaitu bermakna melakukan perbuatan maksiat tersebut secara terus menerus, atau meminum khamar secara terus menerus seakan melakukan perbuatan yang halal dan boleh’.”[27]

Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam,

وَالْمَعَازِفَ

“Dan alat-alat musik.”

Lafal ma’āzif adalah jamak dari ma’zafah yang maknanya ālātu al-malā atau ālātu allahwi yang maknanya alat musik[28]. Ibnu Aṡir menjelaskan makna ma’āzif ini dengan contoh, yaitu al-‘īdān (sejenis kecapi), al-barābi (sejenis kecapi atau biola), al-anbūr (sejenis gendang)[29]. Pada zaman ini, lafal ma’āzif  ini lebih populer dengan istilah alat musik.[30]

 


Footnote: 

[1] Silakan merujuk ke Taqribu al-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, hal. 281, 374, 380, 433, 711. Cetakan: Baitu Al-Afkar Al-Dauliyah, pentahqiq: Hassān Abdulmannān.

[2] Pujian dan kritikan para ulama terhadap Hisyām bin Ammār dapat dirujuk di al-Hadyu al-Sari (1/448-449), Mizanu al-I’tidal (4/303), Tahzibu al-Tahzib (11/46).

[3]  Taqribu al-Tahzib, hal. 641.

[4]  Akan datang penjelasannya.

[5]  Al-Muhalla Fi Al-Atsar (7/565), dan Al-Ghina’ Al-Mulhi karya Ibnu Hazm (1/434).

[6] Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm (2/21).

[7] Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis nomor: 3661.

[8] Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis nomor: 2078.

[9]  Tahżību Sunan Abi Dawud (2/595).

[10] Muqaddimah Ibnu Ṣalāḥ, hal. 70.

[11] Al-Mu’jam al-Kabīr (3/282) nomor hadis: 3417.

[12]  Irsyādu al-Qaṣi wa al-Danī, hal. 656.

[13] Musnad al-Syamiyīn (1/334) nomor hadis: 588.

[14]  Irsyādu al-Qaṣi wa al-Danī, hal. 634.

[15] Mengutip dari al-Jamā’ Baina al-Ṣaḥīḥaini Ma’a Tamyīzi Zawaidihi ‘alā al- Ṣaḥīḥaini (3/691).

[16]  Sunan Kubrā (3/272) nomor hadis:  6317.

[17]  Mīzānu al-I’tidāl (1/492).

[18]  Al-Ginā’ al-Mulhi, karya Ibnu Hazm (1/434).

[19]  Idem.

[20]  Al-Tarīkh al-Kabīr (1/305).

[21] Tahżību al-Tahżīb (12/129-130).

[22]  Taqribu al-Tahżīb, hal. 722.

[23]  Idem, hal. 711.

[24]  Tagliqu al-Ta’līq (5/22).

[25]  ‘Umdatu al-Qāri’ (31/165).

[26]  (8/512) nomor hadis: 17844.

[27]  Fatḥu al-Bārī (10/55).

[28]  ‘Umdatu al-Qāri` (31/166).

[29]  Al-Nihāyah fī Garībi al-Ḥadīṡ (4/370).

[30]  Mu’jam al-Wasīt (2/891).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments