HADIS PERMISALAN MUKMIN BERSIFAT LEBAH

3594
HADIS PERMISALAN MUKMIN BERSIFAT LEBAH
HADIS PERMISALAN MUKMIN BERSIFAT LEBAH
Perkiraan waktu baca: 3 menit

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 68-69)

عَنْ أَبِي رَزِينٍ لَقِيْطِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النَّحْلَةِ لَا تَأْكُلُ إِلَّا طيِّباً ولا تضع إلا طيباً

Dari Abu Razin Laqit bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Permisalan seorang mukmin ibarat seekor lebah, dia tak makan kecuali yang baik dan tak memberi kecuali yang baik pula.”[1]

Di dalam riwayat ‘Abdullah bin ‘Amru, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ طَيِّبًا، فَلَمْ تَفْسُدْ وَلَمْ تُكْسَرْ

“Dan permisalan seorang mukmin ibarat seekor lebah. Dia hanya memakan yang baik, tak memberi kecuali yang baik, dan hinggap dengan baik, maka dia tak merusak tangkai dan tak mematahkannya.”[2]

⁕⁕⁕

Ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah adalah lafaz yang mengumpulkan segala sesuatu yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala berupa perbuatan dan perkataan, zahir maupun batin.[3] Ibadah adalah tujuan yang Allah azza wajalla cintai dan inginkan dari penciptaan jin dan manusia. Dia berfirman,

Baca juga:  PERMISALAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM DAN UMATNYA

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”[4]

Oleh karena tujuan yang agung ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para nabi dan rasul-Nya dengan membawa risalah yang hak untuk disampaikan kepada umat manusia. Risalah yang berisi satu perintah utama, yaitu firman-Nya,

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia.”[5]

Para ulama berbeda pendapat mengenai ibadah yang paling afdal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara pendapat yang disebutkan bahwa ibadah yang paling afdal adalah ibadah yang memberikan manfaat terbanyak kepada diri sendiri dan orang lain seperti meringankan sesama yang sedang kesulitan, menunaikan hajat dan kebutuhan mereka, dan berkhidmat kepada bangsa dan negara dengan perkataan, perbuatan, harta, jabatan, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesamanya.”[6]

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, sungguh jika satu orang saja diberi petunjuk oleh Allah melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.”[7]

Pendapat ini juga dikuatkan dengan dalil akli bahwa semakin banyak manfaat yang didapatkan dari sebuah ibadah maka semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memisalkan seorang mukmin ibarat seekor lebah yang hanya mendatangkan manfaat bagi diri dan selainnya.

Seekor lebah tak makan kecuali yang baik dan tak memberi kecuali yang baik pula. Maka orang mukmin hendaknya mengetahui dari mana sumber penghidupannya dan akan dikemanakan ia? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Baca juga:  PERMISALAN TENTANG ALIM YANG LUPA DIRI

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ… وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga dia ditanya tentang empat hal, (di antaranya) tentang hartanya, dari mana dia memperolehnya dan kemana dia membelanjakannya?”[8]

Apabila seekor lebah hinggap, dia tak mematahkan tangkai dan tak merusak kembang. Maka seorang mukmin hendaknya menjadi rahmat bagi masyarakatnya, dengan mengajarkan ilmu, mensucikan jiwa, dan mengarahkan potensi mereka kepada jalan kebaikan. Bukan justru menjadi sebab fitnah, kerusakan, perselisihan, pertikaian, dan keburukan lainnya.

Selain dari apa yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas, seekor lebah memiliki kekhususan dan kemiripan yang lainnya dengan seorang mukmin. Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan bahwa sisi kesamaan antara seorang mukmin dan seekor lebah adalah sifat saling kasih antara sesama yang dimiliki oleh lebah, kecerdikannya, tidak mengganggu lingkungan, manfaat yang diberikannya, kesederhanaannya, etos kerja di malam hari, menghindari kotoran, makanannya yang baik dan ia tak makan dari kerja lebah yang lain, serta tunduk kepada pemimpinnya. Ia terhalang dari kerjanya oleh beberapa hal: kegelapan, kabut, angin, asap, air, dan api, sebagaimana orang beriman yang terhalang dari kebajikan karena beberapa hal: gelapnya kelalaian, kabut syak, angin fitnah, asap perbuatan haram, air kelapangan hidup, dan api hawa nafsu.[9]

 


Footnote:

[1] HR. Ibnu Hibban nomor 247, dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam “Ta’liqat Hisan” nomor 247.

[2] HR. Al-Hakim nomor 253, dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam “Silsilah Shahihah” nomor 2288.

[3] Al-Fatawa al-Kubra 5/154.

[4] QS. Adz-Dzariyat ayat 56.

[5] QS. Hud ayat 50.

Baca juga:  PERMISALAN TENTANG UMAT TERBAIK

[6] HR. Al-Qudha’i nomor 129, dihasankan sanadnya oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah Shahihah nomor 426.

[7] HR. Bukhari nomor 3009 dan Muslim nomor 2406.

[8] HR. At-Tirmidzy nomor 2417, dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam “Silsilah Shahihah” nomor 946.

[9] An-Nihayah fil Gharib 5/29.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments