HADIS KEDUA PULUH SATU: BERSUNGGUH-SUNGGUH DI SEPULUH MALAM TERAKHIR

82
BERSUNGGUH SUNGGUH DI SEPULUH MALAM TERAKHIR
Perkiraan waktu baca: 3 menit

Hadis 21: Bersungguh-Sungguh di Sepuluh Malam Terakhir

Dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, beliau berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh terakhir (dari bulan Ramadan), maka beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh (dalam beribadah) serta mengencangkan sarungnya.” Muttafaqun ‘alaihi

Dalam riwayat Muslim, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (dalam beribadah) ketika memasuki sepuluh terakhir (dari bulan Ramadan), melebihi kesungguhan beliau pada hari-hari selainnya.”[1]

Hadis di atas menunjukkan bahwa sepuluh terakhir dari bulan Ramadan memiliki keistimewaan khusus yang tidak dimiliki hari-hari selainnya, sehingga sejatinya seorang muslim lebih meningkatkan ketaatan dan ibadah di dalamnya seperti salat, zikir, dan membaca Al-Qur’an.

Pada hadis di atas juga, ibunda ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā menyifati Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (ketika memasuki sepuluh terakhir dari bulan Ramadan) dengan empat sifat, yakni:

Pertama, “menghidupkan malamnya” yaitu Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam begadang untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ketaatan, sekaligus beliau menghidupkan jiwa beliau dengan cara begadang pada malam-malam itu karena pada dasarnya tidur adalah saudara dari kematian. Maksudnya adalah bahwa beliau menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadan dengan salat dan ibadah lainnya kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Adapun larangan untuk menghidupkan keseluruhan malam (dengan beribadah) -sebagaimana dalam hadis Abdullah bin ‘Amr[2]– dipahami bahwa larangan tersebut hanya berlaku jika seseorang merutinkannya pada setiap malam di sepanjang tahun[3].

Makna lain dari perkataan ‘Ā’isyah, “menghidupkan malamnya”, adalah bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menghidupkan sebagian besar malamnya, dan makna ini dikuatkan oleh riwayat lain yang juga dari ‘Ā’isyah, beliau berkata,  “Saya tidak pernah melihat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam salat malam hingga pagi hari.”[4]

Baca juga:  ANCAMAN BAGI PEMUTUS SILATURAHMI

Kedua, “membangunkan keluarganya” yaitu istri-istri beliau yang suci, ibunda kaum mukminin raāiyallāhu ‘anhunna, agar mereka juga dapat meraih keutamaan malam-malam tersebut dengan memperbanyak zikir dan ibadah lainnya di waktu yang diberkahi itu.

Ketiga, “dan bersungguh-sungguh” yaitu Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah di luar daripada ibadah yang beliau lakukan pada dua puluh malam pertama dari bulan Ramadan karena pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadan terdapat malam lailatulqadr.

Keempat, “mengencangkan sarungnya” yaitu sebagai bentuk kiasan terhadap kesungguhan Rasulullah dalam beribadah di malam-malam mulia tersebut. Di antara makna “mengencangkan sarungnya” yaitu bahwa Rasulullah menjauhi istri-istrinya, dan inilah makna yang lebih tepat karena penyebutannya bersambung dengan kalimat sebelumnya. Hal lain yang menguatkan makna ini adalah bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam beriktikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, sementara orang yang beriktikaf dilarang berhubungan suami istri.

Ketahuilah, sesungguhnya sepuluh hari ini merupakan penutup bulan Ramadan, dan amalan itu tergantung pada akhirnya. Boleh jadi seseorang mendapatkan malam lailatulqadr dalam keadaan salat dan bermunajat kepada Allah, sehingga ia mendapatkan ampunan dosa yang telah berlalu. Oleh karena itu, hendaknya bagi seorang muslim di malam-malam mulia tersebut menigkatkan kualitas ibadahnya dan menutupi kekurangan di dalamnya yang mungkin ia lalai darinya di awal-awal bulan Ramadan, dan juga senantiasa bersabar dalam ketaatan karena ketahuilah sesungguhnya amalan itu tergantung pada akhirnya.

Di antara kebiasaan para salaf terdahulu -dari kalangan umat ini- adalah mereka memanjangkan salat-salatnya sebagai bentuk iqtidā’ terhadap Nabi mereka ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Al-Saib bin Yazīd berkata, “Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu memerintahkan Ubai bin Ka’ab dan Tamim al-Dārī raḍiyallāhu ‘anhumā untuk mengimami kaum muslimin salat malam pada bulan Ramadan sebanyak sebelas rakaat, lalu Umar berkata, ‘Dahulu Rasulullah mengimami kami dengan membaca ratusan ayat pada satu rakaat sampai-sampai kami harus bersandar pada sebuah tongkat saking lamanya berdiri, dan tidaklah kami selesai dari salat kecuali menjelang waktu subuh’.”[5]

Baca juga:  LARANGAN MENCELA DAN MEMBUNUH SEORANG MUSLIM

Pada bulan Ramadan juga terkumpul pada diri seorang muslim dua jenis jihad, yaitu:

  1. Jihad di siang hari dengan berpuasa.
  2. Jihad di malam hari dengan qiyām.

Sehingga jika seorang muslim mengumpulkan kedua jenis jihad ini pada dirinya dan menunaikan hak-hak keduanya, maka ia akan termasuk dalam golongan orang-orang yang bersabar dengan balasan pahala yang tak terhingga.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim hendaknya memotivasi keluarganya dalam meningkatkan kualitas ibadah mereka, terkhusus di musim seperti ini (yaitu bulan Ramadan). Tidaklah seseorang menyia-nyiakannya kecuali orang yang diharamkan oleh Allah dari kebaikannya, karena sekedar membangunkan saja, semua orang mampu melakukannya, namun yang lebih penting dari itu dan yang diharapkan adalah bagaimana seseorang mampu mengarahkan keluarganya untuk menghidupkan malam-malam mulia itu, dan mewanti-wanti mereka agar tidak menyia-nyiakan waktu mulia tersebut dengan sekedar ngobrol yang tidak bermanfaat. Yang lebih parah lagi jika seseorang menghabiskan waktu malamnya dengan perkumpulan-perkumpulan haram, karena itulah tanda kerugian seseorang. Kita memohon kepada Allah keselamatan.

Ya Allah, bangunlah kami dari lelapnya tidur-tidur kami agar mampu mengejar sisa umur (dengan memperbanyak amal saleh), dan berilah kami taufik dalam memperbanyak amalan kebaikan, serta jadikanlah kami golongan orang-orang yang diterima amalan ibadah puasanya, yang dibahagiakan dalam ketaatan kepada-Mu, yang dosanya ditutupi dari manusia. Sebagaimana kami memohon kepada-Mu Ya Allah agar mengampuni dosa-dosa kami, dosa orang tua kami dan dosa seluruh kaum muslimin.

 


Footnote:

[1] H.R.Bukhari: 2024 dan Muslim: 1174.

[2] Lihat: H.R.Bukhari: 1974 dan Muslim: 1159.

[3] Lihat: Majmū’ Fatāwā: 22/308.

[4] H.R.Muslim: 141, 746, dan lihat pula: Laṭā’iful Ma’ārif: hal. 216-217.

Baca juga:  HADIS KE-10 AL-ARBAIN: SUDAH LAMA BERDOA NAMUN TIDAK TERKABUL, MUNGKIN INI SEBABNYA

[5] Diriwayatkan Imam Malik dalam Muwaṭṭa: 1/115, dan sanadnya sahih. Al-Saib bin Yazīd salah seorang sahabat junior.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments