HADIS KEDELAPAN BELAS: HUKUM PUASA BAGI ORANG SAKIT DAN MUSAFIR

650
HADIS KEDELAPAN BELAS HUKUM PUASA BAGI ORANG SAKIT DAN MUSAFIR
HADIS KEDELAPAN BELAS HUKUM PUASA BAGI ORANG SAKIT DAN MUSAFIR
Perkiraan waktu baca: 4 menit

SERIAL PENJELASAN RINGKAS HADIS TENTANG PUASA(1)

Daftar Isi:

REDAKSI HADIS:

عن أَنَس بن مالك رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَافَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ، فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ. متفق عليه

Artinya:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Saya dahulu bersafar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Bulan Ramadan, ketika itu orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa dan juga orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

TAKHRIJ HADIS:

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih Bukhari, no. 1947, dan Imam Muslim, dalam kitabnya, Shahih Muslim, no. 1121.

BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADIS:

Silakan dilihat kembali: https://markazsunnah.com/anas-bin-malik-sosok-khadim-sunah/

SYARAH HADIS:

Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang musafir yang sedang berpuasa diberi pilihan antara tetap berpuasa –ketika dia memandang dirinya mampu berpuasa di saat safar- atau memilih tidak berpuasa –ketika dia memandang dengan tidak berpuasa akan memberi kekuatan lebih dalam melakukan safar- dan dia akan mengganti puasa yang ditinggalkannya di hari yang lain karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menyalahkan para sahabat yang tetap berpuasa juga tidak menyalahkan mereka yang tidak berpuasa. Sikap Nabi ketika mendiamkan sesuatu menunjukkan kebolehan hal tersebut, dan ini menjadi bagian dari hujah atau dalil. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam itu mudah, walillahilhamd. Allah subhanahu wa taala berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya: “Dan barang siapa yang sakit atau melakukan safar maka baginya mengganti di hari-hari lain. Allah menginginkan untuk kalian kemudahan dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (Q.S Al-Baqarah: 185)

Baca juga:  JIKA TIDAK MAMPU MEMBEDAKAN HAID DAN ISTIHADAH

Maka rukhshah (kemudahan) dengan tidak berpuasa terikat oleh safar –bukan karena kesulitan yang dihadapi-. Maka jika ada seorang bersafar dengan mengendarai pesawat maka boleh tidak berpuasa, karena dia sedang bersafar meninggalkan negerinya.

Banyak dalil yang menunjukkan bahwa seorang musafir jika mendapati dalam safarnya ada kesulitan dan kesusahan yang berat maka hukum pauasa baginya adalah haram. Pada saat perang Fathu Makkah, nabi menyaksikan ada beberapa sahabat yang nampak kelelahan dan kesulitan karena memilih tetap berpuasa. Maka nabi meminta air minum dan meminum air tersebut dengan disaksikan oleh para sahabat. Kemudian seorang menyampaikan kepada Rasulullah, “Sesungguhnya beberapa diantara mereka berpuasa.” Nabi pun bersabda,

أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

Artinya: “Mereka bermaksiat, mereka bermaksiat.”(2)

Adapun jika seorang musafir saat berpuasa merasakan masyakah walaupun tidak begitu berat maka sebaiknya dia memilih haknya untuk tidak berpuasa sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai ketika rukhshah-Nya (kemudahan-Nya) dilaksanakan, sebagaimana Allah membenci ketika kemaksiatan dilaksanakan.”(3)

Di riwayat yang lain,

كَمَا يحب أن تؤتى عزائمه

“Sebagaimana Allah mencintai ketika ketaatan dilaksanakan.”(4)

Adapun jika puasa tidak menyulitkan seorang musafir maka dia memilih yang lebih mudah baginya. Adapun jika keadaanya berimbang antara tetap berpuasa dan tidak berpuasa, maka tetap berpuasa lebih afdal sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi, dan lebih cepat terlaksananya kewajiban, dan lebih bersemangat berpuasa ketika dilakukan bersama-sama.

Adapun bagi seorang yang sedang sakit, ketika dia mampu berpuasa tanpa ada kesusahan dan mudarat maka wajib baginya tetap berpuasa. Kalau tidak bisa maka baginya tidak perlu berpuasa, sebagaimana keumuman ayat,

Baca juga:  MENGUSAP KHUF PADA SAAT BERWUDU SETELAH KENCING

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya: “Dan barangsiapa yang sakit atau bersafar maka baginya mengganti di hari-hari lain. Allah menginginkan untuk kalian kemudahan dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan (Q.S Al-Baqarah: 185)

Ketika sakit melanda seseorang di siang hari dan dia sedang berpuasa kemudian dia mendapati dirinya kesulitan untuk menyempurnakan puasanya, maka boleh baginya membatalkan puasanya kapan pun waktunya dikarenakan adanya uzur menurut syariat yang membolehkan untuknya tidak berpuasa.

Adapun orang yang sudah berumur dan renta yang tidak mampu berpuasa, maka wajib baginya memberi makan satu orang miskin dengan jumlah makanan sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa padanya. Dia juga boleh memilih antara memberi makanan kepada banyak orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa di dalamnya. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud gandum dengan kualitas baik –ukuran satu mud setara 563 gram– atau memilih membuat makanan dan mengundang orang orang miskin dengan kadar makanan yang disiapkan sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa di dalamnya.

Sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa beliau tidak mampu berpuasa satu bulan penuh di tahun tersebut, maka beliau membuat masakan semangkuk besar dari tsarid (makanan dari roti yang diremuk lalu dimasukkan ke dalam gandum) dan mengundang 30 orang miskin dan menjadikan mereka kenyang dengan makanan tersebut.(5)

Adapun bagi seorang yang sudah tua dan mengidap pikun dan ia tidak mampu membedakan antara waktu pikun dan tidak pikunnya, maka tidak diwajibkan qada dan juga tidak diwajibkan memberikan makan, karena ia tergolong orang yang tidak diwajibkan berpuasa. Adapun ketika ia mampu membedakan kapan ia pikun dan tidak pikun, maka wajib baginya berpuasa ketika ia dalam keadaan sadar dan ingat,(6)wallahualam.

Baca juga:  HADIS KE-35 AL-ARBA’IN: HAK-HAK PERSAUDARAAN DALAM ISLAM (BAGIAN PERTAMA)

Ya Allah sesungguhnya kami berlindung dengan rida-Mu dari murka-Mu, dan kami berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, kami tidak mampu menghitung pujian kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau puji pada diriMu.”

Kami memohon kepada-Mu menunjuki kepada kami amal dan akhlak yang saleh, sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dari kami, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Ya Allah ampunilah kami dan kedua orang tua kami serta seluruh kaum muslimin.

 


Footnote:

(1) Disadur dari kitab Mukhtashar Ahāditsi al– Ṣiyām, karya Syekh Abdullah bin Sālih al-Fauzān hafizhahullah dengan sedikit perubahan dan tambahan seperlunya.

(2) H.R. Muslim (1114) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu.

(3) H.R. Ahmad (10/112), Ibnu Khuzaimah (950), Ibnu Hibban (6/451) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dengan sanad sahih.

(4) H.R. Ibnu Hibban (8/333) dan al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir (no. 11881) dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pada hadis ini terdapat syawahid (penguat) dari beberapa sahabat ridwanullahi ‘alaihim.

(5) Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (no. 7570), Ibnu Abi Syaibah (7/533), al-Daraquthni (2/207), sanadnya sahih kuat. Lihat: Syarh al-‘Umdah, Kitab Puasa (2/260).

(6) Lihat: Majalis Ramadhan, karya Syekh Muhammad bin Utsaimin (h. 28).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments