HADIS KE-37 Al-ARBA’IN: BENTUK KASIH SAYANG ALLAH DALAM AMALAN HAMBANYA

1841
BENTUK KASIH SAYANG ALLAH DALAM AMALAN HAMBANYA
BENTUK KASIH SAYANG ALLAH DALAM AMALAN HAMBANYA
Perkiraan waktu baca: 4 menit

Allah begitu penyayang. Di antara nama Allah adalah al-Ramān dan al-Raīm yang mengandung akar kata “rahmat” atau kasih sayang. Di antara bentuk kasih sayang Allah kepada manusia tergambar dalam hadis yang begitu agung berikut ini.

عَن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النبي ﷺ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالى أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ الله كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ؛ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَاف كَثِيْرَةٍ. وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً. رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ في صَحِيْحَيهِمَا بِهَذِهِ الحُرُوْفِ

Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu ‘anhumā meriwayatkan dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda tentang sesuatu yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya tabāraka wa ta’ālā, “Sesungguhnya Allah menetapkan adanya kebaikan dan keburukan, kemudian Dia menjelaskannya. Barang siapa yang bermaksud untuk mengerjakan amal kebaikan namun ia belum mengerjakannya, Allah pasti mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika dia bermaksud mengerjakan kebaikan dan melaksanakannya, Allah mencatat baginya dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang begitu banyak. Apabila dia bermaksud mengerjakan keburukan namun belum dikerjakan, Allah akan mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna. Apabila dia bermaksud mengerjakannya keburukan dan melaksanakannya, Allah akan mencatat baginya satu kejelekan saja.” (H.R.  Bukhari dan Muslim)

Hadis ini dikenal dengan hadis qudsi, yaitu hadis yang berisi riwayat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dari Allah subḥānahu wa ta’ālā.

Hadis ini menjelaskan perbedaan antara maksud berbuat baik dan berbuat buruk. Penjelasan terkait hal ini adalah sebagai berikut.

  1. Seseorang bermaksud dan berazam mengerjakan amal kebaikan namun ia tidak mengerjakannya disebabkan oleh rasa malas atau adanya kesibukan lainnya, ia dijanjikan mendapat pahala (niat) kebaikan tersebut.
  2. Seseorang bermaksud dan berazam mengerjakan amal kebaikan. Ia pun menempuh segala sebab yang dapat mengantarkannya untuk mengerjakan kebaikan tersebut namun terdapat halangan yang merintanginya mengerjakan amalan itu. Para ulama mengatakan bahwa ia mendapatkan pahala niat dan pahala amalan kebaikan itu. Dalam hadis Abī Kabsyah al-Anmāri, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Baca juga:  HAKIKAT ORANG YANG KUAT

أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ :إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا؛ فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا؛ فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا؛ فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا؛ فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Aku akan mengatakan suatu hal pada kalian, hendaklah kalian menjaganya, ‘Sesungguhnya dunia itu untuk empat orang; pertama, seorang hamba yang dikarunia Allah harta dan ilmu. Dengan ilmu, ia bertakwa kepada Allah dan dengan harta ia menyambung tali silaturahmi dan ia mengetahui hak Allah padanya. Inilah adalah tingkatan yang paling baik; kedua, hamba yang diberi Allah ilmu tapi tidak diberi harta, niatnya tulus, ia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan seperti amalan si Fulan’, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, pahala mereka berdua sama; ketiga, hamba yang diberi harta oleh Allah tapi tidak diberi ilmu, ia serampangan menggunakan hartanya tanpa ilmu, ia tidak takut kepada Rabb-nya. Dengan harta itu, ia tidak menyambung silaturahmi dan tidak mengetahui hak Allah padanya. Ini adalah tingkatan terburuk; keempat, selanjutnya orang yang tidak diberi Allah harta atau pun ilmu, ia berkata, ‘Andai aku punya harta tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukan si Fulan yang serampangan mengelola hartanya’, ia pun dibalas dengan apa yang ia niatkan, dosa keduanya sama’.”[1]

  1. Seseorang berazam dan bermaksud melaksanakan suatu kebaikan, ia pun lantas melakukannya. Berdasarkan hadis ini, orang ini akan mendapatkan pahala kebaikan yang sempurna dan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, tujuh ratus kali, hingga kelipatan yang tidak terhingga.
  2. Seseorang bermaksud melakukan suatu keburukan dan ia pun mengerjakannya. Ini terhitung sebagai satu dosa. Di sinilah tampak begitu sayangnya Allah kepada hamba-Nya. Keburukan yang dikerjakan tidak dilipatgandakan.
  3. Seseorang berazam untuk melakukan suatu keburukan, ia pun menempuh segala sebab untuk mengerjakannya. Namun terdapat halangan yang merintanginya mengerjakan keburukan itu. Para ulama mengatakan bahwa orang seperti ini tetap mendapatkan dosa. Contohnya ialah seseorang yang ingin minum miras. Ia pun mengumpulkan uang, lalu pergi ke toko yang menjual minuman haram tersebut untuk membelinya, namun ternyata miras tersebut sudah habis atau tidak beredar lagi di pasaran. Ia pun tidak mampu minum miras disebabkan hal tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, orang seperti ini tetap memikul dosa meminum minuman keras. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Baca juga:  HADIS KEDUA PULUH EMPAT: KEUTAMAAN ISTIGFAR DAN BERDOA DI AKHIR MALAM

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim bertemu dengan menghunuskan pedangnya, si pembunuh dan yang dibunuh sama-sama di neraka.” Saya (Abu Bakrah) bertanya, “Wahai Rasulullah, saya maklum terhadap si pembunuh, lantas apa dosa yang dibunuh?” Nabi menjawab, “Sesungguhnya dia juga berkeinginan membunuh kawannya.”[2]

  1. Seseorang berniat mengerjakan sebuah dosa lalu ia menarik diri karena rasa takutnya kepada Allah. Ia pun meninggalkan dosa dan berharap Allah memberinya pahala karena meninggalkan dosa itu. Orang seperti ini mendapatkan pahala satu kebaikan. Dalam sebuah hadis disebutkan,

قَالَتْ الْمَلَائِكَةُ: رَبِّ ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً -وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ-. فَقَالَ: ارْقُبُوهُ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ

“Para malaikat berkata, ‘Wahai Rabb, hamba-Mu itu ingin mengerjakan sebuah keburukan’. Tentu Allah lebih mengetahui hal itu. Allah pun berfirman, ‘Awasilah! Jika ia mengerjakannya maka tulislah sebagai satu keburukan dan jika ia meninggalkannya maka tulislah untuknya satu kebaikan, sebab dia meninggalkan hal itu karena rasa takutnya kepada-Ku’.”[3]

  1. Seseorang berpikir untuk mengerjakan sebuah keburukan, namun ia meninggalkannya begitu saja hanya karena tidak ingin dan bukan karena takut kepada Allah. Lintasan pikiran seperti ini tidak terhitung sebagai dosa dan juga tidak terhitung sebagai pahala saat ditinggalkan. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

“Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang dikatakan oleh hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.”[4]

Baca juga:  HADIS MEMBELAKANGI KIBLAT PADA SAAT BUANG HAJAT

Perlu diingat bahwa sebuah dosa bisa semakin berat jika dikerjakan pada tempat tertentu, waktu tertentu, juga keadaan tertentu. Misalnya, dosa semakin berat jika dikerjakan di tanah haram, pada bulan-bulan haram, atau dilakukan dalam keadaan faktor pendorong melakukan dosa begitu sedikit. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ

“Ada tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan tidak menyucikan mereka dan tidak melihat kepada mereka serta mereka mendapatkan siksa yang pedih, yaitu orang tua yang penzina, pemimpin yang pendusta dan orang fakir yang sombong.”[5]


Footnote:

[1] H.R. Tirmizi (2247) dan Ahmad (17339). Imam Tirmizi berkata, “Hadis ini hasan sahih.”

[2] H.R. Bukhari (30, 6367) dan Muslim (5140).

[3] H.R. Ahmad (7872).

[4] H.R. Bukhari (4864) dan Muslim (181).

[5] H.R. Muslim (156).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments