40 HADIS PERMISALAN PILIHAN Arsip - MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH Wed, 24 Nov 2021 11:16:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 AKHIR ZAMAN MENDEKAT https://markazsunnah.com/akhir-zaman-mendekat/ https://markazsunnah.com/akhir-zaman-mendekat/#respond Wed, 24 Nov 2021 11:15:58 +0000 http://markazsunnah.com/?p=3129 عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ. عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ. الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ. كَلَّا سَيَعْلَمُونَ. ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak! kelak mereka mengetahui.” (Q.S. al-Naba: 1-5) عَنْ ثَوْبِانَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُوْشِكُ الأُمَمُ […]

Artikel AKHIR ZAMAN MENDEKAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ. عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ. الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ. كَلَّا سَيَعْلَمُونَ. ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ

“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak! kelak mereka mengetahui.” (Q.S. al-Naba: 1-5)

عَنْ ثَوْبِانَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُوْشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَينْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ المَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيُقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ الوَهْنَ. فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا الوَهْنُ ؟ قَالَ: حُبُّ الدُنْيَا وَكَرَاهِيَةُ المَوْتِ

Dari Ṡaubān raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka’. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Apakah karena jumlah kami sedikit pada hari itu, wahai Rasulullah’? Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bahkan kamu pada hari itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di waktu banjir. Dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu. Dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit wahn’. Sahabat lainnya bertanya kembali, “Apakah wahn itu’? Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cinta dunia dan takut mati’.“[1]

⁕⁕⁕

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan jauh-jauh hari akan tibanya akhir zaman sebagai zaman fitnah. Zaman yang dipenuhi dengan keburukan dimana setiap manusia merasa yakin akan kebinasaannya akibat ujian, musibah dan fitnah di kala itu. Dalam kecemasannya terhadap umat ini,  Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam secara eksplisit menyebutkan jenis fitnah yang paling ditakutkan. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَاللَّهِ مَا الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang saya khawatirkan atas kalian. Namun yang saya khawatirkan adalah jika kalian diberi kemakmuran dunia sebagaimana telah diberikan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka, sehingga akhirnya dunia membinasakan kalian sebagaimana mereka telah binasa.”[2]

Beliau juga bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Saya tidak meninggalkan satu fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain ujian wanita.”[3]

Beratnya ujian pada masa fitnah tersebut dan sulitnya seseorang untuk selamat darinya, digambarkan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ

“Akan datang suatu zaman kepada manusia, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.”[4]

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ عَلَى الْقَبْرِ فَيَتَمَرَّغَ عَلَيْهِ، وَيَقُولَ: يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ، وَلَيْسَ بِهِ الدِّينُ إِلَّا الْبَلَاءُ

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, dunia ini tidak akan berakhir hingga seseorang berjalan melewati sebuah kuburan lalu ia mengais-ngais di atasnya dan berkata, ‘Sungguh celaka! Andai saja saya yang menempati kuburan ini’, ia melakukannya bukan karena agama, melainkan karena bala bencana yang menimpanya.”[5]

Sayangnya, demi Allah, sebagian besar dari fitnah-fitnah tersebut sudah sangat lazim disaksikan pada hari ini. Kekayaan dan kemakmuran dunia yang diperebutkan. Berapa banyak majelis-majelis kita yang isinya semata hanya untuk persoalan dunia? Harkat dan martabat yang diagung-agungkan. Berapa banyak usaha yang dilakoni untuk membentuk topeng sandiwara dunia? Fitnah wanita yang melenakan. Berapa banyak kerusakan akibat kedangkalan ilmu kita? Semuanya hampir-hampir merenggut iman yang separuh jiwa. Ditambah tekanan musuh-musuh Allah yang menginginkan dan menggelontorkan semua yang mereka miliki untuk keburukan Islam dan kaum muslimin. Pemurtadan berkedok perbandingan agama, penyesatan berkedok perbandingan mazhab dan masih sangat banyak macam usaha mereka untuk mengambil karunia yang Allah berikan di tangan kaum muslimin; karunia Islam dan iman, karunia keamanan dan kedamaian. Ibarat kaum muslimin seperti makanan yang dicabik dan dikoyak tak berdaya. Ibarat buih di waktu banjir tak berharga.

Olehnya, hari ini setiap muslim tidak boleh merasa cukup dengan sekadar ritual dan rutinitas ibadah harian mereka. Namun sebaliknya, mereka hendaknya memiliki ilmu yang cukup untuk melawan syubhat dan syahwat godaan fitnah akhir zaman.

 


Footnote: 

[1] H.R. Abu Dawud nomor 4297, disahihkan oleh Syekh al-Albānī dalam Silsilah Ṣaḥīḥah nomor 958.

[2] H.R. Bukhārī nomor 4015 dan Muslim nomor 2961.

[3] H.R. Bukhārī nomor 5096 dan Muslim nomor 2740.

[4] H.R. Al-Tirmiżī nomor 2260, disahihkan oleh Syekh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Jamī’ Ṣagīr nomor 8002.

[5] H.R. Ibnu Majah nomor 4037, disahihkan oleh Syekh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Jamī’ Ṣagīr nomor 7082.

Artikel AKHIR ZAMAN MENDEKAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/akhir-zaman-mendekat/feed/ 0
AJAL YANG MENDAHULUI https://markazsunnah.com/ajal-yang-mendahului/ https://markazsunnah.com/ajal-yang-mendahului/#respond Wed, 17 Nov 2021 06:47:36 +0000 http://markazsunnah.com/?p=3116 وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Apabila telah tiba waktunya […]

Artikel AJAL YANG MENDAHULUI pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (Q.S. al-Nahl: 61)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ: خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا مُرَبَّعًا، وَخَطَّ خَطًّا فِي الوَسَطِ خَارِجًا مِنْهُ، وَخَطَّ خُطَطًا صِغَارًا إِلَى هَذَا الَّذِي فِي الوَسَطِ مِنْ جَانِبِهِ الَّذِي فِي الوَسَطِ، وَقَالَ: هَذَا الإِنْسَانُ، وَهَذَا أَجَلُهُ مُحِيطٌ بِهِ – أَوْ: قَدْ أَحَاطَ بِهِ – وَهَذَا الَّذِي هُوَ خَارِجٌ أَمَلُهُ، وَهَذِهِ الخُطَطُ الصِّغَارُ الأَعْرَاضُ، فَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا، وَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا

Dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menggaris sebuah persegi empat, lalu menggariskan sebuah garis di dalam persegi empat itu yang menjorok keluar, dan di sekitar garis tengah digariskan pula garis-garis kecil yang banyak, kemudian beliau bersabda, ‘Garis di tengah ini adalah ibarat seorang manusia yang dikelilingi oleh persegi empat berupa ajalnya. Garis yang menjorok keluar ini adalah angan-angannya, sedangkan garis-garis kecil yang banyak adalah musibah. Jika ia tak ditimpa musibah yang ini maka ia akan ditimpa musibah yang lainnya’.”[1]

⁕⁕⁕

Memiliki harapan dan cita-cita adalah sebuah fitrah yang dibawa oleh setiap manusia. Harapan yang ingin dicapai bahkan telah diajarkan dan ditanamkan sejak dini oleh kedua orang tuanya. Rasulullah bersabda,

أَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ: عَبدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقُهَا: حَارِثٌ وهَمَّامٌ

“Nama yang paling dicintai Allah adalah ‘Abdullāh dan ‘Abdurraḥman. Nama yang paling benar adalah Hāriṡ dan Hammām.”[2]

Mengapa Hāriṡ dan Hammām? Karena Hāriṡ bermakna usaha, sedangkan Hammām bermakna keinginan. Seperti apa seseorang kelak? Wajah setiap manusia di masa yang akan datang dapat dilihat dari masa sekarang, bagaimana usaha dan kegigihan mereka untuk menggapai harapan yang dimiliki adalah cara untuk melihatnya.

Memiliki harapan tentu saja adalah hal yang sangat penting, untuk mengukur sejauh mana tingkat usaha dan keberhasilan seseorang dalam menaiki anak-anak tangga menuju impiannya. Selain itu, harapan menjadi penyulut semangat hidup seseorang yang akan mengalami kegagalan demi kegagalan guna meraih cita-cita tertingginya. Namun apakah semua harapan dan cita-cita itu baik?

Segala sesuatu jika telah keluar dari batas kewajaran tentu saja akan tercela. Dalam hal ini, apabila harapan dan cita-cita senantiasa diperturutkan dan menjadi satu-satunya tujuan hidup hingga melupakan dirinya dari kehidupan akhirat dan tujuan penciptaan dirinya untuk beribadah kepada Allah, saat itu syariat memberikan batasan-batasan agar tidak berakhir dengan kerugian dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, melalui hadis di atas, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya untuk bersikap waspada terhadap cita-cita dan angan-angan panjang yang tak ada hentinya, berhati-hati dari cinta dunia dan lupa akan kematian dan kehidupan akhirat. Allah subḥānahu wa ta’ālā berfirman,

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”[3]

Di antara kesenangan yang memperdayakan itu adalah angan-angan yang panjang. Allah ‘azza wa jalla berfirman di ayat yang lainnya,

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), sehingga kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).”[4]

Ibnu Baṭṭāl raḥimahullāh menjelaskan bahwa hadis di atas menggambarkan bahwa angan-angan, ajal dan musibah-musibah yang menimpa seseorang, semuanya dimisalkan dengan garis. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjadikan garis ajal mengelilingi seseorang dan garis angan-angan, harapan dan cita-cita serta musibah-musibah berada di luar dari garis ajal itu. Kalau dicermati, garis ajal itu lebih dekat kepada seseorang dibandingkan garis angan-angan dan musibah dunia, yang mengisyaratkan agar seorang mukmin hendaknya tidak berangan-angan yang panjang, sebab kematian senantiasa mengintainya. Adapun orang yang lupa akan kematian, sangat pantas baginya untuk waspada akan kedatangannya yang tidak disangka-sangka sedang ia berada dalam keadaan lalai, wal ‘iyażubillāh.

Olehnya, hendaknya setiap mukmin merasa rida terhadap apa yang diperingatkan atas mereka dan bersungguh-sungguh untuk melawan angan-angan panjang dan hawa nafsu dengan memohon pertolongan dari Allah subḥānahu wa ta’ālā.[5]

Hadis di atas juga sekaligus menjadi terapi yang baik bagi orang yang tertimpa musibah dan bencana. Sebab musibah-musibah yang dialaminya dalam kehidupan dunia, masih jauh lebih ringan dibandingkan dengan datangnya ajal kematian sedang ia berada dalam keadaan yang lalai. Sehingga menjadi sebuah kewajiban atas setiap mukmin untuk mempersiapkan dirinya dengan amalan-amalan yang saleh guna menghadapi perjalanan panjang kehidupan akhirat yang melalui pintu kematian. ‘Āli bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Dunia pergi meninggalkan, sedang akhirat datang menjemput, dan setiap kehidupan tersebut ada anak-anak yang memakmurkannya. Jadilah anak-anak yang memakmurkan akhirat dan jangan menjadi anak-anak yang memakmurkan dunia, karena hari ini adalah masa beramal dan bukan masa perhitungan, sedangkan esok adalah masa perhitungan dan tak ada lagi masa beramal.”[6]

 


Footnote:

[1] H.R. Bukhārī nomor 6417.

[2] H.R. Abu Dawud nomor 4950, disahihkan Syekh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Sunan Abi Dawud nomor 4950.

[3] Q.S. Ali-‘Imran ayat 185.

[4] Q.S. Al-Hijr ayat 3.

[5] Syarḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī 10/150.

[6] Ṣaḥīḥ Bukhārī 8/89.

Artikel AJAL YANG MENDAHULUI pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/ajal-yang-mendahului/feed/ 0
BERBAHAGIALAH ORANG-ORANG YANG BERTOBAT https://markazsunnah.com/berbahagialah-orang-orang-yang-bertobat/ https://markazsunnah.com/berbahagialah-orang-orang-yang-bertobat/#respond Wed, 27 Oct 2021 03:01:51 +0000 http://markazsunnah.com/?p=3073 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. al-Tahrim: 8) عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ […]

Artikel BERBAHAGIALAH ORANG-ORANG YANG BERTOBAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. al-Tahrim: 8)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ الْمُؤْمِنِ، مِنْ رَجُلٍ فِي أَرْضٍ دَوِّيَّةٍ مَهْلِكَةٍ، مَعَهُ رَاحِلَتُهُ، عَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ وَقَدْ ذَهَبَتْ، فَطَلَبَهَا حَتَّى أَدْرَكَهُ الْعَطَشُ، ثُمَّ قَالَ: أَرْجِعُ إِلَى مَكَانِيَ الَّذِي كُنْتُ فِيهِ، فَأَنَامُ حَتَّى أَمُوتَ، فَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى سَاعِدِهِ لِيَمُوتَ، فَاسْتَيْقَظَ وَعِنْدَهُ رَاحِلَتُهُ وَعَلَيْهَا زَادُهُ وَطَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَاللهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ مِنْ هَذَا بِرَاحِلَتِهِ وَزَادِهِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh Allah lebih berbahagia dibandingkan seseorang yang berada di gurun yang tandus bersama untanya, padanya terdapat makanan dan minumannya, lalu ia tertidur. Ketika terbangun, untanya telah pergi meninggalkannya. Ia mencarinya hingga kehausan, lalu ia berkata, ‘Lebih baik aku kembali ke tempatku semula, lalu tidur sembari menanti kematianku’. Ia kembali dan tidur dengan meletakkan kepalanya di atas lengannya menunggu kematian tiba. Hingga ia terbangun dan mendapati unta, makanan dan minumannya Kembali. Allah lebih berbahagia dengan tobatnya seorang mukmin daripada kebahagiaan orang itu dengan unta dan bekalnya’.”[1]

⁕⁕⁕

Hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Kadang kita mendapatkan karunia yang tak terkira nilainya, dan tidak jarang pula kita tersandung oleh aral rintangan di tengah jalan. Memang seperti itulah kehidupan dunia, karunia dan ujian dating silih berganti tanpa henti sebagai ujian penilaian kualitas iman dan takwa hingga seorang hamba menghembuskan napas terakhirnya. Allah subḥānahu wa ta’ālā berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”[2]

Selain ujian eksternal yang diberikan oleh Allah, seorang hamba juga diuji dengan faktor internal atau jiwa yang dimiliki, sebab Allah subḥānahu wa ta’ālā telah menanamkan jalan ketakwaan dan kefasikan dalam diri setiap manusia. Allah berfirman,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”[3]

Oleh karenanya, beruntunglah orang yang menyucikannya dan sangat merugi orang yang mengotori jiwanya dengan dosa dan kedurhakaan kepada Allah yang telah mengaruniakan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Namun apakah hanya seperti itu kehidupan seseorang? Apakah hidup untuk memperturutkan hawa nafsu semata? Apakah hidup untuk memaksimalkan potensi guna mendapatkan bagian dunia sebanyak-banyaknya, karena telah putus asa dari kehidupan akhirat yang jauh lebih mulia dan bahagia dibanding pangkat, kehormatan, mahkota, dan harta kerajaan dunia? Jawabannya tentu tidak.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengetahui beratnya beban hidup para pelaku dosa dan maksiat. Beliau merasa iba kepada mereka yang terbelenggu oleh siksa perbuatan syirik, bid’ah, khurafat, dusta, zina, khamar, korupsi, judi dan dosa-dosa yang lainnya. Karena itu, sebelum mereka menutup hati dan mata dari jalan hidayah, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang kebahagiaan dan keridaan Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā terhadap tobat seorang hamba.

Beliau memisalkan bahwa seorang yang terdampar di tanah antah berantah yang tandus tak ada apa-apa di sana sejauh mata memandang. Ia beristirahat bersama unta dan perbekalannya. Ketika sedang beristirahat, ia lupa untuk mengikat kendaraannya hingga ia tak sadar kalau untanya telah pergi. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke sana ke mari mencari unta dan perbekalannya hingga ia kehausan namun tak kunjung membuahkan hasil. Ia pun pasrah dan telah siap menghadapi kematiannya di tempat yang tak ia kenal seorang diri. Namun, apa yang terjadi berikutnya adalah sebuah keajaiban. Dalam keadaan pasrah akan takdirnya, sayup-sayup matanya ia buka dari tidur matinya dan nampak di hadapan kedua bola matanya, untanya kembali datang kepadanya dan bersamanya perbekalan yang ia miliki.

Kebahagiaan apa yang dapat dapat mengalahkan kebahagiaan seseorang yang selamat dari kematian? Ialah keridaan Allah terhadap tobat seorang hamba. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائَبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertobat dari dosa bagaikan orang yang tak memiliki dosa.”[4]

Seperti apa tobat yang diridai oleh Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā?

Syeikh Ibnu Baz raḥimahullāh menjelaskan bahwa tobat yang diridai oleh Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā dan yang akan menghapus dosa apapun adalah tobat yang nasuha, yang tulus kepada-Nya. Allah berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[5]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”[6]

Adapun syarat-syarat tobat nasuha, ada tiga. Pertama, menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan dengan penyesalan yang tulus. Kedua, berhenti dari perbuatan dosa tersebut dan meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, kecil ataupun besar. Ketiga, bertekad kuat untuk tidak kembali terjerumus ke dalam dosa yang sama di waktu mendatang. Sedangkan jika dosa tersebut berkaitan dengan hak seseorang yang belum ditunaikan atau diambil dengan cara yang haram maka wajib hukumnya untuk dikembalikan dan diselesaikan sebagai bentuk kesempurnaan tobat dengan ketiga syarat sebelumnya.[7]

 


Footnote:

[1] H.R. Muslim nomor 2744.

[2] Q.S. al-Anbiya ayat 35.

[3] Q.S. al-Syams ayat 7-8.

[4] H.R. Ibnu Majah nomor 4250, dihasankan oleh Syekh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Jāmi’ Ṣagīr nomor 3008.

[5] Q.S. al-Nur ayat 31.

[6] Q.S. al-Tahrim ayat 8.

[7] Majmū’ Fatāwā, 28/446.

Artikel BERBAHAGIALAH ORANG-ORANG YANG BERTOBAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/berbahagialah-orang-orang-yang-bertobat/feed/ 0
TIGA KEKASIH https://markazsunnah.com/tiga-kekasih/ https://markazsunnah.com/tiga-kekasih/#respond Wed, 13 Oct 2021 07:51:23 +0000 http://markazsunnah.com/?p=3040 الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ […]

Artikel TIGA KEKASIH pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الرَّجُلِ وَمَثَلُ الْمَوْتِ كَمَثَلِ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ خِلَّانٍ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: هَذَا مَالِي فَخُذْ مِنْهُ مَا شِئْتَ، وَقَالَ الْآخَرُ: أَنَا مَعَكَ حَيَاتَكَ فَإِذَا مِتَّ تَرَكْتُكَ، وَقَالَ الْآخَرُ: أَنَا مَعَكَ أَدْخُلُ وَأَخْرُجُ مَعَكَ إِنْ مِتَّ، وَإِنْ حَيِيتَ، فَأَمَّا الَّذِي قَالَ خُذْ مِنْهُ مَا شِئْتَ وَدَعْ مَا شِئْتَ فَإِنَّهُ مَالُهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ عَشِيرَتُهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَهُوَ عَمَلُهُ

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Permisalan antara seseorang dan kematian ibarat orang yang memiliki tiga orang kekasih. Kekasih pertama berkata, “Ini adalah hartaku, silakan mengambilnya sebanyak yang kamu inginkan.” Kekasih kedua berkata, “Aku akan bersamamu sepanjang hayat, apabila kamu mati maka aku akan meninggalkanmu.” Dan kekasih ketiga berkata, “Aku akan bersamamu hidup dan mati.” Kekasih yang berkata, “Ambillah hartaku sebanyak yang kamu inginkan” maka ia adalah hartanya. Adapun yang kedua maka ia adalah keluarganya, sedangkan yang terakhir adalah amalannya.”[1]

⁕⁕⁕

Kematian adalah kepastian yang akan menjemput setiap yang bernyawa. Ia adalah batas akhir kehidupan yang tak dapat dikoreksi walaupun barang sedetik. Alih-alih seseorang menyibukkan diri dengan mencari tanda-tanda tibanya hari kiamat, kematian dirinya sendiri hakikinya adalah kiamat untuknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian kemudian hanyalah kepada Kami (Allah) kamu dikembalikan.”[2]

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu ajal, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.”[3]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memisalkan antara seseorang dengan kematian yang sedang ia tuju ibarat hidup bersama tiga orang kekasih. Kata “kekasih” sendiri bermakna orang yang mencintai seseorang secara tulus. Kekasih pertama adalah harta yang sepanjang hidup dicari dan diusahakan dengan bersusah payah, ada yang menjadikannya tunduk di dalam genggamannya dan tidak sedikit pula yang memahkotakannya sebagai raja di dalam hatinya. Namun di detik-detik terakhir kehidupan seseorang, sang kekasih ini tak sanggup untuk menemaninya. Ia bahkan meninggalkannya dan menjadi kekasih yang lainnya.

Kekasih kedua adalah keluarga yang menjaganya, merawatnya, membesarkannya, membelanya dan mencintainya sepanjang hidup. Namun apalah daya, kesemuanya hanyalah berbatas pada kesanggupan mereka. Ketika tiba masanya seseorang dimasukkan ke dalam liang lahad, para keluarga, orang tua, saudara, istri, dan anak-anaknya harus naik kembali dari lubang berukuran 2×1 meter itu dan meninggalkannya seorang diri. Sayang, kekasih ketiga meskipun lebih sering tidak diacuhkan dan dibiarkan begitu saja, namun justru ialah yang siap menemaninya hidup dan mati.

Ketiga kekasih tersebut memiliki kemiripan yang sama bahwa mereka semuanya siap menemani seseorang dalam hidupnya, namun hanya yang terakhir yang dapat menjelma menjadi kekasih sejati yang menemaninya bahkan setelah kematiannya. Keistimewaan lainnya, di saat kedua kekasih: harta dan keluarga merupakan bagian dari apa yang dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi setiap hamba, maka hanya kekasih ketiga, yaitu amalan yang dibebankan kepada seorang hamba untuk dicari, dipelajari, diamalkan, dan dijaga. Bahkan, harta dan keluarga pun dapat menjadi jalan kebajikan, sehingga dengan demikian semakin tampak kepantasan amalan untuk menjadi kekasih yang sejati dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, melalui hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak berpesan kepada setiap muslim untuk banyak mengingat kematian dan mempersiapkan apa yang dapat dibawa pulang menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ

“Perbanyaklah mengingat penghancur segala kenikmatan, yaitu kematian.”[4]

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ

“Orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk kehidupan akhirat, mereka itulah orang yang cerdas.”[5]


Footnote:

[1] HR. Al-Bazzar nomor 3273 dan Al-Hakim nomor 1376, disahihkan Syekh Al-Albany dalam “Silsilah Shahihah” nomor 2481.

[2] QS. Al-‘Ankabut ayat 57.

[3] QS. Al-A’raf ayat 34.

[4] HR. At-Tirmidzy nomor 2307, An-Nasai nomor 1824 dan Ibnu Majah nomor 4258, disahihkan Syekh al-Albany dalam “Irwaul Ghalil” nomor 682.

[5] HR. Ibnu Majah nomor 4259, dihasankan Syekh al-Albany dalam “Silsilah Shahihah” nomor 1384. 

Artikel TIGA KEKASIH pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/tiga-kekasih/feed/ 0
SETETES DUNIA DAN SELAUT AKHIRAT https://markazsunnah.com/setetes-dunia-dan-selaut-akhirat/ https://markazsunnah.com/setetes-dunia-dan-selaut-akhirat/#respond Wed, 06 Oct 2021 06:12:12 +0000 http://markazsunnah.com/?p=3016 وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali-‘Imran: 133) عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ […]

Artikel SETETES DUNIA DAN SELAUT AKHIRAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali-‘Imran: 133)

عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ ؟

Dari al-Mustawrid bin Syaddād raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat melainkan ibarat seseorang yang mencelupkan jari teluntuknya ke dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa di jarinya bila dikeluarkan dari laut’?”[1]

⁕⁕⁕

Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tidak pernah rida menjadikan kehidupan dunia sebagai tolak ukur kebahagiaan seseorang dan tidak pula menjadi tempat pembalasan bagi mereka yang saleh atau yang buruk. Allah berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ، كَلَّا

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian).”[2]

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Andai kehidupan dunia senilai dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya Dia takkan memberikan seteguk air pun bagi orang yang kafir.”[3]

Oleh karenanya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam banyak hadis tentang hakikat dan kedudukan kehidupan dunia dibandingkan dengan akhirat. Ia datang dengan berbagai macam permisalan untuk menyadarkan umatnya tentang rendahnya kehidupan dunia di sisi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Allah berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”[4]

Di antara sabda-sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang menggambarkan kedudukan dunia adalah hadis di atas. Beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memisalkannya ibarat seseorang yang mencelupkan jari telunjuknya ke dalam lautan lalu mengeluarkannya kembali. Lihatlah apa yang menetes dari jarinya, itulah kehidupan dunia. Sedangkan air lautan yang begitu banyak membentang di hadapan manusia adalah ibarat kehidupan akhirat.

Makna hadis ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Qāḍī ‘Iyāḍ raḥimahullāh bahwa kadar kehidupan dunia dari sisi ruang, ukuran, dan kekurangannya adalah hal yang sangat sedikit apabila dibandingkan dengan kehidupan akhirat,[5] bahkan tak ada sesuatupun yang sama antara dunia dan akhirat melainkan sebatas persamaan namanya saja. Adapun hakikatnya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadis qudsi-Nya,

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر، مِصْدَاقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ: فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Aku telah mempersiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh apa yang tak pernah dipandang oleh mata, tak pernah didengarkan oleh telinga, dan tak terbetik sedikitpun dalam hati seorang manusia. Bukti kebenaran hal tersebut adalah firman Allah, ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan’.”[6]

Al-Qāḍī ‘Iyāḍ raḥimahullāh menambahkan bahwa seorang penghuni surga bisa diberikan kenikmatan sepuluh kali lipat dari kehidupan dunia, padahal dia adalah orang yang memiliki kedudukan yang paling rendah di dalam surga kelak.[7] Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”[8]

Imam al-Nawawi raḥimahullāh juga menjelaskan bahwa di antara makna hadis di atas adalah perbandingan antara dunia dan akhirat dalam hal kefanaan dunia dan masa singkat yang dilalui oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Hingga Allah mengibaratkan bahwa dunia hanyalah senda gurau semata apabila dibandingkan dengan kekalnya kehidupan akhirat kelak. Allah berfirman,

وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”[9]

Cukuplah kematian menjadi pembeda yang paling nyata antara dunia dan akhirat, bahwa di akhir kehidupan setiap orang, dia akan kembali pulang ke salah satu dari dua kampung halamannya, surga atau neraka, dan ia akan kekal di dalamnya.


Footnote:

[1] H.R. Muslim nomor 2858.

[2] Q.S. al-Fajr ayat 15-17.

[3] H.R. al-Tirmiżī nomor 2320, disahihkan oleh Syekh al-Albānī dalam “Silsilah Ṣaḥīḥah” nomor 686.

[4] Q.S. al-Hadīd ayat 20.

[5] Ikmāl al-Mu’lim 8/390.

[6] H.R. Bukhari nomor 3244 dan Muslim nomor 2824.

[7] Ikmāl al-Mu’lim 8/390.

[8] Q.S. Āli-‘Imrān ayat 133.

[9] Q.S. al-Hajj ayat 47.

Artikel SETETES DUNIA DAN SELAUT AKHIRAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/setetes-dunia-dan-selaut-akhirat/feed/ 0
HARI KIAMAT https://markazsunnah.com/hari-kiamat/ https://markazsunnah.com/hari-kiamat/#respond Wed, 29 Sep 2021 03:39:22 +0000 http://markazsunnah.com/?p=2992 الْقَارِعَةُ. مَا الْقَارِعَةُ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ. يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ. وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ. فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ. فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ. وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ. فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ. نَارٌ حَامِيَةٌ “Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti laron yang […]

Artikel HARI KIAMAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
الْقَارِعَةُ. مَا الْقَارِعَةُ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ. يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ. وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ. فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ. فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ. وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ. فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ. نَارٌ حَامِيَةٌ

“Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Adapun orang yang berat timbangan kebaikannya, dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Sedangkan orang yang ringan timbangan kebaikannya, tempat kembalinya adalah hāwiyah. Tahukah kamu apakah neraka hāwiyah itu? Yaitu api yang sangat panas.” (QS. al-Qāri’ah: 1-11)

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ، قَالَ: وَضَمَّ السَّبَّابَةَ وَالْوُسْطَى

Dari Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Aku diutus dan hari kiamat ibarat 2 jari ini’, lalu beliau merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.”[1] 

⁕⁕⁕

Manusia akan melewati beberapa siklus alam sepanjang kehidupannya, dimulai dengan alam ruh ketika jasad manusia belum diciptakan oleh Allah Ta’ālā. Selanjutnya berpindah ke alam rahim sebagai tempat penciptaan jasad dan penentuan takdir-takdir atas manusia berupa kebahagiaan atau kesengsaraan, rezeki, amalan, dan ajalnya. Setelah lahir, ia berpindah ke alam dunia sebagai tempat ujian atas persaksian yang diikrarkannya bahwa Allah Subḥānahu wa Ta’ālā adalah Pencipta dan Tuhannya. Di akhir kehidupannya, ketika ajal telah menemuinya, ia memasuki alam kubur atau barzakh sebagai tempat penantian hari kiamat sekaligus tibanya alam terakhir, alam akhirat.

Diutus sebagai pemberi peringatan, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam senantiasa mewanti-wanti umatnya melalui banyak hadisnya akan kedatangan hari kiamat. Bahkan ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di awal kenabian baginda Muḥammad ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah ayat-ayat yang menceritakan tentang hari kiamat, kehidupan akhirat, surga dan neraka, agar hati manusia selalu terpaut kepada kehidupan akhirat yang kekal dan agar mereka beramal dengan sebaik-baiknya karena yakin akan ada hari pembalasan terhadap setiap perbuatan mereka di dunia.

Selain menanamkan keyakinan tentang kebenaran hari kiamat dan alam akhirat, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam juga memperingatkan tentang dekatnya hari tersebut. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  berfirman,

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari kiamat. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu hanya di sisi Allah. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya.”[2]

Ummul Mukminin, Zainab binti Jahsy raḍiyallāhu ‘anhā mengisahkan bahwa suatu hari Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan panik, ketika itu beliau bersabda,

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ فُتِحَ اليَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ، وَحَلَّقَ بِإِصْبَعَيْهِ الإِبْهَامِ وَالَّتِي تَلِيهَا، قَالَتْ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ ؟ قَالَ: نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الخُبْثُ

“Tiada Tuhan yang berhak disembah dengan hak kecuali Allah, kecelakaan akan menimpa orang-orang Arab dari bahaya yang semakin mendekat, hari ini tembok penghalang Ya’juj dan Ma’juj telah terbuka sebesar ini”, lalu beliau membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Zainab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa sedang di tengah-tengah kami masih ada orang-orang yang saleh?” Rasulullah bersabda, “Iya, apabila keburukan kian merebak.”[3] 

Dalam hadis lainnya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam menganalogikan dekatnya hari kiamat dengan masa diutusnya beliau dan hari kiamat itu sendiri, ibarat jari telunjuk yang direkatkan dengan jari tengah. Al-Qāḍi ‘Iyāḍ raḥimahullāh menjelaskan bahwa hadis ini berisi perumpamaan untuk menjelaskan pendeknya jarak antara pengutusan Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dan hari kiamat. Bahkan, seakan-akan tidak ada jarak pemisah antara keduanya sebagaimana tidak ada jari pemisah antara telunjuk dan jari tengah karena memang tak ada lagi nabi yang diutus setelah beliau, sehingga apa yang tiba selanjutnya adalah kedatangan hari kiamat. Perumpamaan ini juga menjelaskan kadar jarak antara diutusnya beliau dan tibanya hari kiamat, seperti jarak antara ujung telunjuk dan ujung jari tengah,[4] sedangkan panjang jari telunjuk itu sendiri adalah usia kehidupan dunia yang telah lewat.

Hadis ini juga mengajarkan bahwa perumpamaan dan isyarat yang digunakan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam menyampaikan ilmu, kerap justru jauh lebih kuat dibandingkan dengan sekadar perkataan dan ucapan saja. Apalagi memang beliau tak mengetahui kapan hari kiamat tiba, sehingga analogi dekatnya hari kiamat menjadi pilihan yang tepat untuk menjelaskan urgennya beramal saleh, bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha, dan mempersiapkan diri dengan bekal takwa.

Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka menanyakan kepada kamu tentang hari kiamat, ‘Kapankah terjadinya’? Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu berada di sisi Tuhanku, tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Allah. Kiamat itu amat berat bagi makhluk yang ada di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba’. Mereka bertanya kepadamu seakan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’.”[5]

Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah ditanya, “Kapankah hari kiamat itu?”,beliau menjawab, “Dan apakah yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya?”[6]


Footnote:

[1] H.R. Bukhari nomor 6504 dan Muslim nomor 2951.

[2] Q.S. al-Ahzab ayat 63.

[3] H.R. Bukhari nomor 7135 dan Muslim nomor 2880.

[4] Ikmāl Mu’lim, 3/268.

[5] Q.S. al-A’raf ayat 187.

[6] H.R. Bukhari nomor 3688 dan Muslim nomor 2639.

Artikel HARI KIAMAT pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/hari-kiamat/feed/ 0
PERMISALAN TENTANG HIKMAH MUSIBAH https://markazsunnah.com/permisalan-tentang-hikmah-musibah/ https://markazsunnah.com/permisalan-tentang-hikmah-musibah/#respond Wed, 15 Sep 2021 08:28:02 +0000 http://markazsunnah.com/?p=2966 وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ “Dan sungguh akan Kami memberikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, […]

Artikel PERMISALAN TENTANG HIKMAH MUSIBAH pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami memberikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji’ūn’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Baqarah: 155-157)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ المُؤْمِنِ كَمَثَلِ الخَامَةِ مِنَ الزَّرْعِ، مِنْ حَيْثُ أَتَتْهَا الرِّيحُ كَفَأَتْهَا، فَإِذَا اعْتَدَلَتْ تَكَفَّأُ بِالْبَلاَءِ، وَالفَاجِرُ كَالأَرْزَةِ، صَمَّاءَ مُعْتَدِلَةً، حَتَّى يَقْصِمَهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ

Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Perumpamaan seorang mukmin seperti tanaman yang diterpa angin ke kanan dan ke kiri, senantiasa mengalami cobaan. Sedangkan permisalan orang munafik dan kafir seperti pohon aras yang tegak dan kokoh tak pernah digoyangkan angin hingga Allah membinasakannya jika Dia berkehendak’.”[1]

⁕⁕⁕

Bukan rahasia lagi bahwa sebuah ujian akan menjadi pilihan pertama untuk mengidentifikasi kemampuan seseorang dalam bidang apapun. Melalui ujian itu, seseorang akan menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Jika ada yang bertanya, ”Mengapa Allah menciptakan kehidupan dunia ini?” Jawabannya adalah sebagai tempat ujian.

Manusia adalah makhluk yang telah ditakdirkan oleh Allah menjadi khalifah dengan tanggung jawab pemurnian ibadah kepada-Nya, pemakmuran dan pendayagunaan segala sesuatu yang ada di dunia. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.[2]

Ujian tersebut bermacam-macam bentuknya, dan siapapun akan menerimanya sebagai bagian dari sunnatullāh. Namun hadis di atas memberikan pelajaran penting bahwa ujian yang datang dari Allah sangat bergantung pada keadaan setiap manusia. Keadaan mereka yang akan menjadi barometer jenis dan tingkat kesulitan ujian dari Allah Ta’ālā. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى قَدْرِ دِينِهِ، ذَاكَ فَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَاكَ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَاكَ

“Seseorang akan diuji berdasarkan keimanannya. Jika imannya kuat maka ia akan diuji sebatas kekuatan imannya, dan jika imannya lemah maka ia akan diuji pula sekadar imannya.”[3]

Pelajaran lainnya adalah bahwa seorang mukmin akan senantiasa dilanda ujian dan cobaan ibarat sebuah tanaman yang tak henti diterpa angin ke kanan dan ke kiri. Sebaliknya, seorang munafik atau kafir takkan mengalami hal yang sama. Namun sekali ia tertimpa bala bencana, hal itu dapat menjadi sebab kebinasaannya jika Allah berkehendak.

Ujian yang terus melanda seorang mukmin sejatinya adalah bagian dari bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Hanya saja, Dia tak menyingkap tabir hikmah cobaan-cobaan tersebut, tetapi untuk melihat siapa di antara mereka yang memilih untuk bersabar dengannya. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً، فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ

“Tak ada sesuatupun yang menimpa seorang mukmin sampai duri yang menusuknya melainkan Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala atau menghapuskan dosanya.”[4]

Bahkan dalam lanjutan hadis riwayat Ahmad sebelumnya disebutkan, “Dan seorang hamba senantiasa tertimpa musibah dan cobaan sampai ia berjalan di muka bumi tanpa menanggung satupun dosa kepada-Nya”.

Lebih dari itu, kebaikan mana lagi yang lebih mulia dibandingkan berdiri di hadapan pintu rahmat Allah memohon karunia dan belas kasih-Nya? Menampakkan penghambaan yang totalitas dan rasa butuh kita terhadap pertolongan-Nya, menundukkan seluruh ego dan kecongkakan serta menyobek semua topeng keduniaan yang selama ini dikenakan, bahwa sejujurnya kita adalah makhluk yang hina lemah tak berdaya kekuatan. Sedangkan Dia Allah satu-satunya Zat yang Maha Pengasih lagi Penyayang, Maha Kaya yang tak membutuhkan apapun, Maha Kuat yang berkuasa atas segala sesuatu, Maha Berkehendak atas apapun. Allah berfirman,

الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ. وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ. وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ. وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ

Dialah Allah yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi hidayah kepadaku. Dan Dialah yang memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit maka Dialah yang menyembuhkanku, dan yang mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali.”[5]

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Sesungguhnya apabila Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’.”[6]

 


Footnote:

[1] H.R. Bukhari nomor 5644 dan Muslim nomor 2809.

[2] Q.S. al-Balad ayat 4.

[3] H.R. Ahmad nomor 1555 dengan sanad yang hasan.

[4] H.R. Muslim nomor 2572.

[5] Q.S. al-Syu’ara ayat 78-81.

[6] Q.S. Yasin ayat 82.

Artikel PERMISALAN TENTANG HIKMAH MUSIBAH pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/permisalan-tentang-hikmah-musibah/feed/ 0
MANUSIA ISTIMEWA https://markazsunnah.com/manusia-istimewa/ https://markazsunnah.com/manusia-istimewa/#respond Wed, 01 Sep 2021 06:37:16 +0000 http://markazsunnah.com/?p=2900 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka […]

Artikel MANUSIA ISTIMEWA pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. al-Anfal: 2-4)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً

Dari Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā,  ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya manusia itu ibarat seratus ekor unta, seseorang tidak akan menemukan unta yang istimewa di antaranya’.”[1]

⁕⁕⁕

Al-rāḥilah”, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir raḥimahullāh, adalah unta yang kuat berjalan dengan mengangkut perbendaharaan seorang musafir, jinak dan elok tak bercacat.[2]

Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan permisalan tentang manusia bahwa mereka ibarat seratus ekor unta dimana seseorang tidak akan menemukan unta yang sempurna. Maknanya adalah bahwa dengan jumlah yang begitu banyak, manusia yang istimewa di antara mereka hampir tidak ada. Bertolak dari makna ini, para ulama hadis kemudian berbeda perspektif dalam menafsirkan maksud Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dari hadis di atas.

Ibnu Baṭṭāl raḥimahullāh menafsirkan bahwa manusia yang dimaksudkan dari hadis ini adalah mereka yang hidup di masa-masa fitnah di akhir zaman nanti. Olehnya, Imam Bukhārī raḥimahullāh memasukkan hadis ini ke dalam “Bab Hilangnya Amanah” karena Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam telah mempersaksikan kebaikan para sahabat dan para tabiin[3] dengan sabdanya,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup di zamanku (para sahabat,-pen), lalu orang-orang yang datang setelah mereka, dan orang-orang yang datang setelah mereka.”[4]

Al-Mazirī menukil perkataan Ibnu Qutaibah raḥimahumallāh bahwa permisalan ini menjelaskan bahwa seluruh manusia sama. Tidak ada perbedaan dan keistimewaan di antara mereka dari jalur nasab (sebab semuanya kembali kepada Adam dan Hawwa,-pen) sebagaimana seratus ekor unta yang tak ada seekorpun yang istimewa di antaranya. Al-Qutbi raḥimahullāh kemudian mengomentari pendapat Ibnu Qutaibah bahwa makna yang lebih dekat adalah manusia yang zuhud di dunia ini dan cinta akan kehidupan akhirat sangatlah sedikit.[5]

Al-Azharī raḥimahullāh juga menambahkan bahwa Allah subḥānahu wa ta’ālā telah mencela kehidupan dunia dan memperingatkan umat manusia tentang keburukannya. Bukankah Allah berfirman,

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.”[6]

Oleh karenanya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian memperingatkan para sahabatnya dari kehidupan dunia dan mengajak mereka untuk hidup dengan kezuhudan dan qanā’ah. Lalu akan datang orang-orang yang melupakan manhaj dan sunah para salaf hingga mereka berlomba-lomba mengejar dunia dan kenikmatannya yang fana, sampai tak tersisa dari mereka yang zuhud terhadap dunia ini kecuali sangat sedikit.[7] Di dalam riwayat lain dari hadis di atas, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

تَجِدُونَ النَّاسَ كَإِبِلٍ مِائَةٍ، لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً

“Kalian akan menjumpai manusia ibarat seratus ekor unta, seseorang tidak akan menemukan unta yang istimewa di antaranya.”[8]

Imam al-Nawawī raḥimahullāh juga mengomentari pendapat ulama sebelum beliau bahwa hadis ini bermakna bahwa manusia yang istimewa, sempurna akhlaknya, elok penampilannya, kuat tubuhnya untuk membantu dan memberikan manfaat kepada sesama, ialah manusia yang tak tersisa dari kehidupan dunia ini kecuali sangat sedikit, dan merekalah yang pantas untuk dipilih menjadi sahabat dalam perjalanan panjang kehidupan dunia ini.[9] Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.”[10]

Mukmin yang kokoh imannya, kuat tubuhnya, kuat kemauannya, baik perangainya dan semuanya terbingkai indah dengan taqarrub kepada Allah subḥānahu wa ta’ālā, itulah manusia yang istimewa.   


Footnote:

[1] H.R. Bukhārī nomor 6498 dan al-Tirmizī nomor 2872.

[2] Al-Nihāyah fī Garīb 1/16.

[3] Syarḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī 10/207.

[4] H.R. Bukhārī nomor 2652 dan Muslim nomor 2533.

[5] Al-Mu’lim 3/280.

[6] Q.S. Yunus ayat 24.

[7] Al-Nihāyah fī Garīb 1/15-16.

[8] H.R. Muslim nomor 2547.

[9] Al-Minhāj 16/101.

[10] H.R. Muslim nomor 2664.

Artikel MANUSIA ISTIMEWA pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/manusia-istimewa/feed/ 0
GUNUNG DOSA https://markazsunnah.com/gunung-dosa/ https://markazsunnah.com/gunung-dosa/#respond Wed, 25 Aug 2021 04:36:37 +0000 http://markazsunnah.com/?p=2881 وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, akan tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang […]

Artikel GUNUNG DOSA pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, akan tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.” (Q.S. Yunus: 13)

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ

Dari Sahl bin Sa’ad raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Berhati-hatilah dari dosa-dosa yang dianggap remeh karena permisalan dosa-dosa yang dianggap remeh itu ibarat suatu kafilah safar yang bermalam di sebuah lembah, setiap orang mengumpulkan sebuah kayu bakar hingga mereka dapat memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu dapat membinasakan pelakunya jika ia dihisab’.”[1]

⁕⁕⁕

Menganggap remeh sesuatu dapat menjadi ibadah atau bencana. Seseorang yang menganggap remeh ibadahnya di hadapan Allah adalah salah satu jalan tazkiyah nafs guna menghindari penyakit ujub atau bangga terhadap amalan salihnya, sekaligus sebagai motivasi untuk semakin memperbaiki ibadah, baik terhadap kualitas maupun kuantitasnya. Namun jika tidak berhati-hati dalam menata kalbu, seseorang dapat terjatuh dalam sebuah dosa apabila ia menganggap remeh sebuah ibadah dengan meninggalkannya.  Kedua hal ini mirip namun hakikatnya berbeda. Jauh lebih berbahaya dari itu, apabila ia menganggap remeh sebuah dosa sekecil apapun itu.

Benar bahwa Allah subḥānahu wa ta’ālā adalah Maha Kasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun terhadap hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”[2]

Akan tetapi, bukankah Allah juga yang telah menggambarkan dengan sangat jelas tentang penyesalan para pelaku dosa dan maksiat dalam firman-Nya,

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya’, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun juga.”[3]

Oleh karenanya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memperingatkan kita untuk berhati-hati dari dosa-dosa yang dianggap remeh oleh sebagian besar manusia.

Apa itu dosa yang dianggap remeh oleh manusia?

Al-Munawi raḥimahullāh menjelaskan bahwa dosa yang dianggap remeh adalah dosa-dosa kecil yang terus dilakukan seseorang dan ia tak bertaubat darinya. Sedangkan dosa besar tak diberikan permisalan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam karena sedikitnya dari kalangan sahabat yang terjatuh di dalamnya.[4] Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا، هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المُوبِقَاتِ

“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan-amalan yang kalian anggap lebih halus dari sehelai rambut, sedangkan kami (para sahabat) menganggapnya sebagai pembawa kebinasaan di masa Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam.”[5]

Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memisalkan dosa kecil dengan sebuah kayu bakar, yang tak memiliki manfaat yang banyak untuk menyalakan api dan digunakan memasak. Namun ketika dikumpulkan, barulah memberikan manfaat yang berarti. Imam al-Ghazali raḥimahullāh berkata, “Kesalahan kecil dapat menjadi sebuah dosa besar dengan dua hal: menganggapnya remeh dan terus menerus mengerjakannya. Tiap kali sebuah dosa dianggap besar niscaya ia akan kecil di sisi Allah, dan jika dosa dianggap kecil niscaya ia akan besar di sisi Allah. Hal ini karena anggapan besarnya sebuah dosa lahir dari bencinya hati seseorang kepada perbuatan tersebut, sedangkan anggapan kecilnya sebuah dosa lahir dari senangnya hati seseorang kepada perbuatan tersebut. Oleh karena itu, ia pantas untuk diazab karena hati hendaknya diisi dengan cahaya iman dan ketaatan, bukan dengan gelapnya dosa dan kemaksiatan.”[6]


Footnote:

[1] H.R. Ahmad nomor 22808, disahihkan Syaikh al-Albānī dalam Silsilah Ṣaḥīḥah nomor 389.

[2] Q.S. al-Nisa ayat 48.

[3] Q.S. al-Kahfi ayat 49.

[4] Faiḍul Qadīr, 3/127.

[5] Ṣaḥīḥ Bukhārī nomor 6492.

[6] Faiḍul Qadīr, 3/127.

Artikel GUNUNG DOSA pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/gunung-dosa/feed/ 0
SERIGALAPUN KALAH DARINYA https://markazsunnah.com/serigalapun-kalah-darinya/ https://markazsunnah.com/serigalapun-kalah-darinya/#respond Wed, 18 Aug 2021 03:53:41 +0000 http://markazsunnah.com/?p=2864 قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang […]

Artikel SERIGALAPUN KALAH DARINYA pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S. al-Taubah: 24)

عَنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ، وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Dari Ka’ab bin Mālik al-Anṣārī raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas kepada kawanan kambing, tidak lebih besar kerusakan yang dibuatnya dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan’.”[1]

⁕⁕⁕

Allah subḥānahu wa ta’ālā dengan hikmah-Nya yang agung dan mulia menganjurkan setiap hamba-Nya untuk mengedepankan apa yang kekal dibanding sesuatu yang sementara dan fana. Allah berfirman,

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?[2]

Benar, dunia adalah tempat Allah menguji para hamba-Nya, akankah mereka lebih mencintai dunia yang fana atau akhirat yang kekal selamanya.

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Tetapi kamu orang-orang kafir memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”[3]

Meskipun demikian, apakah orang yang telah beriman dan memilih akhirat akan selamat begitu saja dalam perjalanannya menuju Allah? Tentu saja tidak. Ada begitu banyak rintangan dan aral yang menghadang jalan setiap mukmin. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagai imam dan qudwah kita telah memberikan arahan perihal rintangan terberat yang akan kita lalui, yaitu berupa ambisi terhadap harta dan kehormatan.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda bahwa dua ekor serigala lapar yang dilepas kepada kawanan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan ambisi akan harta dan kehormatan terhadap agama dan iman kita. Permisalan yang digambarkan ini begitu indah dan istimewa. Al-Thibi rahimaḥullāh menjelaskan bahwa kata “dilepas” memberikan penekanan yang kuat terhadap kerusakan yang akan ditimbulkan oleh dua ekor serigala itu yang sebelumnya ditahan namun telah mengintai kawanan kambing itu. Akan tetapi, ketika dibandingkan dengan ambisi terhadap harta dan kehormatan, kerusakan yang diakibatkannya ternyata lebih dahsyat.[4]

Al-Hafizh Ibnu Rajab raḥimahullāh dalam Majmu’ Rasail 1/64 menyebutkan bahwa ambisi terhadap harta terbagi ke dalam dua macam. Pertama, sangat cinta terhadap harta kekayaan yang diperoleh dengan cara yang mubah. Meskipun dengan cara yang diperbolehkan, namun cinta yang berlebihan terhadap harta akan menghabiskan usia yang telah karuniakan oleh Allah, yang kemudian disia-siakan pada sesuatu yang telah dijamin oleh Allah dan ditentukan kadarnya berupa rezeki yang tidak akan sampai di tangannya kecuali sesuai dengan takdir-Nya. Lantas harta yang telah dikumpulkan akan ditinggalkan pula untuk ahli waris, sedang hisab atas harta yang dimiliki tetap dimintai pertanggungjawabannya padahal manfaat harta itu tak ia rasakan. Tentu hal ini telah cukup menjadi celaan bagi orang yang berambisi terhadap harta. Kedua, sangat cinta terhadap harta kekayaan hingga ia mencarinya melalui jalan yang diharamkan dan menahan hak yang wajib ia berikan kepada orang lain. Allah berfirman,

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[5]

Adapun ambisi terhadap kehormatan, ia jauh lebih merusak agama seseorang dibanding ambisi terhadap harta. Bukankah seseorang rela mengorbankan hartanya untuk memperoleh kehormatan di dunia dan penghargaan manusia terhadap dirinya? Ambisi terhadap kehormatan dunia juga terbagi menjadi dua jenis. Pertama, mencari kehormatan melalui jabatan, kekuasaan dan harta. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menghalangi kebaikan akhirat, kehormatan dan kemuliaannya. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi, dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”[6]

Sangat sedikit yang mendapatkan taufik Allah tatkala seseorang berambisi untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan, melainkan Allah serahkan urusannya kepada dirinya sendiri. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada ‘Abdurrahman bin Samurah,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai ‘Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan, karena jika engkau diberi kekuasaan sebab keinginanmu, kekuasaan itu akan dilimpahkan kepadamu. Namun jika engkau diberi kekuasaan tanpa keinginanmu, engkau akan dibantu oleh Allah dalam kekuasaanmu.”[7]

Kedua, mencari kehormatan dan penghargaan manusia melalui agama, seperti ilmu, amal dan sikap zuhud. Jenis ini tentu jauh lebih buruk dan berbahaya, karena ilmu, amal, zuhud dan semacamnya dari urusan agama hendaknya dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan akhirat dan bukan untuk kehormatan dunia. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa mencari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari keridaan Allah, akan tetapi dia mempelajarinya semata-mata untuk mendapatkan bagian di dunia, dia tidak akan mendapatkan bau surga di hari kiamat.”[8]

مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“Barang siapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama atau mencari perhatian manusia, Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka.”[9]

 


Footnote:

[1] H.R. Ahmad nomor 15794 dan al-Tirmizi nomor 2376, disahihkan oleh Syekh al-Albānī dalam Ṣaḥīhul Jāmi’ Ṣagīr nomor 5620.

[2] Q.S. al-An’ām ayat 32.

[3] Q.S. al-A’lā ayat 16-17.

[4] Syarḥul Misykat 10/3287.

[5] Q.S. al-Tagābun ayat 16.

[6] Q.S. al-Qaṣaṣ ayat 83.

[7] H.R. Bukhari nomor 6622 dan Muslim nomor 1652.

[8] H.R. Ahmad nomor 8457 dan Ibnu Hibban nomor 78, disahihkan oleh Syekh al-Albanī dalam Ta’līqāt Hisān nomor 78.

[9] H.R. al-Tirmizī nomor 2654, dihasankan oleh Syekh al-Albanī dalam Ṣaḥīhul Jāmi’ Ṣagīr nomor 6382.

Artikel SERIGALAPUN KALAH DARINYA pertama kali tampil pada MARKAZSUNNAH.COM | MENEBAR SUNNAH MENUAI HIKMAH.

]]>
https://markazsunnah.com/serigalapun-kalah-darinya/feed/ 0