DOSA-DOSA YANG PALING BESAR

1661
DOSA DOSA YANG PALING BESAR 1
DOSA DOSA YANG PALING BESAR 1
Perkiraan waktu baca: 7 menit

REDAKSI HADIS:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ

Dari Abdullah bin Mas’ūd raiyallāhu ‘anhu, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam, “Dosa apa yang besar di sisi Allah azza wajalla?” Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kamu menjadikan tandingan bagi Allah azza wajalla (syirik) sedangkan Dia yang telah menciptakanmu. Ibnu Mas’ūd mengatakan, Kemudian dosa apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Membunuh anak karena engkau khawatir dia makan bersamamu. Ibnu Mas’ūd mengatakan, “Kemudian dosa apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Berzina dengan istri tetanggamu.

Daftar Isi:

TAKHRIJ HADIS:

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4411), Bukhari (6001), Muslim (86), Abu Daud (2312), dan Tirmiżī (3182) dari Jalur Abu Wail, dari Amr bin Surahbīl, dari Abdullah bin Mas’ūd, dari Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam.

Abu Wail adalah kuniyah, namanya adalah Syaqīq bin Salamah al-Kūfi, beliau adalah seorang Mukhadram.[1]

Amr bin Syurahbīl al-Kūfī, beliau seorang tabiin.

Abdullah bin Mas’ūd adalah sahabat Nabi yang pernah tinggal di kufah.

Keunikan dari sanad diatas:

  • Semua rawinya berasal dari satu kota, yaitu Kufah, bahkan dua perawi dari Abu Wail juga berasal dari Kufah, yaitu Manṣūr bin Mu’tamir dan Wāṣil bin Hayyān al-Kūfiyā
  • Dua perawi berada pada satu abaqah (level atau tingkatan) yaitu tabiin.

Di dalam riwayat yang lain -seperti dalam riwayat imam Bukhari (4761)- dipaparkan bahwa hadis ini merupakan latar belakang dari turunnya firman Allah azza wajalla,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan perbuatan itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.” QS. al-Furqān: 68.

Namun ada kemungkinan kisah di atas bukan latar belakang turunnya ayat tersebut, sebab dalam riwayat Tirmizī (3183), terdapat redaksi. “kemudian Rasulullah membaca firman Allah….”

PROFIL SAHABAT[2]:

Beliau adalah Abdullah bin Mas’ūd bin Gāfil al-Hużalī Abu Abdurrahman. Beliau termasuk sahabat Rasulullah yang masuk Islam pada generasi awal ketika Rasulullah masih berdakwah di kota Makkah. Nampaknya Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam telah mencium keistimewaan Abdullah bin Mas’ūd sejak beliau masih kanak-kanak ketika masih menjadi penggembala kambing. Rasulullah sempat melontarkan pujian baginya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad,[3]

إِنَّكَ غُلَامٌ مُعَلَّمٌ

“Engkau adalah anak yang terpelajar.”

Beliau berhijrah dua kali ke Habasyah (Ethiopia), berpartisipasi dalam perang Badar dan peperangan yang lain setelahnya. Beliau adalah salah satu sosok ulama di kalangan sahabat, beliau pakar dalam masalah al-Qur’an, bahkan mengatakan bahwa beliau belajar secara langsung dari Rasulullah 70 surah,[4] dan Rasulullah memuji bacaan al-Qur’an beliau dengan mengatakan,

Baca juga:  HADIS KEDUA PULUH LIMA: DI ANTARA SIFAT SURGA DAN PENGHUNINYA

مَن أحَبَّ أن يَقرَأَ القُرآنَ غَضًّا كما أُنزِل فلْيَقْرَأْه على قِراءةِ ابنِ أُمِّ عبدٍ

“Barang siapa yang ingin membaca al-Qur’an sebagaimana diturunkan oleh Allah azza wajalla maka hendaklah membacanya sebagaimana Abdullah bin Mas’ūd membacanya.”[5]

Bahkan dalam sebuah momentum Rasulullah pernah meminta secara pribadi kepada Abdullah bin Mas’ūd untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian Abdullah bin Mas’ūd membacakan beberapa ayat surah al-Nisa.[6]

Beliau juga salah satu pakar dalam masalah hadis, beliau meriwayatkan 848 hadis dari Rasulullah.[7] Hal ini adalah lumrah bagi beliau, sebab beliau banyak melazimi dan menemani Rasulullah, bahkan beliau juga melayani Rasulullah, khususnya terkait masalah sandal dan siwak beliau. Beliau adalah sahabat yang paling mirip dengan Rasulullah dari sisi sikap dan perilaku.

Beliau adalah seorang dai, hal ini terbukti dengan tinggalnya beliau di Kota Kufah pasca wafatnya Rasulullah, sebab Umar bin Khaṭṭab mengutus beliau untuk menebarkan ilmu yang beliau miliki, dan mazhab fikih masyarakat Kufah banyak terwarnai dengan pendapat-pendapat Ibnu Mas’ūd.

Beliau wafat pada tahun 32 H di kota Madinah, raiyallāhu ‘anhu.

PENJELASAN HADIS:

Hadis ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, aktifitas yang nampak sederhana, namun dapat menyingkap banyak faedah. Ibnu Mas’ūd pernah mengatakan,

زِيَادَةُ العِلْمِ الاِبْتِغَاءُ، وَدَرْكُ الْعِلْمِ السُّؤَالُ

“Menambah ilmu dengan mencarinya, dan memahami ilmu dengan bertanya.”[8]

Bertanya akan menghasilkan ilmu yang berkualitas, jika terpenuhi dua kriteria,

  • Memperhatikan kredibelitas dan kapasitas pihak yang ditanya.

Dan Allah azza wajalla telah memberi isyarat dengan firman-Nya,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki ilmu jika kamu tidak mengetahui.” QS. Al-Nahl: 43.

Ayat ini menjelaskan tentang orang yang layak untuk ditanya, yaitu orang yang berilmu atau ulama, dan di dalam hadis di atas yang ditanya adalah Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam, sang penghulu para nabi dan rasul.

  • Memperhatikan kualitas pertanyaan.

Ibnu Hajar al-‘Asqalāni meriwayatkan sebuah ucapan yang populer,

حُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ العِلْمِ

“Pertanyaan yang berkualitas adalah separuh ilmu.”[9]

Abdullah bin Mas’ūd adalah sosok yang berkualitas, di antara buktinya adalah pertanyaan beliau yang berkualitas. Ada dua pertanyaan beliau kepada baginda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam, dan kedua pertanyaan tersebut sangat penting bagi kualitas ketakwaan seorang hamb. Pertanyaan pertama terkait amalan-amalan yang paling dicintai oleh Allah, dan pertanyaan kedua adalah hadis yang kita bahas di dalam artikel ini, yaitu terkait amalan yang paling dibenci oleh Allah. Pertanyaan pertama tujuannya untuk diamalkan, dan pertanyaan kedua tujuan utamanya untuk dihindari.

  • Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam,

أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

“Kamu menjadikan tandingan/bandingan bagi Allah azza wajalla (syirik) sedangkan Dia telah menciptakanmu.”

Ini adalah substansi perbuatan syirik kepada Allah azza wa jalla, makanya definisi syirik berporos di sekitar substansi ini.

Tandingan/bandingan yang menjerumuskan kepada jurang kesyirikan adalah pada perkara-perkara yang menjadi kekhususan Allah, seperti dalam masalah rubūbiyah dan ulūhiyah. Dua masalah ini merupakan hak prerogratif Allah azza wajalla.

Rububiyah berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah seperti menciptakan, mengatur alam, memberi manfaat dan mudarat, memberi rezeki, dan sebagainya. Rubūbiyah adalah kekhususan bagi Allah azza wajalla, barang siapa yang menyakini ada zat lain yang mampu melakukan aktifitas rubūbiyah di atas atau menyakini adanya makhluk yang menjadi serikat bagi Allah azza wajalla dalam perkara-perkara di atas maka dia telah terjerembab ke dalam kubangan kesyirikan.

Baca juga:  HADIS PERINTAH ISTINSYĀQ

Allah berfirman,

أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ

“Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah ada tuhan yang berhak disembah yang lain selain Allah? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang.” QS. Al-Naml: 60.

Sedangkan ulūhiyah adalah kekhususan Allah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba, yaitu ibadah, misalnya salat, berdoa, bernazar, menyembelih sembelihan, dan sebagainya. Barang siapa yang memalingkan ibadah kepada selain Allah atau menjadikan serikat bagi Allah dan tandingan dalam perkara ini, sesungguhnya dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik.

Sesungguhnya syirik berpredikat sebagai dosa yang sangat besar di sisi Allah disebabkan:

  • Menyelisihi tujuan tertinggi dari penciptaan makhluk, sebagaimana firman Allah,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” QS. al-Zariyāt: 56.

  • Seakan membalas kebaikan dan kemurahan Allah kepada makhluk-Nya –yang telah menciptakan mereka- dengan keburukan, sebagaimana sabda Rasulullah,

وَهُوَ خَلَقَكَ

“Sedangkan Dia telah menciptakanmu.”

  • Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam,

قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟

“Ibnu Mas’ūd mengatakan, ‘Kemudian dosa apa lagi?’”

Menunjukkan semangat Ibnu Mas’ūd dalam menuntut ilmu, dan tidak merasa cukup penjelasan Rasulullah.

  • Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam,

وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ

“Membunuh anak karena engkau khawatir dia makan bersamamu.”

Membunuh dengan tanpa hak (adanya izin dari syariat) termasuk dalam kategori dosa besar, dan perbuatan ini bisa lebih besar dosanya jika yang dibunuh adalah anak kandungnya. Penyebabnya adalah,

  • Kewajiban orang tua terhadap anak adalah mendidik dan menafkahi, dengan membunuhnya berarti telah mengabaikan kewajiban tersebut.
  • Membunuh anak mengumpulkan 3 kerusakan dan dosa: membunuh, memutus silaturahmi (karena yang dibunuh adalah anak kandung), serta sikap pelit dan bakhil.[10]

Secara spesifik Allah azza wajalla mengharamkan perbuatan ini dalam firman-Nya,

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena khawatir miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” QS. al-Isra: 31.

  • Sabda Rasulullah allallāhu ‘alaihi wasallam,

أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ

“Berzina dengan istri tetanggamu.”

Kalimat “tuzānī” dalam gramatika bahasa Arab berwazan tufā‘il yang mengindikasikan kesepakatan kedua belah pihak dan kesukarelaaan keduanya. Oleh karena itu, dalam konteks berzina dengan istri tetangga di dalam hadis ini menunjukkan kesukarelaan kedua belah pihak dengan perbuatan tersebut, dan tidak ada unsur paksaan atau ancaman bagi wanita tersebut untuk melakukan perbuatan tersebut, namun justru melakukan perbuatan tersebut dengan sukarela dan senang hati. Tentunya hal ini menunjukkan ada unsur pengkhianatan seorang istri kepada suaminya dan kecenderungan hati wanita tersebut kepada laki-laki yang lain. Perbuatan ini inklusif dalam dosa yang sangat besar di sisi Allah disebabkan karena mengakumulasi dua hal:[11]

  • Zina merupakan dosa besar.
  • Pengkhianatan terhadap tetangga, sebab seorang muslim wajib menghormati dan menjaga kehormatan tetangganya. Mengganggu dan menyakiti mereka adalah bagian dari dosa besar, maka berzina dengan istri tetangga adalah bagian dari perbuatan khianat atas tetangganya, bahkan seburuk-buruk perbuatan khianat.
Baca juga:  HADIS KE-32 AL-ARBA’IN: MUDARAT

FIKIH HADIS:

  • Urgensi bertanya dalam menuntut ilmu bahwa bertanya merupakan salah satu sarana untuk menambah dan memahami ilmu jika dapat direalisasikan dua kriteria yang telah dijelaskan di atas.
  • Derajat dosa bertingkat-tingkat, ada dosa kecil, dosa besar, dan dosa yang sangat besar, dan derajat dosa di masing-masing bagian juga berbeda-beda.
  • Kezaliman yang terbesar yang dilakukan oleh seorang hamba adalah perbuatan syirik, sebab obyek dari kezaliman tersebut adalah Allah azza wajalla, yang merupakan satu-satunya Zat pencipta, pengatur alam semesta, pemberi rezeki dan sebagainya, dan nampaknya maksiat ini tidak hanya layak berpredikat sebagai kezaliman saja, namun dapat disebut kebodohan yang nyata, sebab yang dijadikan sebagai tandingan bagi Allah hanyalah makhluk-Nya belaka yang predikatnya sama atau bahkan bisa lebih hina dari yang berbuat kesyirikan.[12]
  • Membunuh jiwa dengan cara yang tidak benar secara syariat adalah dosa besar dan kezaliman yang besar kepada sesama manusia sebab sang pembunuh telah merampas dengan paksa hak hidup seseorang yang secara syariat terjaga. Kezaliman tersebut bisa berlipat jika yang dibunuh adalah anaknya yang seharusnya berhak mendapat perlindungan dan nafkah dari orang tuanya secara syariat, dan secara naluri sang anak berhak mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Jika dia dibunuh, maka ini menunjukkan kekejian orang tuanya dan besarnya kebakhilannya.
  • Besarnya hak tetangga sehingga orang yang berzina dengan istri tetangganya terjatuh ke dalam dosa yang sangat besar di sisi Allah, sebab di samping terjatuh ke dalam dosa zina, sang pelaku juga telah berkhianat kepada tetangganya dan melakukan kezaliman kepadanya.
  • Salah satu kriteria yang menjadikan dosa dari sebuah maksiat bertambah adalah ketika keburukannya dan akibat kezalimannya dirasakan oleh pihak yang lain.
  • Hadis ini menunjukkan bahwa kadar dosa dari suatu maksiat dapat berlipat, hal tersebut tergantung dari keadaan obyek yang dizalimi dan kerusakan yang ditimbulkan oleh maksiat tersebut.

 


Footnote:

[1]Orang yang masuk Islam pada zaman Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam namun tidak sempat berjumpa dengan beliau. Mukhadram masuk dalam tingkatan tabiin.

[2] Lihat al-Isābah Fi Tamyīzi al-Sahābah, karya Ibnu Hajar (4/233-235) dan Siyar A’lāmu al-Nubāla (1/461-485).

[3] Musnad Ahmad (3599).

[4] Idem.

[5] Sunan Ibnu Mājah (138).

[6] Muttafaqun ‘Alaihi.

[7] Tabaqāt al-Mukṡirīn min Riwāyatil Hadīs, karya Prof. Dr ‘ Ādil al-Zuraqi, hal. 11.

[8] Jāmi’u Bayāni al-‘Ilmi wafaḍluhu, Ibnu ‘Abdilbarr (1/176).

[9] Fathu al-Bāri (1/125).

[10] https://www.dorar.net/hadith/sharh/80345.

[11] Minhatu al-‘Allām, Abdullah bin Ṣāleh al-Fauzān (10/107).

[12] Lihat al-Mufhim (1/280) dengan perubahan redaksi.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments